Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Aneh (2)
Ditengah terik sinar matahari, dua orang pemuda yang sebelumnya saling bertengkar kini berteduh di bawah pohon rindang. Dana sibuk mengipas, menjaga api dari kayu bakar yang ia kumpulkan. Sedangkan Warta mengaduk sayur di sebuah batu dengan kecungan cukup dalam di bagian tengah. Lelah berdebat sepanjang jalan, mereka akhirnya memutuskan untuk membuat makanan. Tumbuh-tumbuhan yang Warta ketahui dapat dimakan, ia masukan kedalam panci temuan mereka.
"Kenapa kau menyerangku?" tanya Warta.
"Aku kira kau banditi. Ku dengar di hutan ini banyak bandit." Jelas Dana.
Warta melirik ke arah Dana yang sedang mematahkan kayu bakar. Mengumpulkan amunisi untuk si api jika sudah mulai lelah karena kelaparan.
"Jadi, kau sebenarnya tau penguasa subuh?" tanya Warta.
Dana menggeleng. Satu batang kayu yang terlihat sangat rapuh ia angkat guna menunjuk Warta, "Tidak. Tapi Kakek menyuruhku pergi ke wilayah Sepuluh Ban ini untuk mencari arti dari Bijak, rendah hati, dan ilmu."
Warta mengangguk, "Bijaksana, rendah hati, dan ilmu, itu juga yang diajarkan penguasa subuh. Bekal untuk mengalahkan para pembisik. Mungkin tempat yang Kakekmu maksud adalah desaku. Kalau mau kesana, aku bisa berikan peta lain yang aku buat," Warta membuka tasnya, merogoh dalam, mencari peta lainnya yang ia buat setelah melewari Desa Rusa.
"Tidak perlu!" tolak Dana, lima jarinya terbuka lebar. "Kalau itu memang desamu, aku hanya perlu mengikutimu!" Dana menyilangkan tangan dan mengangkat dagu angkuh.
"Tapi, aku harus pergi jauh dan menyelesaikan tugasku terlebih dahulu. Sebelum semua itu selesai, aku tidak bisa pulang." jelas Warta.
Dana mengangguk, masih dengan tangan menyilang dagunya semakin terangkat angkuh. "Kalau begitu aku akan mengikutimu sampai kau kembali ke desa. Lebih praktis seperti itu."
"Praktis?" Warta mengerutkan alisnya, "Maksudmu lebih mudah?"
"Yaa, benar wahai pengawal baru ku!" Dana menghadiahi Warta dua buah acungan jempol.
Kedua mata Warta menyipit, menatap Dana jengah. "Apanya yang lebih mudah? Dan, sejak kapan aku menjadi pengawalmu?!" kesal Warta.
Dana berdiri tegap, menunjuk Warta dengan terlunjuk kanannya. "Kau akan pergi bersamaku, tentu kau pengawalku!"
"Tunggu, tunggu! Kau yang pergi bersama-"
Srek!
"Apa itu?" Warta bangun dari duduknya, tangan kanan Warta memegang kayu yang dijadikannya sebagai alat pengaduk.
Baru Warta akan melangkah, Dana lagi-agi mengacungkan lima jari yang terbuka ke arah Warta, "Tunggu disini, aku akan memeriksanya." titah Dana dengan tegas.
Kedua mata Warta menyipit, menatap Dana jengah.
'Bukannya tadi ia bilang aku ini pengawalnya?' heran Warta dalam hati.
Dana berjongkok, mengambil kayu yang bagianan ujungnya sudah terbakar setengah, hampir menjadi arang. Setelah itu, ia mulai memasang ke waspadaan tinggi di sekitarnya. Perlahan, ia berjalan menuju arah sumber suara. Dari balik semak-semak rimbun, suara itu kembali terdengar. Dana segera sigap mengambil kuda-kuda, hendak melompat menerjang sipembuat suara.
Ke tiga kalinya semak itu berebunyi, tapi kali ini bukan hanya bunyi yang timbul. Seorang remaja laki-laki keluar dari balik semak dan langsung terjatuh menghantam tanah dengan keras.
Dana segera berlari menghampirinya, "Oi, ada apa?!"
Dana membantu orang itu supaya dapat berbring dengan benar, agar napasnya tidak tersendat.
"Tolong... aku tersesat- bandit..." kata-kata terahir dari anak laki-laki itu sebelum badannya terkulai lemas tak sadarkan diri.
__
Warta masih mengaduk sayur buatannya yang mulai memanas, mungkin karena batu yang mereka gunakan bagian bawahnya cukup tebal untuk sampai ke cekungan atas, agak membutuhkan waktu untuk sayur yang dimasaknya matang. Sedangkan Dana, ia masih dengan setia mengipas-ngipas kayu bakar, sesekali ia mengipasi anak pingsan yang mereka bawa ke samping perapian, tidur memunggungi api agar tubuhnya hangat.
"Ku tidak curiga kalau ia bandit?" tanya Warta yang matanya tetap fokus menatap adukan sayur. Sepertinya anak itu masih kesal karena telah diserang secara mendadak dan dituduh yang bukan-bukan.
"Tidak mungkin." jawab Dana acuh tak acuh.
Warta mendengus, "Tapi kau menganggapku sebagai bandit!" protes Warta sang pengaduk sayur.
Dana mendecak, "Bukan begitu," ia berdiri, sedikit memiringkam badan menatap si anak yang tertidur meringkuk membentuk huruf C. "Dia ini,"
Telunjuk Dana teracung menunjuk si makhluk semak-semak, wajah Dana menoleh ke kiri mentap Warta. "Lihat, dia kurus kering, badannya kecil, kumal, bau tanah. Tidak hanya pakaian tapi wajahnya juga lusuh. Lengan keringnya juga dipenuhi oleh memar. Manusia menyedihkan seperti dia-" Dana membawa kepalanya menunduk, melihat ke arah si anak yang pingsan.
"Eh?!" kaget Dana. Warta juga ikut terkejut, saat menatap anak itu. Ia sudah meringkuk sangat dalam sampai lututna menyentuh dagu.
Terdengr helan napas panjang dari yang baru saja mereka selamatkan, "Maaf aku menyedihkan," ucapnya dengan nada yang bergetar lirih.
"Nah, itu!" Dengan semangat Dana menunjuk si anak yang sekarang meringkuk membentuk huruf G kapital.
Wajah sumringah Dana kembali menatap Warta, "Mana mungkin ada bandit pesimis, melankolis, dan menyedihkan. Orang seperti ini pasti akan dengan mudah dijadikan babu-"
Tak!
Tongkat pengaduk milik Warta dilemparnya hingga mengenai pipi Dana. membuat Dana terjatuh dan berguling sambil memegang pipinya yang terkena ranting panas.
"Jangan malah merendahakn orang lain. Penguasa subuh tidak suka orang seperti itu!" Warta berdiri mendekati anak yang baru saja menjadi korban perundungan Dana. Warta berjongkok, membantu orang itu untuk duduk, "Sudah, jangan dengarkan makhluk aneh itu."
Masih dengan kedua tangan memegagi pipi, Dana berbaring dan mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Hanya dengan sekali hentak, ia kembali berdiri dalam sekejap. Mata Dana membesar, menatap Wara emosi.
"Kau juga sama saja!" protesnya.
Dana kemudian menghampiri kedunya dan ikut duduk di samping Warta. Tiba-tiba, ia meraih tangan kanan anak itu dan menggenggam dengan tangan kanannya.
"Maafkan aku, ya? Kau maafkan, kan? Oke, baiklah!" Tangan yang saling bertaut Dana guncang ke atas dan ke bawah. Berjabat tangan. Yang baru sadar masih bingung dengan keadaan ditambah dirinya baru saja dihina habis-habisan hanya bisa mengangguk pasrah.
Setelah jabat tangan itu terlepas, Dana dengan senyuman besar menatap Warta. Matanya terbuka lebar bertabur bintang.
"Aku sudah meminta maaf, aku akan jadi yang terbaik di sisi penguasa subuh. Memangnya kau!"
Warta tersenyum simpul, ia mulai merasa perbuatan Dana terkadang membuat dirinya terhibur. "Iya, iya. Aku minta maaf juga," Warta mengulurkan tangan kanannya.
"Etis," Dana memukul telapak tangan Warta dengan punggung tangannya. "Tidak bisa! Aku tidak maafkan! Hanya aku yang akan menjadi terbaik di sisi penguasa subuh!" Dana mendongakan dagu dengan agkuh.
"Ehh~" respon dengan intonasi menurun dari Warta seolah menunjukan dirinya kecewa.
"Padahal pengusa subuh saja selalu memaafkan kesalahan sebesar apapun." Bibirnya ia majukan beberapa mili dan tertunduk esu.
Masih dalam tunduk, Warta mengangguk, "Tapi tidak apa. Mungkin kamu belum bisa melakukan hal itu."
"Hah? siapa bilang?! Bisa, aku bisa!" Dana berdiri, tagannya bersidekap dengan tatapan lekat tepat menuju dua iris Warta.
"Aku maafkan kau yang telah menghinaku!" Tegas Dana sudah seperti sedang mengutarakan janji perdamaian para politisi yang biasa dirinya tonton bersama Kakek.
Warta terkekeh, ia tersenyum simpul dan mengangguk, "Terima kasih."
Dana tertawa dengan kencang membuat burung-burung yang sedang hinggap dan tidur siang tekejut sampai beterbangan menjauh.
Manusia di antara mereka yang baru saja tersadar dari tadi hanya bisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, mata yang dikelilingi dengan warna coklat gelap itu menatap kosong ke depan.
'Apa yang dilakukan dua orang aneh ini di dalam hutan?'
Ia menghela napas, membuat Warta dan Dana kembali mengalihkan atensi padanya.
"Oh, ya. Aku Warta, Warta Nalani. Siapa namamu?" Warta dengan ramah mengulurkan tangan.
"Aku..." yang di tanya hanya mentap tangan Warta. Ia menunduk dalam, mengambil napas panjang. Kemudian dengan ragu menerima uluran tangan Warta, ia mulai menyebutkan nama.
"Sanakh. Sanakh Sambilah."