🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan
🌹VOTE🌹
Inanti menatap heran pada uang yang diberikan oleh ayahnya. Ada kejanggalan, Inanti masih belum bisa menemukan dari mana ayahnya mendapatkan uang secepat ini, bagaimana dia bisa membeli barang barang ini.
Untuk menghilangkan kecurigaan pada ayahnya sendiri, Inanti keluar untuk menghirup udara segar. Memakai celana kulot, baju rajut dan kerudung hitam.
Setelah lebih sebulan berada di sini, Inanti akhirnya berani keluar. Terhalang dua rumah, ada sebuah lapang sepak bola dengan warung kelontongan di sana.
Ada juga ibu ibu yang sedang merumpi melihat anaknya bermain mengingat ini hari minggu.
Biasanya Inanti hanya menghentikan tukang sayur di depan rumah, dia belum ingin bersosialisasi. Melihat orang berkumpul membuatnya ketakutan, ingat akan teman teman Alan yang melakukan hal yang menakutkan padanya.
Inanti tersenyum melewati ibu ibu itu, dia hanya ingin membeli gas.
"Ada gas tiga kilo, Bu?"
"Ada, Neng. Mau diantarkan?"
"Iya, Bu. Rumahnya di sana."
"Oh, Neng keponakannya Bu Nina ya?"
"Iya, Bu."
"Gustii, ini dedeknya cantik sekali. Siapa namanya?"
"Nadia, Bu," jawab Inanti sambil mengeluarkan uang untuk membayar.
"Di sana sendirian, Neng?"
"Berdua sama dede, Bu."
"Ehehehe, maksud Ibu, suaminya?"
"Kerja di luar kota."
"Oh pantesan."
Lalu ibu ibu yang di pos ronda menyahut. "Neng kenapa baru keluar sekarang? Takut digigit yang sama ibu ibu di sini? Emang, Neng, Ibu ibu di sini kayak harimau."
"Gausah di dengerin, Neng. Ini kembaliannya."
"Makasih, Bu."
"Oh, Neng. Mau ikut arisan gak? Kami lagi diskusi buat arisan bulanan."
"Enggak bu, makasih. Tapi kalau pengajian bulanan seperti itu, ada Bu?"
"Nanti malem jumat ada, Neng. Tiap minggu kedua."
"Di mesjid ini, Bu?" Inanti menunjuk mesjid di samping lapangan sepak bola.
"Iya di sini. Oh, Neng, gas nya dianterin nanti ya kalau tukangnya udah ada."
"Iya, Bu. Makasih. Mari, Bu," ucap Inanti pada ibu ibu yang sedang berkumpul di pos ronda.
Inanti menarik napas dalam saat melangkah pulang. Rasanya keringat bercucuran saat dia berinteraksi dengan banyak orang.
Inanti memejamkan matanya saat sampai di rumah. Dia kembali menidurkan Nadia di tempatnya. Memandag wajah Nadia sampai Inanti ingat, dia penuh tanya dengan kalimat, "Bagaimana wajah Adam? Apa sama seperti dirinya? Atau seperti Alan?"
Inanti bimbang, dia mengingat Alan akhir akhir ini.
🌹🌹🌹
Semuanya memang berjalan seperti sedia kala, Madelle dan Riganta kembali ke Depok, adik adik Alan kembali ke rutinitas mereka. Begitu pun dengan Alan, dia kembali bekerja, dan mempersiapkan wisudanya beberapa bulan lagi.
Terlepas dari semua itu, pencarian tidak pernah berhenti. Alan selalu memantau, mencari keberadaan anak dan istrinya.
Alan kembali menyalakan rokok, menghirupnya dalam dengan mata menatap keluar apartemen. Malam sudah larut, tapi Alan masih membuka matanya.
Sampai dia mendengar seseorang masuk ke dalam apartemennya. Itu Andria, salah satu sahabatnya yang kini mulai mengerti keadaan Alan. Berbeda dengan Rizki dan Delisa yang masih bersikukuh Vanesa adalah kebenaran.
"Al, lu oke?"
Alan diam, dia duduk di balkon sambil merokok.
"Gue bawa alkohol."
"Gue gak minum itu lagi."
"Kenapa? Takut dosa lu?"
Alan menatap malas Andria tanpa menjawab.
"Its okay, gue yang minum." Andria meminumnya sendiri. "Gimana Inanti?"
"Gak tau, gue pusing nyari dia ke mana lagi."
"Pelan pelan, pasti juga ketemu kok." Andria hanya melihat kehampaan di mata Alan. "Lu kangen sama anak lu"
"Banget."
"Sama induknya kagak?"
"Sama induknya juga lah, nanti dia ngambek."
"Annjeerr, udah diaku."
Alan menatap tajam yang membuat Andria mengacungkan jarinya. "Kalau lu kangen, lu cari sesuatu yang erat hubungannya sama dia. Lumayan tuh, kangen lu bisa berkurang."
"Apaan?"
"Ya mana gue tau, Bambang. Lu yang kangen."
Sampai Alan teringat sesuatu, dia segera bergegas.
"Lu mau ke mana?"
"Pergi."
"Gue ditinggalin?"
"Pulang sana."
Alan pergi ke basement untuk menaiki mobilnya. Dengan kecepatan penuh dia menuju ke pemakaman keluarganya
Sampai di sana, seorang penjaga mendekat. "Tuan Alan? Ingin berkunjung?"
"Iya, Pak. Jangan ditutup dulu ya."
"Baik, Tuan."
Alan melangkah pelan. Matanya tertuju pada sebuah nisan kecil, dimana namanya juga ada di sana atas nama ayah dari si bayi.
Alan tersenyum tipis, dia berjongkok di sana dan mengusap kepala nisan.
"Adam, Papa datang."
🌹🌹🌹
Tbc.