Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat yang hilang
Mobil berhenti di depan rumah Nadine dan Rafa. Warna putihnya bersih, tapi ada bekas cipratan lumpur di bagian bawah pagar. Gue berdiri sebentar di depan gerbang, ngatur napas, nyiapin diri buat kemungkinan terburuk, ditolak, dimarahin, atau bahkan diusir.
Tapi pas pintu kebuka, Nadine muncul dengan rambut acak-acakan dan senyum lebar di wajahnya.
"Astaga, lo dateng. Tumben nggak menghubungi dulu." suaranya lembut tapi buat dada Gue hangat.
Dia langsung narik Gue masuk tanpa banyak tanya, dan sebelum Gue sempat buka mulut, aroma kopi dan roti panggang udah nyambut dari dapur.
Rafa duduk di meja makan, pakek kaus lusuh dan celana pendek. Begitu liat Gue, dia cuma senyum kecil sambil ngangkat cangkir kopinya. "Kopi hari ini pahit banget, lo mau nambahin drama biar rasanya lengkap?"
Gue nggak bisa nahan tawa kecil, tapi mata Gue langsung panas. "Gue… Gue minta maaf," suara Gue pelan, nyaris kayak bisikan. "Lo berdua dipecat gara-gara Gue. Kalau aja Gue nggak—"
"Stop." Nadine langsung potong, nyodorin segelas air putih ke Gue. "Lo nggak usah ngomong kayak gitu. Kita tau risikonya dari awal. Dan jujur aja, kita udah lama pengen keluar dari sana juga."
"Pengen keluar?" Gue ngulang, nggak percaya.
Rafa nyender ke kursi, matanya tenang banget. "Iya. Gue sama Nadine udah lama ngerasa... udah cukup kerja di perusahaan keluarga lo. Kita butuh hal baru. Hidup baru. Lo pikir kita mau tua di kantor itu, ngeliat politik kantor terus tiap hari?"
Nadine ngakak kecil, "Rafa bahkan udah beli mesin kopi. Katanya mau buka kedai kecil. Gue pikir dia cuma bercanda, tapi ternyata dia udah nyari tempat."
Gue bengong. "Kalian serius?"
"Serius banget," jawab Rafa sambil ngedip. "Tapi kalau lo butuh tempat nongkrong rahasia, kopi pertama gratis."
Gue akhirnya ketawa, tapi tawa itu masih campur rasa haru. "Gue kira kalian berdua bakal marah."
"Kita semua salah di cara yang beda-beda," kata Nadine pelan. "Lo cuma pengen nyelamatin apa yang lo cintai. Lo terlalu baik buat dunia bisnis kayak gitu, tapi justru itu yang buat lo beda. Gue dan Rafa... kita ngerti."
Kalimat itu, sesederhana itu, tapi buat hati Gue nyesek. Mereka nggak nyalahin Gue. Mereka justru nerima keadaan dengan cara yang tenang, kayak orang yang udah berdamai sama badai.
Gue nyandarin diri ke kursi. "Gue ngerasa gagal. Darly makin berkuasa, dan sekarang kalian juga keluar. Gue ngerasa semua hal yang Gue pegang lepas satu-satu."
Nadine nyengir. "Atau mungkin ini waktunya lo ngelepas hal-hal yang justru nyakitin lo."
"Lo inget waktu pertama kali lo masuk kantor itu? Lo semangat banget, tapi juga takut. Lo ngomong gini, kalau semua orang main kotor, siapa yang mau benerin? Nah, mungkin ini saatnya lo benerin, tapi bukan dari dalam." Rafa ikut nambah.
Kata-kata itu kena banget.
Kayak tamparan lembut yang buat Gue sadar, mungkin selama ini Gue terlalu sibuk bertahan di tempat yang udah nggak punya ruang buat kebenaran.
Kami bertiga lama terdiam, cuma suara jam di dinding yang jalan pelan. Nadine kemudian bangkit, nyalain pemanggang roti lagi. "Lo udah makan belum?"
"Belum," jawab Gue cepat.
"Bagus," katanya. "Berarti lo nggak keberatan jadi kelinci percobaan buat roti homemade pertama Gue."
"Kedua. Yang pertama gosong kemarin." Rafa langsung nyaut.
Kami bertiga ketawa, dan untuk sekian hari, Gue ngerasa napas Gue nggak sesak lagi.
Pas Nadine sibuk di dapur, Rafa duduk di seberang Gue. "Lo hati-hati, ya. Darly tuh bukan cuma licik, tapi sabar. Orang sabar kalau punya niat jahat, jauh lebih berbahaya dari yang marah-marah di depan lo."
Gue ngangguk, tapi dalam hati Gue cuma bisa bilang, terlambat. Termasuk notifikasi email yang masih kebayang di kepala Gue. Kata-katanya pendek, tapi tajam.
Gue nggak bisa ceritain itu ke mereka. Bukan karena Gue nggak percaya, tapi karena Gue nggak mau mereka ikut terjebak lagi. Dunia yang lagi Gue hadapin sekarang udah terlalu gelap buat orang kayak Nadine dan Rafa.
Rafa mungkin mikir Gue setuju, tapi sebenernya dalam diri Gue udah mulai muncul sesuatu yang baru.
Bukan sekadar marah.
Tapi tekad.
Gue nggak mau cuma jadi korban yang disingkirin dari kursinya sendiri. Gue mau tau apa yang Darly sembunyikan. Dan kalau email itu tanda bahwa ada orang lain yang sadar, berarti Gue nggak sendirian sepenuhnya.
Nadine muncul lagi bawa sepiring roti yang masih hangat. "Lo harus makan dulu sebelum mulai mikir yang aneh-aneh," katanya sambil nyodorin piring.
Gue senyum kecil, nyicip sedikit, dan langsung ketawa. "Masih mentah."
Dia pura-pura manyun. "Yaudah, berarti lo yang buat sarapan besok kalau mau roti beneran."
Kami kembali ketawa. Tapi di tengah tawa itu, mata Gue sempat melirik keluar jendela. Mobil hitam berhenti di seberang jalan.
Nggak ada yang turun. Mesin masih nyala, tapi kacanya gelap. Gue berpura-pura nggak liat. Nggak mau ngerusak suasana.
Tapi jantung Gue berdetak lebih cepat.
Gue berusaha tenang, ikut nimbrung lagi ke obrolan mereka soal rencana usaha kecil dan liburan singkat mereka. Tapi kepala Gue udah nggak di sini. Gue cuma bisa mikir satu hal, entah siapa yang lagi ngawasin, dan kenapa perasaan Gue tambah nggak enak.
Di luar, daun-daun kering berputar kecil di udara, tapi mobil hitam itu diam. Lampunya mati, tapi mesin pelan-pelan bergetar. Gue nggak tau kenapa, tapi udara tiba-tiba terasa lebih dingin.
Setelah beberapa jam, Gue pamit. Nadine peluk Gue lama banget, Rafa cuma tepuk pundak Gue. "Kalau butuh tempat sembunyi, lo tau harus ke mana."
Gue senyum, tapi Gue ngerasa Gue nggak boleh sembunyi.
Bukan sekarang.
Begitu keluar dari rumah mereka, udara siang rasanya terlalu terang. Mobil hitam itu udah nggak ada. Tapi perasaan nggak enak itu masih nempel.
Gue berdiri di depan pagar, narik napas dalam.
Mereka punya arah baru dalam hidupnya, mereka bisa mulai dari nol dengan tenang. Sementara Gue… Gue masih harus balik ke dunia yang mulai retak.
Tapi kali ini, Gue nggak akan lari. Gue nggak akan biarin orang lain nulis akhir cerita Gue.
Gue sadar, kehilangan itu bukan soal jabatan atau ruang kerja. Tapi soal ngerasa nggak punya tempat lagi di hidup yang dulu Gue bangun sendiri.
Dan mungkin... kalau perang ini udah dimulai, setidaknya kali ini Gue tau, siapa yang sebenarnya harus Gue lawan.