Carmila harus menghadapi kenyataan pahit: suaminya membawa selingkuhan ke rumah, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Pengkhianatan dari dua orang terdekatnya ini menghancurkan hati Carmila yang selama ini telah berjuang menjadi istri dan nyonya istana yang sempurna.
Dalam keterpurukannya, Carmila bertemu dengan Pangeran Kedua Kekaisaran, dan tanpa ragu mengajukan sebuah hubungan kontrak dengannya.
Apakah Pangeran Kedua itu akan menerima tawarannya, atau menolak secara dingin? Keputusannya akan menentukan arah permainan balas dendam Carmila, sekaligus membuka pintu pada skandal dan intrik yang tak terduga.
Revisi berjalan yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan
Carmilla bersenandung pelan sambil meninggalkan istana Pangeran.
Ia baru saja mengajukan 'kesepakatan' kepada Alistair dan berhasil mendapatkan persetujuannya.
"Kau tahu keberadaan Silas?"
"Ya. Tapi saya tidak bisa mengatakannya sekarang. Jika Yang Mulia memenuhi satu permintaan saya, saya akan memberitahu keberadaannya setelah perceraian saya selesai dengan aman."
Untuk meyakinkan lawan, seseorang harus mengeluarkan kartu yang sepadan.
Untungnya, Carmilla punya 'kartu' untuk meyakinkan Alistair.
'Syukurlah identitas asli Silas tidak disebut sejak awal.'
Meskipun begitu, Carmilla sempat berpikir Alistair mungkin akan menolak tawarannya.
Menemukan keberadaan Silas adalah hal yang bisa ia lakukan sendiri jika berusaha keras, dan Alistair mungkin tidak punya keinginan untuk membantunya.
Lagi pula, syarat yang diajukan tadi menyentuh sisi yang cukup sensitif baginya.
Namun pada akhirnya, Alistair tetap mengangguk dan menjawab.
"Baik, akan kulakukan."
"Benarkah?"
"Sebagai gantinya, pastikan kau menang dalam gugatan. Dan beritahu aku keberadaan Silas."
“Tentu saja. Terima kasih sudah menerima tawaranku, Yang Mulia.”
Dengan begitu, kesepakatan mereka selesai tanpa hambatan, dan Carmilla pun melangkah keluar dari istana dengan perasaan lega.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti.
Ucapan Valerian—yang dilontarkan sebelum ia meninggalkan tempat—muncul begitu saja di benaknya.
“Kau tahu apa yang dia katakan tentang pertemuan pertama kalian? Dia bilang dia tidur denganmu!"
Entah mengapa kata-kata itu tiba-tiba terlintas di benaknya.
'Jadi aku dan Alistair, benar-benar melakukannya hari itu, ya?'
Barulah kini Carmilla mengetahui kebenaran dari malam yang ia lupakan.
Sudah di duga, tidak mungkin sepasang pria dan wanita di usia matang tidak melakukan apa-apa ketika berada di kamar hotel.
Carmilla tidak merasa tersinggung mendengar Alistair mengatakan hal itu pada Valerian. Pria itu jelas hanya ingin membuat Valerian naik darah.
Walau begitu, setidaknya ia jadi tahu kebenarannya.
Ia menggelengkan kepala.'Yah, bagaimanapun juga, itu tidak masalah. Karena itu sudah berlalu.'
Tidak ada gunanya memikirkan hal yang sudah tidak ia ingat. Walaupun sedikit memalukan.
Dengan senyum kecil, ia kembali melanjutkan langkahnya. "Bagaimanapun, aku sudah mendapat persetujuan Alistair, sekarang giliran aku yang bergerak."
Bukti dan saksi sebagian besar sudah siap. Namun, ia merasa perlu mempersiapkan hal lain agar rencananya terlihat lebih sempurna...
Di dalam kereta yang terus melaju, pikirannya kembali pada sosok Valerian yang ia temui di dalam istana tadi.
Valerian jelas tengah menyiapkan langkah untuk menggugat balik. Bahkan kata-kata terakhir yang di ucapkannya menunjukkan hal itu.
Dan jika ia sampai nekat menggali soal pertemuan pertama mereka, berarti ada ruang untuk memasang jebakan yang tak akan ia sadari.
Senyum tipis perlahan terangkat di sudut bibir Carmilla.
“Hmm… semua akan segera berakhir."
Sebuah ide bagus muncul. Ide yang pasti akan membuat Valerian terperangkap sepenuhnya.
......................
Beberapa hari setelah keluar dari istana Pangeran, Valerian masih saja merasa kesal.
Ia merasa ada rahasia mengenai pertemuan pertama Carmilla dan Alistair, dan ia frustrasi karena tidak bisa mengungkapnya.
Di tengah situasi itu, perkataan Alistair juga membuatnya merasa tidak nyaman.
'Kalau begini terus, aku akan kalah dalam gugatan cerai. Aku harus mencari cara.'
Tapi sebelum ia sempat menenangkan diri, Seraphina malah mulai menekannya tanpa henti.
"Kau benar-benar akan bercerai kan? Apa semua persiapannya sudah benar?"
"Seraphina, maaf, tapi tunggu sebentar lagi."
“Tunggu? Kau selalu menyuruhku menunggu! Kenapa kau tidak pernah menjelaskan perkembangan apa pun? Jangan-jangan… kau berniat meninggalkanku dan kembali pada Carmilla? Aku sudah bilang sejak dulu, tingkahmu mencurigakan!”
“Bisakah kau bersabar sedikit? Aku sedang menyiapkan semuanya!” Bentaknya tajam.
Mendengar ucapan Valerian, mata Seraphina mulai berkaca-kaca.
“Kau sendiri yang memintaku percaya padamu! Lalu sampai kapan aku harus menunggu?"
"Seraphina..."
“Aku sudah bertaruh seluruh hidupku padamu! Bagaimana bisa kau memperlakukanku seperti ini?”
Valerian menekan pelipisnya yang berdenyut dan mengembuskan napas panjang. Pada akhirnya ia mendekat dan memeluknya.
“Aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu menangis seperti ini, Seraphina,” ujarnya. “Aku berjanji akan menjadikanmu Duchess. Semua yang di nikmati Carmilla, suatu hari akan menjadi milikmu.”
Setelah Valerian mengucapkan janji yang kurang meyakinkan itu, tangis Seraphina perlahan mereda.
Tak lama kemudian, Seraphina tertidur di ranjang sempit itu.
Valerian menatapnya sebentar sebelum akhirnya berbalik pergi. Ia melangkah keluar dari rumah kecil itu dan menyusuri jalanan ibu kota sendirian
'Apa yang harus ku lakukan sekarang?'
Demi gugatan cerai, ia harus tahu bagaimana pertemuan pertama mereka yang sesungguhnya.
Jika ia tidak bisa mengetahuinya, posisi Valerian akan sangat dirugikan dalam gugatan ini.
Jika terus begini, ia akan kehilangan segalanya dari Carmilla dan kalah telak di pengadilan.
'Apa… aku harus memalsukan bukti?' pikirnya, gelisah.
Belum sempat ia menenangkan diri, telinganya menangkap suara seseorang di pinggir jalan.
“Aku serius! Duchess Carmilla dan Yang Mulia Pangeran Alistair berselingkuh duluan!”
Sebuah suara asing yang kebetulan berpapasan dengan Valerian mengucapkan kalimat tersebut.
"Hah?" Valerian menoleh ke belakang. Jantungnya berdebar kencang.
Seorang pejalan kaki tampak berbisik keras kepada temannya sambil berjalan menjauh.
Jalanan dipenuhi keramaian.
Cahaya ambisius memancar dari mata Valerian saat ia mencerna kembali kata-kata yang baru saja ia dengar.
'Aku harus menghampirinya.' Hanya itu yang ia pikirkan. Ia harus menangkap orang yang baru saja berbicara itu.
Sebelum kedua orang itu menghilang di tengah kerumunan, Valerian berbalik dan berlari ke arah mereka.
"Hei, tunggu sebentar!"
"Eh?"
Valerian berhasil menahan pria tersebut. Pria yang lengannya di cengkeram itu terkejut dan menoleh padanya.
"Apa yang baru saja Anda katakan? Saya tidak sengaja mendengarnya saat lewat."
Valerian berbicara sambil terus terengah-engah. Pria itu tampak terkejut.
"D-Duke Hamilton...?"
......................
Beberapa menit kemudian, keduanya sudah berada di sebuah kedai kopi terdekat.
Kedai kopi itu sudah hampir tutup dan tidak ada pelanggan lain. Pria yang tadi ditemui Valerian, setelah menyuruh temannya pergi, kini duduk di hadapan Valerian sambil menggaruk-garuk kepala karena merasa canggung.
“Aku hanya bercerita pada seorang teman karena tak ada yang percaya. Tak kusangka… Yang Mulia Duke Hamilton kebetulan lewat dan mendengarnya.”
“Tak perlu khawatir. Katakan saja. Aku ingin mendengar penjelasan dari apa yang kudengar barusan.”
Valerian berbicara pelan, sembari menahan napas yang terasa berat.
Pria itu kemudian menurunkan nada suaranya. “Sejujurnya… ini bukan hal yang layak disampaikan langsung kepada pihak yang terlibat.”
"Tidak apa-apa, jika kau mengetahui sesuatu tentang Duchess Carmilla dan Pangeran Kedua, katakan saja. Aku ingin mendengar semuanya.”
Valerian berbicara dengan nada yang nyaris memohon. Ada kegelisahan yang sulit ia sembunyikan, seolah ini satu-satunya pegangan yang tersisa.
Melihat tatapan memohonnya, pria itu menghela napas pelan.
Tak lama kemudian, ia mulai bercerita. “Yang Mulia Duchess dan Pangeran Kedua sudah saling mengenal sejak tiga tahun lalu,” ucap pria itu hati-hati. “Itu terjadi tak lama setelah pernikahan Anda, Yang Mulia.”