Di cerai karena anak yang dia lahirkan meninggal, membuat hati Adelia semakin terpuruk, akan tetapi beberapa hari kemudian, dia di minta untuk menjadi ibu susu anak CEO di tempatnya bekerja, karena memang dirinya di ketahui mempunyai ASI yang melimpah.
Apakah Adelia mampu menyembuhkan lukanya melalui bayi yang saat ini dia susui? Temukan jawabannya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berangkat Ke Amerika
Maya sudah berlalu pergi, namun benaknya masih tertinggal di kepala Arthur. Wajah wanita itu ... Mirip, nyaris identik. Garis mata, bentuk bibir, hingga cara dia tersenyum, benar-benar menampar keyakinan yang selama ini Arthur genggam erat.
“Tapi... Sisi sudah meninggal. Aku yang menguburnya.”
Batinnya bergejolak seolah bukti itu merupakan tamparan keras yang masih menuntunnya untuk menutupi kebenaran ini.
"Tidak ini tidak mungkin, Sisi sudah meninggal bukti itu ... Dan baju yang terakhir di pakainya itu sudah menjadi bukti kalau Sisi sudah meninggal," gumam Arthur di tengah kebingungannya.
Langkah kakinya terasa berat saat kembali ke kamar. Di dalam, Adel sudah mulai menyuap makanan yang tadi ia bawakan. Ia terlihat lebih tenang, tapi semburat merah di bawah matanya tak bisa berbohong, wanita itu pasti menangis tadi, mungkin karena rasa lelah, atau karena memori tentang anak kandungnya yang tak sempat dia peluk.
Arthur berdiri di ambang pintu, memperhatikan tanpa suara. Untuk pertama kalinya, pandangannya tak diselimuti ketegangan atau prasangka. Yang ia lihat malam itu hanyalah seorang ibu, meski bukan ibu kandung. Dalton yang begitu tulus dan berusaha sekuat tenaga memberi kasih sayang pada bayi kecil itu.
“Kalau Sisi masih hidup... apa dia tahu bahwa anaknya kini disusui wanita lain?”
Pikiran itu melintas, dan entah kenapa menyesakkan dadanya.
“Del,” panggil Arthur akhirnya.
Adel tersentak pelan. “Tuan? Maaf, saya tadi makan dulu karena...”
Arthur menggeleng pelan. “Gak apa-apa. Aku justru lega kamu makan. Gimana rasanya?”
Adel tersenyum kecil. “Enak. Terima kasih, Tuan. Saya belum pernah makan salmon semahal ini.”
Arthur melipat kedua lengannya. “Kalau bisa bikin ASI kamu bagus, kenapa tidak. Aku rela beli seratus porsi.”
Adel terkekeh, senyumnya mulai terlihat lebih santai. Tapi Arthur masih berdiri di ambang pintu, seolah ragu melangkah masuk. Ada beban lain yang menempel di dadanya.
“Del,” panggilnya lagi, kali ini lebih pelan.
“Iya, Tuan?”
Arthur menghela napas panjang. “Kalau... kalau seseorang yang kamu cintai sudah lama dikatakan meninggal, tapi tiba-tiba ada seseorang yang sangat mirip dengannya muncul, apa kamu akan percaya dia hidup?”
Adel terdiam. Ia meletakkan sendok perlahan, menatap pria di hadapannya itu dengan raut heran.
“Itu... pertanyaan serius, Tuan?”
Arthur menatap Adel dalam-dalam. “Sangat," sahut Arthur.
Adel menghela napas. “Kalau saya... mungkin akan ragu. Tapi saya akan cari tahu. Karena kadang yang terlihat di mata, bisa jadi hanya tipu muslihat semesta," ucap Adel.
Arthur mengangguk pelan. Kata-kata itu mengendap seperti embun di pagi hari. Lembut, tapi menampar hatinya yang selama ini mengunci kemungkinan.
Di box bayi, Dalton mulai menguap kecil, pipinya merah, tubuhnya hangat seperti biasa. Namun malam itu, yang terasa berbeda bukan hanya suhu tubuh sang bayi—melainkan hawa di antara dua orang dewasa yang kini tak lagi saling menyerang, melainkan perlahan mulai menyembuhkan.
Arthur melangkah mendekat, duduk di sisi Adel.
“Aku akan pergi sebentar, mungkin besok. Tapi aku akan titip Dalton sama kamu," ucap Arthur dengan tatapan sendu, tidak seperti sebelumnya yang selalu menatapnya dengan tatapan elangnya.
Adel terkejut. “Pergi? Ke mana?”
Arthur menatap ke jendela. Di luar sana, kota masih terjaga, dan mungkin, kebenaran sedang menunggu untuk ditemukan.
“Ke Amerika.”
*********
Pagi itu, udara rumah sakit terasa lebih sunyi. Tidak ada tangisan Dalton. Tidak juga ocehan sarkastik Arthur yang biasanya terdengar menusuk. Adel memandangi bayi kecil di pelukannya, yang kini tertidur pulas setelah disusui. Tangan mungil itu menggenggam jari telunjuknya seolah takut terlepas lagi dari kasih sayang.
Pintu terbuka pelan.
Arthur berdiri di sana dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya. Jaket kulit hitam, jeans gelap, dan koper kecil di tangan. Ia hanya memandang sebentar, sebelum meletakkan koper di sisi kursi.
"Aku titip dia, Del," ucapnya singkat.
Adel menoleh. “Tuan yakin mau pergi? Bagaimana kalau ternyata hanya orang mirip?”
"Aku gak yakin. Tapi kalau aku tidak mencari tahu, aku akan dihantui seumur hidup."
Adel mengangguk pelan. “Kalau begitu, percayakan Dalton padaku.”
Arthur menatapnya. Lama. Dalam. Seolah ingin memastikan bahwa wanita itu benar-benar sanggup menggantikan sosok yang hilang dari hidup anaknya.
“Jaga dia seperti anakmu sendiri.”
Adel menunduk sebentar, lalu menjawab dengan suara yang tak bisa disangkal ketulusannya,
“Sudah dari awal aku menganggapnya begitu.”
Arthur tak menjawab. Ia hanya menatap Dalton untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi, meninggalkan kamar itu dengan perasaan yang tak karuan. Penerbangannya ke New York akan segera berangkat.
*******
Bandara Soekarno–Hatta tampak ramai seperti biasa. Namun Arthur merasa asing di tengah keramaian. Selama di pesawat, pikirannya berputar tanpa henti. Ia menonton ulang video yang dikirim Maya—berulang-ulang. Dari sudut pandang kamera, gerak tubuh wanita itu... bahkan suara tawanya—terasa terlalu familiar.
"Sisi..." gumamnya dalam hati.
Apakah mungkin?
Saat pesawat mendarat di Bandara JFK, angin dingin musim semi menyambutnya. Ia tak langsung menuju hotel, melainkan langsung menuju alamat restoran tempat Maya bertemu wanita itu seminggu lalu.
Arthur mulai duduk lalu waiters mulai menghampirinya dengan sambutan yang begitu ramah.
"Selamat malam Tuan," ucap pelayan itu sambil menyodorkan buku menu.
Arthur pun mulai membaca sebentar menu tersebut, laku diapun mulai memesan minuman dan makanan yang tertera di dalam buku menu itu, akan tetapi sebelum pelayan itu kembali ke belakang Arthur menyempatkan diri untuk bertanya mengenai seorang wanita yang ada di dalam Poto itu.
"Nona, boleh aku bertanya," ucap Arthur.
"Boleh," sahut pelayan itu singkat tapi jelas.
"Apa satu Minggu yang lalu ada seorang perempuan yang datang di restaurant ini?" tanya Arthur sambil mengeluarkan foto seorang wanita dari dompetnya.
Pelayan itu mulai mengerenyitkan dahinya, dia tahu perempuan itu akan tetapi dia sepertinya sudah mempunyai pasangan.
"Shofia," ujar pelayan itu yang membuat dada Arthur semakin terkejut.
Mendengar nama itu harapan Arthur seakan runtuh, sepertinya benar apa yang di lihat di video itu salah, dan wanita itu bukan Sisi melainkan Shofia, akan tetapi di dalam benak hatinya kenapa tersirat kalau wanita itu perlu di selidiki.
"Eeeemb, begini Nona, apa boleh aku meminta alamat perempuan ini?" pinta Arthur.
Pelayan itu mulai menuliskan sesuatu di secarik kertas kosong, karena memang dia sering mengirim makanan di tempat Shofia.
"Ini Tuan," ucap Pelayan itu sambil menyodorkan sepucuk kertas yang berisi tulisan alamat rumah Shofia.
"Makasih Nona," sahut Arthur, pelayan itu hanya mengangguk lalu kembali lagi ke belakang.
Beberapa menit kemudian akhirnya makanan yang ia pesan pun sudah terhidang dihadapannya, pria itu segera menyantap, hidangan di hadapannya itu, sambil dipenuhi dengan perasaan penasaran yang harus pecahkan dalam waktu dekat ini.
"Ya Tuhan jika memang dia Sisi ... Maka tunjukkan kebenaran itu," gumam Arthur.
Bersambung
vote pun udah meluncur lho