Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Masa Tenang
Keesokan harinya, Ivy datang ke kantor perusahaan seperti biasa. Hari itu, ada rapat terbuka internal. Ivy tahu Gendis akan hadir. Dia tahu ini kesempatan untuk memberi batas.
Di tengah rapat, Gendis kembali melontarkan komentar sinis atas presentasi Ivy. Nada suaranya terdengar menyepelekan.
“Konsep kamu terlalu idealis. Pasar kita belum siap untuk sesuatu yang sekompleks itu.”
Ivy tersenyum tenang, lalu menjawab di hadapan semua orang, “Justru karena pasar belum siap, kita harus jadi yang pertama membawa ide itu. Kalau hanya ikut arus, kita akan selamanya jadi bayang-bayang perusahaan lain. Bukankah tujuan kita membangun inovasi, bukan hanya mengekor?”
Ruangan menjadi hening. Beberapa petinggi tampak mengangguk pelan. Hiro, salah satu pemegang saham utama, menyahut, “Saya setuju dengan Ivy. Justru itulah yang membuat kita punya diferensiasi.”
"Lagi pula kamu berada di sini bukankah hanya sebagai sekretaris? Oke, kamu memang memiliki saham, tapi itu terlalu kecil untuk kamu bisa memiliki hak berbicara di rapat ini, Ndis." Ivy tersenyum miring dengan tatapan semakin menyipit.
Gendis menggigit bibir bawahnya karena malu dan terpukul. Namun, tak bisa berkata apa-apa. Sepulang dari kantor, Gendis tak tahan lagi.
Perempuan tersebut datang ke rumah Noah malam-malam, menghentak gerbang depan dan memaksa ingin bicara. Ivy yang keluar lebih dulu.
“Cukup, Gendis! Kamu sudah kelewat batas. Ini rumahku. Ini hidupku. Kalau kamu pikir kamu bisa membuatku jatuh dengan intimidasi dan ancaman, kamu salah besar.”
Gendis terdiam, nafasnya memburu. Tangannya mengepal.
“Aku mencintai Noah, Ivy! Aku lebih dulu kenal dia, aku yang selalu ada untuk dia saat kamu nggak ada!” teriak Gendis.
Ivy tetap berdiri tegak. “Tapi sekarang aku yang dipilihnya. Bukan kamu.”
Pintu utama terbuka. Noah muncul. Tatapannya tajam. “Gendis, pulang. Mulai besok, kamu bukan bagian dari tim kami lagi.”
“Kamu memecatku? Karena dia?!” Gendis melotot dengan ujung telunjuk yang diarahkan kepada Ivy.
“No, karena kamu merusak batas. Kamu tidak tahu cara menghormati keputusan orang lain. Kamu tidak tahu cara berhenti,” ucap Noah dengan dingin.
Tangisan Gendis pecah. Namun, tak ada yang bergeming. Dia mencoba menangis lebih keras, berharap Noah akan luluh, tetapi Noah tak peduli.
Ivy hanya menatapnya dengan iba. “Kamu pernah punya kesempatan, Gendis. Tapi kamu memilih jadi racun, bukan penawar.”
Gendis pergi malam itu dalam tangis dan kehinaan. Sementara Ivy menutup pintu rumah mereka dengan tenang. Satu langkah kemenangan kecil untuk pertempuran besar yang akhirnya mereka menangkan bersama.
Noah menggenggam tangan Ivy. “Maaf karena semua ini berawal dariku.”
Ivy hanya tersenyum. “Tak apa. Yang penting sekarang, aku tahu kamu di pihakku.”
Malam itu, mereka tidur dalam damai. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ivy bisa memejamkan mata tanpa bayang-bayang ketakutan.
Sejak Gendis dipecat, perempuan tersebut tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya. Kehidupan Ivy dan Noah begitu tenang. Seakan halangan yang selalu membayangi menyingkir dengan sendirinya.
Dua hari sebelum resepsi pun situasi masih damai. Namun, ketenangan itu justru membuat hati Ivy merasa tidak tenang. Malam itu dia melamun di balkon karena terlali cemas dengan ancaman Gendis yang kembali terlintas.
"Vy," panggil Noah sehingga membuat perempuan tersebut tersentak.
"Kenapa kaget begitu?" Noah terkekeh kemudian mendekati Ivy.
Ivy menghela napas kasar. Noah memeluk Ivy dan mengecup pipinya. Kini keduanya menatap langit yang membentang dengan kerlip bintang.
"No, bukankah laut yang terlihat sangat tenang terkadang adalah salah satu pertanda bahwa akan datang badau besar?" Suara Ivy sedikit bergetar karena ketakutan yang kini menerpa hatinya.
Noah melonggarkan pelukannya. Dia kini meraih kedua lengan Ivy dan tersenyum lembut. Dia menyelipkan rambut yang menutupi wajah cantik sang istri.
"Sayang, bisa saja laut tampak tenang karena memang cuaca sedang benar-benar cerah dan stabil." Noah berusaha menenangkan sang istri.
"Tapi, tetap saja aku merasa tidak tenang, No. Ini terlalu tenang, sangat mencurigakan dan tidak biasa."
"Jangan-jangan kamu kangen sama Gendis dan kekacauannya?" Noah terkekeh seketika.
Lain halnya dengan Ivy. Dia menatap tajam sang suami sambil mengerucutkan bibir. Noah menghentikan tawanya.
"Ah, maaf. Maafkan aku." Noah kembali memeluk Ivy dan mengecup puncak kepala sang istri.
"Sekarang kita coba berpikir positif agar menarik hal-hal baik. Ayo kita fokus dengan pernikahan yang sudah di depan mata."
Ivy hanya mengangguk pasrah. Dia memejamkan mata dan mengatur napas. Ivy mencoba menanamkan pikiran baik kali ini agar menjadi lebih tenang.
***
Hari itu akhirnya tiba. Resepsi pernikahan Ivy dan Noah dilangsungkan di ballroom hotel bintang lima di tengah kota Surabaya. Dekorasi serba putih gading dengan aksen emas menghiasi setiap sudut ruangan, menciptakan nuansa elegan dan sakral. Ivy mengenakan gaun panjang yang dirancang khusus oleh desainer ternama di Surabaya, wajahnya terpoles anggun, dan senyumnya tampak tenang di permukaan.
Ivy berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Meski hatinya masih diliputi kegelisahan yang tak bisa dijelaskan, dia menepisnya perlahan. Tak ada tanda-tanda Gendis atau Mentari akan membuat ulah. Justru ketika keduanya datang, mereka terlihat bersikap seperti biasa.
Mentari menyapa sejumlah tamu penting dan bahkan berfoto bersama keluarga dan beberapa rekan bisnis. Gendis, dengan balutan gaun biru pastel, terlihat anggun dan tersenyum manis di depan kamera. Mereka bahkan sempat berbincang dengan beberapa wartawan.
“Noah dan Ivy adalah pasangan yang luar biasa. Kami turut bahagia atas pernikahan mereka,” ujar Mentari dengan tenang saat diwawancara.
Gendis pun menambahkan, “Aku turut mendukung penuh. Noah pantas mendapatkan kebahagiaan.”
Ivy hanya bisa mematung dari kejauhan, menyaksikan adegan yang terasa seperti sandiwara murah. Akan tetapi, dia mencoba percaya. Mungkin ini memang akhir dari semua drama. Mungkin Gendis dan Mentari akhirnya menyerah dan menerima kenyataan.
Hingga akhirnya suasana mendadak berubah. Ketika layar besar di tengah ballroom menampilkan video perjalanan cinta Ivy dan Noah, mulai dari sesi prewedding, kebersamaan mereka membangun perusahaan, hingga momen-momen haru saat prosesi pernikahan, semua mata terpaku pada layar.
Namun tiba-tiba, layar itu berganti. Tayangan terganggu. Seseorang dari bagian teknis tampak panik. Layar berubah. Menampilkan foto jelas dari dokumen kontrak pernikahan yang ditandatangani Ivy dan Noah.
Semua tamu bergemuruh. Bisik-bisik menyebar seperti api menjalar di ladang kering.
"Kontrak pernikahan? Maksudnya apa?"
"Itu tanda tangan Noah dan Ivy, kan?"
Ivy membeku. Matanya membelalak, napas tercekat. Noah yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangan istrinya, menariknya menjauh dari panggung. Di belakang ballroom, Ivy nyaris jatuh jika Noah tak segera memeluknya.
"Noah … apa itu barusan? Siapa yang ...?" Suara Ivy gemetar.