NovelToon NovelToon
The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Mata-mata/Agen
Popularitas:564
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.

Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.

Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Analisis Di Tengah Kekacauan

Suara Solara yang berderap menjauh bersama Noval, Rendi, Intan, dan Bagas adalah satu-satunya jaminan bagi Dira. Di lorong gelap itu, cahaya obor yang redup menari-nari di wajahnya yang tegang, memantulkan bayangan Utusan bertopeng emas dan dua pengikutnya yang kini berdiri menghadang. Debu dan kelembapan di udara terasa mencekik, bercampur dengan aura dingin yang memancar dari ketiga musuh.

"Kalian pikir bisa melarikan diri?" Suara Utusan bergema, memantul di dinding batu, menambah kengerian.

Dira melangkah maju, memosisikan dirinya di depan Yuni dan Rivani. Tangannya mantap menggenggam senjata tembak energi The Vault, desain futuristiknya berkilat samar. Ia tahu ini bukan medan perangnya. Dira adalah seorang pemimpin, seorang pemikir strategis, bukan petarung lapangan seperti Rivani atau Yuni. Namun, mundur bukanlah pilihan.

"Kami tidak akan lari," sahut Rivani, nadanya penuh tantangan. Ia sudah memasang kuda-kuda, matanya menajam, siap menghadapi lawan. Tubuhnya bergerak luwes, seperti kucing yang siap menerkam. Di sampingnya, Yuni mengatupkan bibir, aura spiritualnya terasa lebih pekat, siap menggunakan kemampuannya.

Pertarungan pecah dalam sekejap.

Kedua pengikut Utusan itu bergerak duluan. Salah satunya, pria berbadan tegap dengan pedang energi yang memancarkan cahaya ungu samar, melesat ke arah Rivani. Pria kedua, yang lebih ramping dengan sepasang belati yang sama-sama bersinar, menyerang Yuni. Utusan sendiri, dengan topeng emasnya yang mengerikan, berdiri diam di tengah, mengamati, seolah membiarkan para pengikutnya menguji kemampuan mereka.

Rivani menyambut serangan pedang energi itu dengan serangan balik cepat. Gerakannya tangkas, menghindari tebasan horizontal yang mengarah ke perutnya, lalu membalas dengan tendangan memutar ke arah rusuk. Lawannya, meskipun tegap, memiliki kecepatan yang mengejutkan. Ia menangkis tendangan Rivani dengan lengan berpelindung, lalu mencoba menusuk balik. Suara desingan energi beradu dengan decit sepatu Rivani yang bergesekan di lantai batu.

Sementara itu, Yuni berhadapan dengan lawan berbelati. Yuni, yang cenderung mengandalkan kelenturan dan intuisi mistik, bergerak seperti bayangan. Ia menghindari ayunan belati dengan meliuk, tubuhnya berputar elegan, lalu mencoba mendaratkan pukulan siku ke rahang lawan. Lawannya, terkejut dengan kelincahan Yuni, berhasil menghindar tipis. Pertarungan mereka lebih senyap, diwarnai gerakan cepat dan serangan balik yang mengandalkan presisi.

Dira menembakkan senjatanya. Sinar energi biru melesat dari moncong pistolnya, mencoba mengenai salah satu pengikut Utusan. Namun, ia tidak punya pengalaman menembak dalam situasi tempur yang dinamis. Sinar itu meleset jauh dari target, menghantam dinding lorong dan menciptakan percikan api kecil. Ia mengumpat dalam hati. Keterampilannya terasa lumpuh di sini.

Utusan tiba-tiba mengangkat tangannya. Simbol mata satu di topengnya berkedip, dan sebuah gelombang kejut tak kasat mata menghantam Dira. Dira terpental, punggungnya menghantam dinding lorong dengan keras. Rasa sakit menjalari tulang belakangnya. Ia terbatuk, napasnya tersengal.

"Dira!" teriak Rivani, suaranya mengandung kekhawatiran. Sedetik ia lengah, dan pedang energi lawan nyaris menggores lengannya.

"Fokus, Rivani!" teriak Dira, berusaha bangkit. Ia mengabaikan rasa sakit dan berusaha mencari celah. Otaknya, meskipun tubuhnya kaku dalam pertarungan, mulai bekerja. Ia menganalisis.

Utusan itu tidak bergerak banyak, namun energinya terpancar begitu kuat. Serangannya tidak terlalu sering, tapi setiap kali ia menyerang, itu sangat mematikan. Dira melihat bagaimana Yuni dan Rivani, agen lapangan terbaik mereka, mulai kewalahan. Lawan-lawan mereka bukan prajurit biasa. Ada sesuatu yang sangat berbeda dari gerakan dan kekuatan mereka.

Yuni, setelah beberapa kali menghindari serangan belati, mencoba melancarkan serangan spiritual. Telapak tangannya memancarkan cahaya putih samar, dan ia mencoba mengarahkan gelombang energi ke arah lawannya. Namun, lawan itu hanya tertawa dingin, dan belati di tangannya memancarkan aura hitam yang dengan mudah menangkis energi Yuni.

"Ilmu kalian masih dangkal," ejek suara dingin Utusan.

Pria pedang energi mendorong Rivani ke dinding, menahannya dengan kekuatan brutal. Pedangnya diacungkan, siap menusuk. Rivani berusaha berontak, otot-ototnya menegang, tapi lawan itu terlalu kuat.

Dira tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tak bisa hanya menembak membabi buta. Ia harus menemukan kelemahan.

Ia memfokuskan pandangannya pada Utusan. Dari mana energi itu berasal? Bagaimana ia mengendalikan kedua pengikutnya? Simbol mata satu di topengnya terus berkedip, dan setiap kali ia menyerang, cahaya ungu dari langit di atas sana tampak berkoordinasi, seolah kekuatannya terhubung dengan retakan itu.

"Mereka terhubung dengan langit!" teriak Dira, menyadari sesuatu. "Cahaya ungu itu!"

Yuni yang mendengar Dira langsung mengubah taktik. Ia tidak lagi mencoba menyerang dengan energi spiritual, melainkan mencoba memutus koneksi lawannya. Dengan gerakan cepat, ia melesat ke depan, bukan untuk memukul, melainkan untuk menyentuh pergelangan tangan lawan yang memegang belati. Lawan itu terkejut, mencoba menarik tangannya. Saat sentuhan itu terjadi, belati di tangan lawan berkedip-kedip, seolah kehilangan daya.

Melihat celah, Rivani menggeram. Dengan segenap kekuatan, ia mendorong lawan pedang energi itu, berhasil melepaskan diri. Ia berputar, menendang kuat ke lutut lawan, lalu mengunci lengannya dalam bantingan judo. Lawannya terpental, menghantam lantai batu dengan bunyi keras. Pedang energinya terlepas dari genggaman.

"Bagus, Yuni, Rivani!" seru Dira. "Kalian bisa melakukannya!"

Namun, Utusan tidak tinggal diam. Ia menatap tajam ke arah Dira, dan sekali lagi, gelombang energi menghantamnya. Kali ini, Dira sudah lebih siap. Ia mencoba menghindar, namun energi itu terlalu cepat. Ia terpental lagi, kali ini lebih parah. Pistol energinya terlempar dari tangannya, terbentur dinding dan meluncur ke sudut gelap.

"Dira!" Yuni berteriak panik.

Utusan perlahan maju, langkahnya tenang namun penuh ancaman. "Kau adalah kelemahan mereka, Pemimpin. Tanpa pengalaman bertarung, kau hanyalah beban."

Kata-kata itu menusuk Dira lebih dalam dari hantaman fisik. Ia tahu Utusan benar. Ia merasa frustrasi, marah pada dirinya sendiri. Tapi ia tidak bisa menyerah. Ia adalah pemimpin The Vault.

Ia melihat ke arah pistolnya yang tergeletak. Tidak bisa dijangkau.

Analisis! Otak Dira berputar cepat. Utusan itu… dia tidak banyak bergerak. Dia mengandalkan energi jarak jauh, dan dia terlihat terhubung dengan retakan langit. Kedua pengikutnya, meski kuat, tampak agak bergantung pada Utusan, atau setidaknya, ada sinergi yang menghubungkan mereka.

Lawan Rivani, yang sempat terbanting, kini bangkit kembali, pedang energinya kembali di tangannya. Lawan Yuni juga kembali mendapatkan belatinya, aura gelapnya makin kuat. Mereka seperti mendapatkan suntikan energi baru.

Dira mendapati sebuah ide. Jika Utusan adalah sumber dari semua ini, bagaimana jika ia bisa mengganggu koneksinya? Atau, mengalihkan perhatiannya?

Ia melihat sekeliling. Lorong itu sempit. Dindingnya batu. Ada beberapa pipa air yang melintang di langit-langit.

"Rivani! Yuni! Dekati Utusan!" teriak Dira, suaranya serak namun tegas. "Alihkan perhatiannya!"

Rivani dan Yuni saling pandang. Mereka paham maksud Dira. Ini adalah strategi berisiko. Menyerang sumber masalah secara langsung.

Rivani yang sudah kembali menguasai lawannya, melepaskan serangkaian pukulan cepat dan tendangan memutar yang memaksa lawan pedangnya mundur. Dengan gesit, ia melompat, melangkahi lawannya, dan berlari menuju Utusan.

Yuni, setelah melumpuhkan lawan belatinya sesaat dengan pukulan telapak tangan yang mengenai ulu hati, juga mengikuti Rivani. Ia melesat seperti angin, tubuhnya menari-nari menghindari serangan yang datang.

Kedua pengikut Utusan itu berusaha menghalangi, namun Rivani dan Yuni bergerak dengan tekad membara. Rivani mengayunkan tinjunya ke kepala Utusan, sementara Yuni mencoba menusuk dengan telapak tangan yang memancarkan aura mistis.

Utusan menangkis kedua serangan itu dengan mudah, namun hal itu sudah cukup. Dira melihat celah.

Saat Utusan sibuk menangkis Rivani dan Yuni, simbol mata satu di topengnya berkedip lebih cepat dan lebih terang. Itu bukan hanya simbol, itu adalah fokus kekuatannya.

Dira, dengan napas terengah-engah, bangkit. Ia tidak bisa melawan fisik, tapi ia bisa menggunakan kecerdasannya. Ia melihat ke atas, ke pipa-pipa air.

Ia berlari, bukan ke arah Utusan, melainkan ke arah dinding yang paling dekat dengan pipa air. Ia melompat, kakinya menendang dinding, lalu menggunakan dorongan itu untuk meraih pipa di atasnya. Otot-ototnya menegang. Dengan susah payah, ia memanjat, kakinya mencari pijakan di celah-celah batu.

"Apa yang dia lakukan?" desis salah satu pengikut Utusan, terkejut.

Utusan menoleh, matanya di balik topeng kini terfokus pada Dira. Ia mengeluarkan gelombang kejut lagi, tapi kali ini Dira sudah tergantung di pipa, tubuhnya melengkung, meminimalkan dampak. Gelombang itu hanya membuatnya terhuyung, tapi ia tetap bertahan.

"Dira!" teriak Rivani, suaranya tegang. Ia tahu Dira melakukan sesuatu yang nekat.

Dengan sekuat tenaga, Dira mengayunkan tubuhnya, lalu dengan kakinya yang terkuat, ia menendang pipa air itu dengan sangat keras.

Pipa itu berderit, lalu retak. Air dingin menyembur keluar dengan deras, membanjiri lorong. Air itu mengenai dinding, lantai, bahkan mengenai beberapa pengikut Utusan.

"Apa-apaan ini?!" salah satu pengikut berteriak.

Air itu tidak hanya membasahi mereka, tapi juga mengganggu aura energi ungu yang terpancar dari Utusan. Simbol mata satu di topengnya berkedip-kedip tidak stabil. Kekuatan yang menghubungkan mereka dengan retakan di langit tampak sedikit terganggu oleh air.

Utusan meraung marah. Aura dinginnya semakin pekat, dan ia melancarkan gelombang kejut yang lebih kuat ke arah Dira.

Dira tidak punya waktu untuk menghindar. Ia tahu serangan itu akan mengenainya telak.

Namun, sebelum gelombang itu sampai, Yuni melompat. Dengan cepat, ia berdiri di depan Dira, lalu mengatupkan telapak tangannya. Aura putih yang lebih kuat dari sebelumnya memancar dari tubuhnya, menciptakan perisai energi samar yang memantulkan sebagian besar gelombang kejut Utusan. Yuni terdoruk ke belakang, napasnya terengah-engah, tapi ia berhasil melindungi Dira.

"Aku melihat koneksinya!" teriak Yuni, menatap Utusan. "Dia terhubung dengan sumber energi dari langit! Air ini mengganggunya!"

Dira segera mengerti. Analisisnya tepat. Kelemahan Utusan bukanlah pada fisik, melainkan pada koneksinya. Seperti sirkuit yang terganggu oleh cairan.

"Rivani! Fokus serang topengnya! Yuni, terus ganggu koneksi energinya!" perintah Dira, suaranya kini kembali penuh wibawa.

Rivani mengangguk. Dengan kekuatan penuh, ia menyerang Utusan dengan rentetan pukulan dan tendangan, memaksa Utusan untuk fokus pada pertahanan. Sementara itu, Yuni tidak lagi mencoba menyerang. Ia mengulurkan tangannya, dan gelombang energi putihnya menyebar di air yang membanjiri lorong, menciptakan semacam medan yang mengganggu aura ungu Utusan.

Utusan bergemuruh, frustrasi. Kekuatannya memang besar, tapi ia tidak siap dengan taktik yang tak terduga ini. Ia mulai membalas serangan Rivani dengan lebih agresif, sementara kekuatan kedua pengikutnya tampak melemah, bingung oleh gangguan air.

Dira melihat peluang. Ia melompat turun dari pipa, mendarat di air yang menggenang. Ia melihat pistol energinya. Tergeletak di air, masih bisa dijangkau.

Dengan gerakan cepat, ia mengambilnya. Tangannya kini tidak lagi kaku. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Target: Mata satu di topeng Utusan.

Ia mengarahkan pistolnya, bidikannya kini lebih akurat dari sebelumnya, fokusnya tertuju pada simbol yang terus berkedip itu. Cahaya ungu dari langit di luar sana semakin bergejolak, seolah Utusan sedang menarik lebih banyak energi.

"Sekarang!" teriak Dira.

Ia menembak. Sinar energi biru melesat, menembus derasnya air, dan menghantam tepat pada simbol mata satu di topeng emas Utusan.

Topeng itu bersinar terang, lalu retak. Retakan kecil muncul di permukaannya, seperti jaring laba-laba. Seketika, aura dingin yang menyelubungi Utusan melemah drastis. Gerakannya melambat, dan cahaya ungu dari langit di luar sana tampak redup.

Kedua pengikutnya terhuyung, seolah kekuatan mereka tiba-tiba terkuras.

Utusan mengeluarkan suara gemuruh yang lebih mirip erangan kesakitan. Ia mundur selangkah, lalu menoleh ke arah Dira. Di balik retakan topengnya, terpampang sepasang mata merah menyala yang penuh kemarahan.

"Kalian akan menyesalinya!" teriak Utusan, suaranya tidak lagi dingin, tapi penuh kebencian.

Tanpa menunggu lebih lama, Utusan dan kedua pengikutnya tiba-tiba menghilang dalam kepulan asap hitam, meninggalkan lorong yang basah dan bau mesiu.

Dira terengah-engah, pistol di tangannya terasa berat. Yuni jatuh terduduk, kelelahan, sementara Rivani bersandar di dinding, tubuhnya lemas.

"Dia pergi..." Rivani terengah-engah. "Kita... kita berhasil."

Dira mengangguk, menatap retakan kecil di topeng yang tadi dia bidik. Ada sensasi aneh. Kemenangan, tapi juga kegelisahan.

Ini baru permulaan. Zwarte Sol punya lebih banyak rahasia dari yang mereka duga. Dan mereka baru saja membuat musuh yang sangat kuat.

Apa dampak dari retaknya topeng Utusan, dan bagaimana tim The Vault akan menggunakan informasi baru tentang koneksi Zwarte Sol dengan langit? Apakah Solara dan tim lainnya berhasil melarikan diri, dan apa langkah mereka selanjutnya setelah menghadapi ancaman langsung ini?

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!