Karena bosan dengan kehidupan yang dijalani selama ini, Rania gadis cantik berusia 25 tahun yang telah menyelesaikan s2 di luar negeri ingin mencoba hal baru dengan menjadi seorang OB di sebuah perusahaan besar.
Tapi siapa sangka anak dari pemilik perusahaan tersebut justru menginginkan Rania untuk menjadi pengasuhnya.
Sedangkan Raka duda berusia 40 tahun ,CEO sekaligus ayah dari 3 orang anak yang belum move on dari sang mantan istri yang meninggal pasca melahirkan anak ke 3 nya.
Bagaimana perjalanan Rania dalam menghadapi tantangan yang dibuatnya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinggal bersama
Rania masih tak percaya dengan keputusannya. Bekerja sebagai pengasuh Zian saja sudah di luar dugaannya, apalagi kini ia harus tinggal di rumah Raka.
“Tinggal di rumah saya sementara waktu akan lebih memudahkan semuanya,” kata Raka dengan nada tenang, seolah ini adalah keputusan paling masuk akal di dunia.
Rania menggigit bibir, pikirannya kacau. Tinggal di rumah sang CEO? Itu bukan hal yang pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun. Bekerja sebagai office girl di kantor sudah cukup menantang, dan kini ia harus tinggal di rumah majikannya?
“Tapi, Pak Raka… saya bisa pulang pergi saja. Saya tidak ingin merepotkan,” jawab Rania, berusaha mencari celah untuk menolak dengan halus.
Raka menatapnya tajam, tapi bukan dengan tatapan memaksa. “Saya paham kalau ini mendadak dan mungkin tidak nyaman buat kamu. Tapi ini untuk Zian. Saya ingin dia mendapatkan perhatian penuh dari seseorang yang bisa saya percaya. Mbok Jum memang ada di rumah, tapi dia sudah tua dan tak bisa mengurus Zian sendirian.”
Tatapan Rania langsung beralih ke arah kamar Zian, di mana anak itu masih tertidur dengan wajah yang sedikit memerah karena demam. Jauh di dalam hatinya, ia tahu Raka benar.
Rania terdiam. Ia memang bukan orang yang mudah menolak permintaan, apalagi jika itu menyangkut seseorang yang sedang sakit. Terlebih, dari apa yang ia dengar, Zian adalah anak yang tertutup dan sulit dekat dengan orang baru.
Akhirnya, dengan napas panjang, Rania mengangguk. “Baiklah, Pak. Tapi saya harus mengambil beberapa barang di kos dulu.”
Raka mengangguk tanpa ragu. “Saya antar.”
Rania sedikit terkejut dengan tawaran itu. “Tidak usah, Pak. Saya bisa ambil sendiri nanti.”
“Tak masalah, saya antar,” balas Raka tanpa memberi ruang untuk penolakan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat mobil Raka berhenti di depan kos sederhana tempat Rania tinggal, suasana terasa sedikit canggung. Ini pertama kalinya mereka berada begitu dekat di luar kantor.
“Sebentar saja, Pak. Saya ambil barang seperlunya,” kata Rania buru-buru sebelum turun.
Namun, Raka ikut keluar dari mobil. “Saya bantu.”
Rania menatapnya kaget. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri.”
Raka tidak menjawab, hanya melangkah santai menuju pintu kos. Dengan pasrah, Rania akhirnya membiarkannya, beberapa tetangganya langsung melirik ke arahnya, terutama saat melihat Rania membawa laki-laki matang yang sangat tampan . Ia bisa merasakan tatapan penuh rasa ingin tahu dan bisik-bisik yang mulai beredar.
Dengan cepat, ia masuk ke dalam kamarnya dan mengemasi barang-barangnya. Ia hanya membawa pakaian seperlunya, beberapa barang pribadi, dan beberapa buku yang sering ia baca sebelum tidur.
Kamar Rania kecil dan sederhana, dengan satu tempat tidur, lemari kayu kecil, dan meja belajar di sudut ruangan. Begitu masuk, Raka melangkah ke dalam tanpa ragu, matanya menyapu ruangan dengan ekspresi sulit ditebak.
“Kamu tinggal sendirian?” tanyanya.
Rania mengangguk sambil mengemasi beberapa pakaian ke dalam tas. “Iya, Pak.”
Tak ada komentar dari Raka, hanya tatapan yang seolah menilai sesuatu yang tak bisa ditebak oleh Rania.
Saat Rania berusaha meraih tasnya di atas lemari, kakinya terpeleset sedikit. Ia nyaris jatuh ke belakang jika saja Raka tidak sigap menangkapnya.
Tubuhnya menegang ketika ia merasakan kedua tangan Raka memegang pinggangnya, menahan agar ia tidak jatuh. Nafas mereka saling bersilangan di udara yang tiba-tiba terasa lebih hangat.
Mata mereka bertemu.
Sejenak, dunia terasa melambat.
“Maaf…” suara Rania hampir seperti bisikan saat ia buru-buru berdiri tegak, menarik diri dari genggaman Raka.
Raka berdeham pelan, lalu menatap ke arah lain. “Hati-hati lain kali.”
Jantung Rania masih berdebar tak karuan saat ia akhirnya mengangkat tasnya. Ia tak tahu apa yang barusan terjadi, tapi satu hal yang pasti—kedekatan tak terduga itu meninggalkan sesuatu dalam hatinya.
Dan ia tak yakin bisa mengabaikannya begitu saja.