Pemuda itu mengacungkan pistolnya persis di dada sebelah kiri Arana. "Jika aku tidak bisa memilikimu, maka orang lain juga tidak bisa.
Dor!!
••••
Menjadi tunangan antagonis yang berakhir tragis, adalah mimpi buruk yang harus Nara telan.
Jatuh dari rooftop sekolahnya, membuat Nara tak sadarkan diri dengan darah yang menggenang di tempat dirinya terjatuh.
Nara pikir dia akan mati, namun saat gadis itu terbangun, ia begitu terkejut ketika mendapati jiwanya sudah berbeda raga.
Berpindah di raga tokoh novel yang merupakan tunangan dari antagonis cerita.
Ia bernama Arana Wilson.
Saat mencapai klimaks, tokoh ini akan mati tertembak.
Sialnya, karena terjatuh, Nara tidak tau siapa malaikat maut raga yang kini ia tempati.
Bagaimana kisah Nara di novel itu sebagai Arana. Akankah dia tetap mati tertembak atau justru ia mampu mengubah takdirnya.
🍒🍒🍒
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raintara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Malvin memasuki sebuah rumah besar yang terlihat sepi. Tatapan pemuda itu dingin. menunjukkan keengganan yang ketara jika dia berada di tempat ini karena terpaksa.
Menuju ruang tamu, ia temukan seorang wanita paruh baya berpakaian glamor tengah menyantap kudapan. Secangkir teh hijau yang masih menguap tersaji apik di meja kaca di depannya.
Tanpa basa-basi, Malvin ikut duduk di seberang wanita itu. Sekali lagi, pemuda itu menatap wanita itu benci.
"Ada apa Mami panggil aku ke sini?" ujar Malvin. Tidak ada nada keramahan yang terlontar dari bibirnya.
Sebelum menjawab, Yuna meminum sedikit teh hijau miliknya santai. Meletakkan kembali cangkir di tempat semula, wanita itu menggeleng heran.
"Begini cara bicaramu pada wanita yang sudah melahirkanmu?" ujarnya mencoba membuat Malvin terpojok.
Namun, bukannya terpojok dan merasa bersalah, Malvin malah menampilkan dengusan sinis.
"Aku nggak pernah minta untuk dilahirkan. Apalagi dari rahim wanita seperti Mami."
"Malvin." Yuna merasa tersinggung. Tak dapat dipungkiri, sudut hatinya terasa nyeri mendengar pernyataan menyakitkan dari anak kandungnya sendiri.
"Jangan basa-basi. Ada apa Mami panggil aku ke sini?" sekali lagi, Malvin mengulangi pertanyaannya. Seakan sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan urusannya dan segera pergi dari tempat yang ia anggap neraka itu.
"Kamu masih musuhan sama saudara tirimu?" ucap Yuna yang bingung mencari topik obrolan. Karena sebenarnya, tak ada alasan kenapa dia memanggil putranya itu untuk datang ke rumah.
Hanya saja, Yuna merindukan anak yang sudah dikandungnya itu. Sejak kejadian kelam itu, anaknya membencinya. Terlebih ketika dia menikah lagi, Malvin semakin menjauh darinya. Yuna tahu dia salah. Tapi seorang ibu tetaplah ibu bukan. Tidak salah dan wajar jika dia ingin menghabiskan waktu bersama putranya sendiri kan.
"Dia bukan saudaraku. Sampai kapanpun, kami tidak akan bisa menjadi saudara."
"Malvin---
"Aku pergi." Malvin berdiri. Melihat itu, seketika Yuna ikut berdiri. Berlari kecil menuju anaknya, ia cekal lengan Malvin agar tak beranjak dari tempatnya.
"Makan dulu ya? Mami sudah masak makanan kesukaan kamu." bujuk wanita itu halus.
Yuna tahu, Malvin masih remaja labil. Biasanya para remaja akan meninggikan ego. Lebih menuruti nafsu dan jarang berpikir dalam jangka panjang. Maka dari itu, Yuna selalu mencoba mentolelir segala tingkah semena-mena anaknya itu.
"Mungkin Mami salah." Malvin melepas cekalan Yuna secara paksa. "Karena apapun makanan yang Mami masak, aku membencinya."
"Malvin..." Yuna menghela nafas lelah.
"Sampai kapan kamu akan membenci keadaan nak? Semuanya sudah terjadi. Dan apapun yang terjadi, itulah yang terbaik untuk kehidupan. Tidak bisakah kamu seperti adikmu? Tinggal di sini bersandar Mami dan Papi tirimu dengan bahagia?"
Malvin menyunggingkan senyum sinis. "Hal seperti itu hanya akan ada di mimpi Mami."
"Lagian aku heran." Malvin berdecak seolah-olah bingung akan sesuatu. "Sebenarnya yang istri Tuan Kevin itu, Mami apa Stella?" tanyanya yang tiba-tiba melibatkan adiknya dalam topik pembicaraan.
"Maksud kamu?"
Kekehan sinis keluar dari mulut pemuda itu. "Jangan pikir aku nggak tahu. Dia. Anak perempuan Mami itu kerap berlibur berdua dengan Tuan Kevin. Bukankah yang seharusnya melakukan itu Mami? Kenapa malah Stella?"
"Malvin. Ucapan kamu itu tidak beradab. Memangnya salah jika seorang anak menghabiskan waktu bersama ayahnya sendiri? Jangan asal tuduh!" tentu saja Yuna marah.
Mata Malvin mengerling mencibir. "Memangnya apa yang aku tuduhkan? Aku hanya mengatakan, bahwa yang seharusnya berlibur itu Mami dan Tuan Kevin. Bukan Stella."
"Ingat Mi, Stella hanyalah anak tirinya."
Yuna kehilangan kata-kata. Memang benar jika Kevin dan Stella kerap ijin untuk berlibur bersama. Entah itu di dalam ataupun luar negeri. Bahkan Stella juga sering belanja ke Mall bersama ayah tirinya itu. Dan tentunya tanpa dirinya.
Tiba-tiba saja, jantung Yuna berdebar kencang. Semua yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi kan. Meyakinkan hatinya, Yuna berusaha agar tetap tenang. Ya, semua itu tidak mungkin terjadi. Putri dan suaminya tidak mungkin menghianatinya.
Namun, kalimat yang terlontar dari bibir Malvin kembali membuatnya termenung.
"Mami tahu? Karma itu ada. Orang akan menuai apa yang ia tanam.
.
.
.
"Oh, ya ampun. Ini Malvin kemana sih?!"
Sudah lebih dari sepuluh menit Arana memencet bel apartment Malvin. Namun selama itu pula, tidak ada tanda-tanda pemuda itu akan keluar.
"Malvin! Keluar deh lo!" teriaknya mulai frustasi.
"Dia nggak di apartment."
"Diam deh lo!" Arana menatap Hades sinis.
Pemuda itu benar-benar tidak berguna. Alih-alih membantunya membopong Mira yang saat ini sudah kehilangan kesadaran, tunangannya itu malah dengan santainya berdandan pada dinding. Membiarkan Arana yang keberatan memapah Mira.
"Udah si, taruh aja di depan pintu. Nanti juga tuannya datang." usul Hades yang dibalas decakan oleh Arana.
"Lo itu memang nggak ada peri kemanusiaannya ya?!" cibir Arana. Sedangkan Hades hanya mengendikan bahu acuh.
"Malvin--ck, bodoh!" Arana melupakan satu hal.
"Kenapa nggak gue telepon saja ya?" ujarnya pada dirinya sendiri.
"Hades, ambilin ponsel gue dong. Di tas yang paling kecil."
"Mau ngapain lo?" mimik wajah Hades berubah tak mengenakkan."
"Telepon Malvin lah. Cepat, berat ini."
Hades mendengus tak suka. "Berani lo menghubungi dia, gue banting ponsel lo."
Arana mendelik kesal. "Terus gue harus gimana bangsat!"
"Berani ngumpat lo?"
"Iya! Mau apa? Marah?"
Hades berdecak kesal. Ia rebut Mira dari rangkulan Arana, lalu tanpa perasaan ia jatuhkan tubuh Mira hingga membentur lantai.
Arana sendiri meringis ngilu mendengar suara jatuhnya Mira.
Dengan kesal, I tunjuk Hades menghakimi. "Lo itu benar-benar ya!"
Hades abai, ia raih tangan Arana lalu menariknya pergi menjauhi unit apartment Malvin.
"Hades, Mira gimana?!"
"Bukan urusan gue Arana."
Lihatkan, Hades memang tidak punya empati sama sekali.