ALIYA FAKHIRA seorang gadis berusia 17 tahun, cantik, berkulit putih, hidung lancip, mata bulat, alis hitam pekat, bulu mata lentik, bibir tipis dan periang. Sedikit berisik dan polos. Terlahir dari keluarga kaya raya namun justru itulah masalahnya, gadis itu kesepian.
RADITYA DIMITRI WIRATMADJA, Pemuda berusia 19 tahun, berperawakan tinggi, berkulit putih, alis tebal, bibir tipis, bermata tajam dan rahang yang tegas membuatnya terlihat kharismatik. Putra pertama dari pasangan Alula Mayra Wiratmadja dan Raka Dimitri. Sedikit cuek namun penyayang.
Aliya yang tergila-gila pada Radit kerap melontarkan gombalan-gombalan mautnya, namun justru itulah yang menjadi masalahnya, Radit terganggu dengan keberisikkan dan kehadiran Aliya yang selalu mengikutinya. Hingga Aliya menyerah dan memilih mundur, menjauh agar rasa kecewanya tak semakin dalam. Siapa sangka Radit justru merasa kehilangan dan mulai menyadari perasaannya.
Namun terlalu rumit untuk mereka bersatu, kehadiran gadis lain yang menjadi kekasih Radit membuat Aliya semakin yakin untuk menjauh..
Selamat membaca guys💜💜
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAGI YANG INDAH
Beberapa menit telah sampai di parkiran sekolah, nyatanya tak membuat Radit dan Aliya segera keluar dari mobil. Mereka seperti sama-sama enggan meninggalkan satu sama lainnya.
Aliya mengangkat tangannya, menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Kemudian menoleh pada sang kekasih, "Udah mau bel loh kak".
Radit memberenggut, seolah tak rela melepaskan Aliya. "Tapi aku masih mau sama kamu". Manjanya.
Aliya terkekeh melihat sisi lain dari Radit yang baru kali ini ia ketahui, pemuda itu ternyata amat manja. "Kan jam istirahat bisa ketemu".
"Masih lama". Radit memiringkan duduknya, menatap Aliya dengan lembut. "Aku gak tau kalo rasanya sebahagia ini. Kalo tau akan sebahagia ini, udah dari dulu aku jadiin kamu pacar".
Aliya mencebikan bibirnya, "Mana ada kamu begitu, dulu aku gombalin dikit aja marah-marah, terus ngusir aku deh".
"Maaf, dulu aku belum sadar kalo aku cinta sama kamu. Baru sadar pas liat kamu deket sama Barry, rasanya tuh gerah banget liat kamu ketawa sama dia. Terus kamu jauhin aku, dari situ aku ngerasa ada yang kurang".
"Kaya lagu yah, kalau sudah tiada baru terasa".
"Beneran sayang, kamu malah ngeledek".
Aliya tersipu, senyum malu-malu seraya menundukan kepalanya. Bukan karena kalimat panjang lebar yang baru saja kekasihnya lontarkan, tapi karena panggilan sayang yang berhasil membuat jantungnya berdetak tak karuan. Sebesar itulah efek kata sayang itu bagi Aliya?? hingga gadis itu merasa terbang ke awang-awang dan terlempar di atas tumpukan awan.
"Ih kok pipinya merah??". Radit menahan senyumnya, merasa gemas ia pun menarik ujung hidung mancung Aliya. "Gemes banget".
"Udah ah, aku mau turun. Bentar lagi bel".
Tanpa menunggu jawaban dari Radit, Aliya membuka pintu mobil milik kekasihnya kemudian berjalan cepat meninggalkan Radit yang kini tampak melebarkan senyumnya, menatap punggung sang kekasih yang kian menjauh berbaur dengan para siswa lainnya. Kemudian ia pun turun dan menuju kelasnya sendiri
Gurat kemerahan masih terlihat jelas di pipi putih Aliya, bibir mungilnya tak hentinya melengkung membentuk sebuah senyuman.
Baru beberapa saat duduk di bangkunya, Rara datang dengan terengah-engah mengatur nafasnya.
"Gue panggil-panggil ngeloyor aja Lo". Omelnya, di parkiran tadi, Rara melihat Aliya turun dari mobil Radit, ia yang baru saja memasuki gerbang berlari mengejar Aliya dan manggilnya, namun Aliya tak mendengarnya.
"Emang Lo manggil gue? Kok gue gak denger??".
"Tua belum, tapi udah budek".
"Asem Lo". Aliya memukul pelan lengan sahabatnya, di olok-olok seperti itu tak membuat rasa bahagianya surut.
Dan itu aneh menurut Rara, gadis itu terlihat menatap aneh dan bergidik takut. "Kenapa gue ledek Lo masih senyam senyum Al? Biasanya Lo ngamuk??!"
"Emang gue senyum? Enggak ah".
"Ihhhh makin ngeri gue sama Lo".
Rara menggeser tubuhnya, sedikit menjauh dari Aliya yang menurutnya bertingkah aneh pagi ini.
"Ra.."
"Hemmm??"
"Gue udah..."
TRIIIIIIIIIING
Bel masuk yang berdering nyaring terdengar memekakkan telinga, menghentikan percakapan antara Aliya dan Rara, juga para siswa yang lainnya. Mereka menegakkan tubuhnya bersiap kembali bertempur dengan mata pelajaran yang terkadang membuat frustasi, ngantuk, kesel, dan bosan. Ah sungguh masa sekolah ini menimbulkan rasa campur aduk yang akan meninggalkan kenangan manis untuk di kenang di kemudian hari, golden memories yang tak akan pernah terulang kembali, hanya bisa di kenang dengan sesekali tersenyum mengingat betapa indahnya masa sekolah yang saat itu mereka jalani.
Tak terkecuali Aliya, gadis polos yang baru pertama kalinya jatuh cinta dan akhirnya cintanya terbalaskan meski pada awalnya harus berjuang dan sempat menyerah.
Beberapa jam berkutat dengan pelajaran yang menguras otak, membuat para siswa berhambur keluar saat bel istirahat berdering.
"Kantin gak Al??". Rara menghampiri Aliya yang tampak masih membereskan beberapa alat tulisnya ke dalam tas, gadis itu menoleh dan mengangguk.
Aliya dan Rara menuju kantin, tempat yang selalu jadi prioritas utama saat para pejuang ilmu itu memasuki jam rehatnya. Sekedar untuk mengembalikan kesegaran otaknya dengan membeli minuman segar, atau mengisi perut yang mulai meronta meminta jatah.
Aliya memilih duduk di tempat biasa, pojok samping kanan di dekat jendela kaca yang menjadi pembatas antara ruangan itu dengan area luar. Sembari menunggu Rara yang tengah memesankan makanan untuk mereka, Aliya membuka ponselnya. Berniat berselancar di dunia Maya namun sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, menandakan ada sebuah pesan yang harus segera ia buka meski kadang selalu di abaikan jika tidak terlalu penting.
Senyumnya mengembang saat nama kontak seorang pemuda terlihat di area chat Whatsupp-nya.
PACAR
"Kamu dimana? Aku ke kelas kamu tapi udah kosong".
ALIYA
"Aku udah di kantin, tadi bareng Rara".
PACAR
"Aku kesana".
ALIYA
"OK, aku duduk di tempat biasa".
Tak ada balasan lagi dari Radit, Aliya yakin jika pemuda itu tengah dalam perjalanan menuju ke kantin.
Radit mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang ia rindukan walau hanya beberapa jam saja mereka terpisah. Ia pun tak mengerti, pesona apa yang Aliya punya, hingga membuat ia tak tahan menahan kerinduannya walau beberapa jam yang lalu mereka bertemu. Bibirnya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman saat gadis cantik yang sekarang menjadi kekasihnya tampak tengah duduk sendiri dan fokus menatap ponselnya.
"Hai.."
Sapaan lembut Radit nyaris membuat Aliya melompat mengikuti jantungnya yang saat ini tengah meloncat-loncat di dalam sana, hingga menimbulkan debaran dan detakan yang tak normal seperti biasanya.
"Ha..hai." Mendadak rasa gugup itu Aliya rasakan. Hingga ia tergagap menjawab sapaan sang kekasih.
Radit duduk di hadapan Aliya, terhalang oleh meja bundar sebagai pembatasnya.
"Kenapa gak tunggu aku kalo mau ke kantin?". Tanya Radit, matanya tak lepas menatap gadis cantik di hadapannya.
"Aku kira kamu gak ke kantin".
Radit berdecak, mana mungkin ia mau melewatkan waktunya begitu saja tanpa Aliya. "Gak mungkin gak ke kantin lah sayang, aku kan..."
"Sayang???".