NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Kejutan Manis dan Satu Kejutan Panas (Part 2)...

Baru saja Rania mau beranjak dari pinggir lapangan setelah melihat deretan mobil baru, tiba-tiba suara klakson beruntun terdengar dari gerbang proyek. Suaranya berbeda, bukan seperti truk material.

Beberapa kepala menoleh.

Di luar pagar, berjejer mobil boks dengan logo katering terkenal di kota. Satu per satu masuk ke dalam proyek, membuat pekerja yang melihatnya melongo.

Pak Rudi yang kebetulan lewat sampai mengerutkan kening.

         “Apa lagi ini?” gumamnya bingung.

Begitu mobil boks berhenti, beberapa pegawai katering turun sambil membuka pintu belakang. Bau masakan langsung menyeruak ke udara. Wangi kaldu dan rempah begitu tajam menusuk hidung, membuat perut-perut yang kosong jadi tiba-tiba meronta.

         “Pak, kami diminta menyajikan makanan untuk seluruh pekerja di proyek ini,” kata salah satu staf katering sambil menyerahkan surat jalan.

         “Lho… siapa yang pesan?” Pak Rudi menerima surat itu dengan tatapan penuh tanda tanya.

Staf itu tersenyum sopan. “Tertulis di sini, dari Atmadja Holdings. Arahan langsung dari pusat.”

Kalimat itu seperti alarm. Semua orang langsung bersorak kecil. Makan siang gratis. Lengkap. Hangat. Di sisa hari kerja yang melelahkan.

Rania berdiri terpaku.

Melihat para pekerja mengangkat nasi kotak, minuman dingin, dan lauk pauk yang bahkan jarang mereka lihat sehari-hari. Sop buntut, ayam panggang, tumis sayuran segar, buah potong.

      “Ya ampun, ada sop buntut, Pak!” seru salah satu mandor sambil nyaris meloncat kegirangan.

Pak Rudi langsung menepuk pundak Rania dengan ekspresi campuran takjub dan lega.

     “Wah, Bu… ini pasti Pak Askara. Pasti beliau dengar Ibu kemarin pingsan. Luar biasa sekali, seluruh proyek dikirimi katering begini.”

Rania mengangguk pelan. Dadanya panas. Tapi suaranya tercekat.

Ia tidak perlu melihat kertas itu untuk tahu siapa dalangnya. Tidak perlu konfirmasi. Gestur ini terlalu tepat, terlalu personal.

Sementara semua orang sibuk antri mengambil makanan, Rania berdiri sedikit di pinggir. Matanya memandangi deretan kotak makan yang diturunkan. Aroma hangat yang menampar semua ingatannya.

Dion muncul pelan di dekatnya.

      “Bapak titip pesan… supaya Ibu tidak lagi telat makan, karena mulai hari ini, setiap hari katering akan datang menyediakan makan untuk semua pekerja." katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, "Terutama Ibu."

Rania menunduk. Tenggorokannya terasa kering, padahal di sekelilingnya ada ratusan botol minuman dingin.

Ia mengambil satu kotak, tapi tak langsung membukanya. Jemarinya menyentuh plastik pembungkus sendok, dingin di ujung jari.

Dalam hati, ia tahu satu hal, ini bukan sekadar makan siang. Ini cara seorang pria menunjukkan kepedulian yang tak pernah ia dapatkan dari siapa pun.

Saat pekerja lain bersorak, Rania diam-diam berbisik pada dirinya sendiri.

      “Kalau dia terus begini… aku tidak akan bisa ke mana-mana lagi, selain jatuh ke arahnya.”

...----------------...

Langit sore sudah menggelap sempurna. Lampu-lampu di area proyek menyala redup, bergantungan di tiang-tiang besi. Di ruang site manager, sebagian besar pekerja sudah pulang. Rania masih duduk di mejanya, menyelesaikan laporan, dengan tubuh lelah tapi perut yang kali ini terasa hangat.

Di samping laptop bututnya, kotak katering yang tadi siang hanya setengah habis. Sisa sop buntut sudah dingin, tapi ia sengaja tidak membuangnya. Rasanya terlalu berharga.

Ponsel bututnya tiba-tiba bergetar. Getaran kecil di atas meja kayu tua itu membuat jantungnya ikut bergetar. Nomor tak dikenal.

Ragu-ragu, ia menggeser layar dan menempelkannya di telinga.

         “Halo…” suaranya pelan.

Di seberang sana, suara itu terdengar datar tapi hangat.

         “Makanannya enak?”

Waktu berhenti. Dunia di sekitar Rania seperti diremas sunyi. Rania terdiam beberapa detik. Napasnya tercekat. Ia mengenali suara itu.

        “… Askara?” suaranya lirih, hampir berbisik.

         “Jawab dulu,” balas suara itu, ringan. “Enak?”

Rania menelan ludah. “Enak sekali. Terima kasih. Tapi, kenapa harus… sampai seperti itu?”

Hening sebentar. Suara napas di seberang terdengar berat, seperti menahan sesuatu.

        “Aku hanya tidak ingin kamu merasa lapar lagi,” katanya pelan.

Rania memejamkan mata, satu tangannya mengepal di atas paha.

       “Jujur saja, semua ini… membuatku jadi susah berkonsentrasi kerja, Askara” gumamnya. Ada getir di suaranya. “Seharian ini aku terus memikirkan. Kenapa kamu begitu baik? Kenapa begitu peduli?”

Jawaban di ujung sana terdengar rendah, namun tegas.

       “Karena aku tidak bisa diam melihatmu seperti kemarin. Dan… karena aku sayang."

Kalimat itu menghantam jantungnya. Rania menegakkan tubuh, kedua matanya membulat.

       “Sayang?” bisiknya tak percaya.

       “Ya,” jawab suara itu lagi. Tapi kali ini, bukan hanya dari ponsel.

Ada gema samar di belakang punggungnya. Rania perlahan menoleh.

Di sana.

Di ambang pintu ruang site manager yang setengah terbuka, Askara berdiri.

Dengan jas formal seperti biasa, lengkap dengan kemeja rapi super licin dan dasi yang senada. Wajahnya serius, matanya menatap lurus ke arahnya. Dan ponsel di telinganya masih menempel, seolah sengaja menunggu momen ini.

Suara itu, yang sedari tadi menggetarkan telinga Rania, kini terdengar langsung di udara.

       “Aku sayang,” ulangnya. Kali ini tanpa jarak.

Rania tak tahu apa yang harus dilakukan. Ponselnya nyaris terlepas dari tangan. Dunia seperti mengecil, hanya menyisakan detak jantungnya yang kalut dan tatapan mata lelaki itu.

Seperti terhipnotis, Rania berjalan mendekat, terus mendekat, hingga kini berdiri di depan Askara, jarak mereka tinggal sejengkal. Ponselnya ia biarkan jatuh begitu saja. Matanya menatap penuh rasa..

      “Sudah cukup melihat dari jauh?” ucapnya lirih..

Lalu, tanpa aba - aba.... Rania menarik pelan leher Askara, melumat rakus bibirnya, lembut tapi menuntut, penuh napsu. Napas mereka berlomba, ciuman jadi basah, lidah mereka bertaut dan saling menjajah.Mendesah. Askara sempat berhenti sepersekian detik, lalu kalah, menarik tubuh Rania lebih dekat.

Udara di ruang site manager malam itu padat. Bau semen dan cat tipis-tipis bercampur dengan aroma tubuh mereka.

Askara merasakan giginya, lidahnya, semua bercampur. “Rania…” ia bergumam di sela napas, tapi tidak ada waktu untuk kata-kata.

Napas mereka saling menelan.

Askara merenggut pinggang Rania, membalas dengan ciuman yang sama buasnya. Digiringnya Rania menuju meja kerja. Menghimpit. Kursi di belakang hampir terguling saat tubuh mereka saling menekan.

Jari Rania menelusup ke kemeja Askara, kancing terbuka satu demi satu. Kulit hangat menyambut telapak tangannya.

Ia menurunkan ciumannya ke rahang, lalu leher. Lidahnya menari di sana, meninggalkan basah hangat yang membuat Askara mengerang tertahan.

       “Rania…” suaranya serak.

       “Askara..” bisik Rania, napasnya panas di telinga Askara. Ia menggigit kecil kulit leher pria itu, meninggalkan bekas merah.

Askara sudah tidak sanggup menahan diri. Tangannya naik, membuka blus Rania hingga dadanya hampir terlihat. Ia menunduk, mencium bahu Rania.

Rania menahan napas. Tangannya menangkap tangan Askara, membawanya menyentuh dada. “Pegang aku. Aku tidak mau berpura-pura lagi.”

Tangan besar Askara menyentuh, memegang, bergerilya. Bibirnya tak mau kalah, berpindah ke dada Rania, melalui sela blus yang setengah terbuka. Hisapannya pelan tapi dalam. Rania menggigit bibir, mendesah tertahan.

Mereka berciuman lagi, kali ini lebih liar. Rania nyaris duduk di atas meja, kakinya melingkari pinggang Askara. Napas keduanya memburu. Ruangan itu dipenuhi aroma kertas, debu, dan tubuh yang memanas. Askara sempat menunduk, bibirnya mengecap lagi dada Rania yang sudah terbuka sebagian, membuat tubuh Rania melengkung.

Dan tepat saat itu...

lampu ruangan mendadak mati.

Listrik padam. Suara generator di luar belum sempat menyala. Gelap gulita.

Sejenak mereka terdiam, hanya suara napas yang terdengar.

“Askara…” suara Rania pelan, nyaris berbisik.

Dalam gelap, Askara masih bisa meraba wajah Rania. “Kalau aku lanjut, aku tidak akan bisa berhenti,” ucapnya rendah, berat.

“Aku tak akan memintamu berhenti,” jawab Rania, matanya berubah sayu, penuh napsu. Menantang.

Askara nyaris kehilangan kendali. Ia kembali mencium Rania, lebih panas, tangannya sudah tak tahu aturan, menelusuri pinggang sampai ke dada.

Tapi suara langkah-langkah panik dari luar, pekerja proyek berlari-lari, orang memanggil nama masing-masing, memecah dunia mereka.

Suara ribut itu seperti menampar realitas. Askara menarik tubuh Rania ke dadanya, menahan napas.

“Nanti. Kita belum selesai.” Bibirnya masih menempel di telinga Rania.

Rania mendongak, matanya menantang dalam gelap. “Jangan buat aku menunggu terlalu lama, Askara.”

Keributan di luar membuat Askara menarik napas panjang. Pria itu membereskan baju Rania, menutup kancingnya.

“Ikut aku,” suaranya rendah, nyaris mendesak.

Ia menggenggam tangan Rania, menariknya ke pintu belakang. Gelap membuat langkah mereka terburu-buru.

“Askara, mau ke mana?” bisik Rania.

“Mobil. Kita belum selesai.”

Di parkiran belakang, SUV hitam itu menunggu. Begitu pintu belakang tertutup, dunia di luar menghilang. Hanya ada mereka.

Askara langsung menarik tubuh Rania ke pangkuannya. Napas mereka beradu, panas.

“Kamu tahu… aku hampir gila tadi,” ucap Askara, suaranya serak.

Rania tidak menjawab. Ia yang lebih dulu mencium. Bibirnya menghantam bibir Askara, dalam dan tanpa jeda.

Askara membalas, lidah mereka bertemu, bergesekan. Rania merintih pelan saat tangan Askara meremas pinggangnya, menarik tubuhnya lebih dekat.

Jari Askara mulai membuka satu-satu kancing blus Rania lagi, kali ini tanpa halangan. Kulit lembut di balik kain menyambut jemarinya.

Rania gemetar, tapi bukannya menolak, ia justru memegang pergelangan tangan Askara, menuntunnya lebih berani.

“Askara… jangan berhenti,” desisnya.

Askara menunduk, bibirnya berpindah ke leher. Ciuman basah itu turun, lalu bibirnya menghisap kulit leher Rania, menambah jejak merah yang pernah ia tinggalkan.

Tubuh Rania melengkung. Napasnya terputus-putus.

Tangannya sendiri sibuk pada Askara, menarik dasinya, menyusupkan tangan di kemeja yang sudah tak berkancing. Dadanya hangat, keras, wangi samar maskulin yang sudah menghantuinya berminggu-minggu.

Askara mempermudah, membuka jas dan dasinya. Menyisakan kemeja yang kini terbuka. Rania tempelkan bibirnya ke dada itu, mengecap pelan.

“Rania…” suara Askara berat, nyaris memohon. Tangannya kini menelusup lebih dalam di balik blus, meraba payudara Rania, meremas lembut tapi rakus. Rania tersentak, kedua pahanya menjepit kaki Askara.

Mereka lupa waktu.

Askara mendorong tubuh Rania rebah di kursi panjang. Tubuhnya ikut menindih. Ciuman mereka liar. Jari-jari Askara mengusap perut Rania, turun, lalu berhenti di pinggang celananya.

Ia mendekatkan bibir ke telinga Rania.

“Katakan kalau kamu mau, sekarang juga…”

“Aku mau,” jawab Rania, suaranya nyaris pecah.

Askara baru saja akan membuka kancing celana Rania ketika suara langkah dan tawa beberapa orang mendekat ke area parkiran. Ada bunyi pintu mobil lain dibuka.

Askara memaki pelan. “Sial.”

Ia menarik napas berat, memeluk Rania erat seolah ingin menahan tubuhnya di situ selamanya.

“Belum selesai,” bisiknya.

Rania, wajahnya merah dan bibirnya bengkak, menatapnya dengan sorot mata yang sama panasnya. “Jangan membuatku menunggu terlalu lama, Askara.”

Suara orang-orang di luar memaksa Askara duduk tegak. Napasnya masih berantakan saat ia merapikan baju Rania.

Sesaat mereka hanya saling menatap dalam gelap. Dalam hati mereka menyadari, kalau mereka sudah melangkah terlalu jauh dan tak mungkin kembali. Tepatnya tak ingin kembali.

(Bersambung)......

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!