Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melupakan Dendam dan Rencana Kela
Dalam perjalanan, Pradipta menyetir sambil melirik gadis di sampingnya. Hana masih seperti biasa, diam, tenang, dan sulit ditebak. Tapi saat ini, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Pradipta sedikit bimbang. Bukan pada hatinya tapi pada ucapan Malika yang terus terngiang.
"Apa kau yakin dia masih suci?"
Kata-kata itu seperti jarum halus yang menusuk pelan-pelan. Pradipta menggenggam erat kemudi. Ia menahan napas sejenak.
Namun, perlahan tapi pasti, logikanya kemudian bekerja. Ia tahu Hana lebih dari sekadar kata-kata mereka.
Gadis itu dingin, penuh tembok, bahkan untuk menyentuh tangannya saja selama satu bulan ini mereka berhubungan mustahil dilakukan.
Senyuman pun mahal, apalagi sentuhan.
“Dia bukan tipe yang bisa ditaklukkan rayuan bodoh.”
“Dia bukan gadis lemah yang menyerahkan diri demi validasi.”
“Dia menjaga dirinya lebih kuat dari siapa pun yang pernah kukenal.”
Pradipta menoleh sebentar ke arah Hana, yang sedang menatap jalan dengan wajah datarnya.
“Aku lebih percaya pada sorot matamu, Hana, daripada ucapan siapa pun.” batinnya.
Dan meskipun Malika sudah mencoba menanamkan keraguan, Pradipta tahu dengan pasti satu hal.
Keinginannya pada Hana bukan tentang tubuh, tapi tentang siapa Hana sebagai wanita kuat berpendirian.
Sesampainya di restoran, Hana turun dari mobil dengan langkah ragu. Pradipta menunggu di sisi pintu, lalu menyodorkan tangan, namun seperti biasa Hana hanya tersenyum tipis dan berjalan mendahuluinya.
Namun seketika wajahnya mencair ketika melihat Ratna, ibu Pradipta, berdiri di depan pintu restoran dengan senyum lebar dan tangan terbuka. Tanpa ragu, Ratna memeluknya hangat, pelukan seorang ibu yang tak pernah Hana dapatkan sejak kecil.
“Hana, kamu cantik sekali malam ini. Terima kasih sudah datang, Ibu senang sekali,” ucap Ratna dengan lembut.
Hana menunduk. Senyumnya tulus, tapi matanya sedikit berkaca. “Terima kasih, Bu,” bisiknya.
Di meja makan, percakapan mengalir hangat. Ratna menceritakan masa kecil Pradipta dengan penuh tawa, dan Pradipta kadang menyela dengan lelucon, membuat Hana untuk pertama kalinya, tertawa lepas tanpa beban.
Tapi, di balik semua kehangatan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam hati Hana, perasaan bersalah.
“Mereka tulus padaku. Mereka menerima aku tanpa syarat. Tapi bagaimana jika mereka tahu? Bahwa pernikahan ini awalnya hanyalah bagian dari dendamku.”
Hana menunduk dalam diam, bermain dengan sendoknya. Hatinya sesak.
Rasa sayang yang tulus dari Ratna terasa seperti pelukan di tengah hujan, namun semakin hangat itu terasa, semakin ia takut, akan luka yang bisa ditinggalkannya nanti.
Di sisi lain, Pradipta menatapnya lama. Ia tahu ada badai dalam hati Hana. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, ia memilih untuk tidak memaksa.
***
Sementara di restoran Hana merasakan hangatnya kasih sayang dari Ratna dan Pradipta, suasana di rumah Burhan bagai bara yang menyala dalam diam.
Burhan duduk di ruang tamu dengan wajah gelap. Di hadapannya, Malika masih murung dan tak banyak bicara, menunduk dalam rasa bersalah, sementara Sri dan Rosma hanya duduk mematung, tak berani bersuara.
Burhan memukul meja keras, membuat semua terlonjak.
“Ini semua gara-gara Hana yang tiba-tiba datang ke rumah kita!”
“Kalau dia tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah ini. Maka semua ini tak akan terjadi. Seharusnya saat ini putriku sedang berbahagia, makan malam bersama calon suami dan ibu mertuanya.”
“Jadi. Kalau Malika hancur, Hana juga harus lebih hancur! Aku tidak akan biarkan dia menang! Aku tak akan biarkan dia tersenyum ketika putriku menangis."
Rosma mencoba menenangkan, “Tapi Burhan. Apa yang akan kamu lakukan padanya? Ingat kalau Pradipta sudah mewanti-wanti untuk tak mengganggu calon istrinya.”
“Justru itu! Sebelum dia benar-benar jadi istri Pradipta, kita harus segera bertindak!”
“Apa maksudmu?” tanya Rosma, cemas.
Burhan mengeluarkan ponselnya. Lalu memperlihatkan foto seorang lelaki paruh baya, berwajah kasar dan bengis. Lelaki itu adalah rekan lama Burhan, pemilik usaha ekspedisi kecil yang dikenal licik dan haus kuasa.
“Dia butuh istri, dan dia mau bayar berapa pun. Aku akan menikahkannya Hana dengan. Maka aku akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus, uangnya juga penderitaannya." Burhan tersenyum sinis.
Sri kaget, “tapi Hana pasti menolak. Dia tak akan menurut begitu saja. Bagaimana kalau dia melapor pada Pradipta? Ingat jika Hana lebih cerdik dari yang kita kira."
"Karena itu kita harus mencari kelemahan Hana. Pasti akan ada celah. Pradipta juga tak akan selalu bisa mengawasinya. Ketika dia lengah baru Hana yang kita urus."
“Kalau perlu kita paksa saja dia! Kita buat semuanya harus sah secara hukum. Kita punya jalur, kita bisa buat semua tampak legal.”
"Jika Hana sudah menjadi istri orang lain secara sah di depan hukum. Pradipta tak bisa berbuat apapun, dia seorang polisi dan dia lebih tahu hal itu." Burhan tersenyum puas
Rosma menatap Burhan dengan takut. Bahkan Malika pun kali ini memalingkan wajah. Dalam hatinya, ada ketakutan. Tapi rasa iri dan kebenciannya pada Hana membuat dia tidak menentang.
“Kalau hidupku berantakan, kenapa hidupnya harus sempurna?” batinnya.
Rencana pun mulai disusun.
Mereka hanya butuh satu momen
Ketika Hana sendiri.
Tanpa perlindungan Pradipta dan tanpa tahu bahwa dirinya sedang dijebak.
**
Di pagi yang cerah, sinar matahari menembus kaca jendela kamar Hana. Di depan cermin, Hana memandangi wajahnya sendiri. Wajah yang dulu sering ia benci, karena setiap pantulannya mengingatkan pada luka, penghinaan, dan perlakuan keji dari orang-orang yang seharusnya mencintainya.
Namun pagi ini, wajah itu berbeda.
Ada cahaya lembut di matanya. Ada senyum tipis yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bukan senyum licik atau senyum perhitungan seperti biasa. Ini senyum tulus. Senyum penuh harapan.
“Mungkin ini cukup,” bisik Hana pelan, matanya berkaca.
“Mungkin aku sudah cukup membalas semuanya.”
Di hatinya, ia mulai meyakinkan diri bahwa dendamnya tak perlu diselesaikan lagi. Luka masa lalunya perlahan telah dibasuh oleh cinta sederhana nan tulus dari Pradipta dan Ratna.
“Aku ingin bahagia bukan ingin menang,” ujarnya tegas pada dirinya sendiri.
Maka dari itu,ia tidak bisa terus menggenggam cinta yang dibangun di atas rahasia dan niat yang dulu kelam. Meskipun kini ia telah memilih untuk berhenti membalas dendam, hatinya tidak akan benar-benar tenang sebelum ia berkata jujur pada Pradipta.
Tentang semuanya.Tentang siapa dia dulu. Tentang semua rencana yang hampir ia jalankan. Tentang motif awal di balik hubungan mereka. Dia ingin Pradipta mencintainya karena tahu segalanya, bukan karena dibutakan oleh manisnya permukaan.
Sementara di kamar utama, tanpa Hana tahu rencana kelam sedang digodok untuknya.
Burhan masih mengira Hana adalah ancaman.
Padahal, Hana sudah memilih untuk damai.
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..