Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 BALAS BUDI
Ketika memeriksa kondisi pemuda itu, Arthur terkejut. Dia tidak menyangka luka pemuda itu akan sangat parah. Saat meletakan tangan di bagian rusuk pemuda itu, Arthur bahkan dapat merasakan beberapa tulang rusuk yang patah. Dia sedikit panik. Namun, dia segera tenang.
Pertama, dia bersila di tanah di samping pemuda itu. Setelah itu, Arthur meletakan kedua jarinya di pergelangan tangan pemuda itu, tepat di urat nadi.
"Arthur, apa kau gila? Dia telah menyelamatkan anakmu dan membantu membunuh ular itu. Mengapa kau hampir membunuhnya?!" umpat Arthur pada diri sendiri.
Dia dengan cepat menutup kedua mata dan mengalirkan energi sihir ke tubuh pemuda itu melalui urat nadi. Segera, cahaya biru terang terpancar di sekitar pergelangan tangan tempat tersalurnya energi sihir. Saat dalam proses ini, Arthur dapat dengan jelas melihat luka-luka di organ dalam pemuda itu.
Luka dalamnya sangat parah. Bahkan serpihan tulang patah hampir ada yang mengenai hati. Arthur juga melihat detak jantung pemuda itu berdetak dengan lambat. Dia tahu pemuda ini sudah berada di ambang kematian. Maka dari itu, Arthur segera mengganti energi sihir yang ia salurkan dengan energi kehidupan.
Energi kehidupan Arthur segera ditransmisikan ke seluruh pembuluh darah pemuda itu. Tulang rusak yang patah serta serpihannya perlahan kembali ke tempat semula. Baik luka kecil maupun besar di organ dalam segera menutup tanpa meninggalkan bekas. Luka-luka luar di tubuh pemuda itu pun juga ikut menghilang.
Arthur menarik napas panjang dan segera menghentikan proses penyembuhan. Energi kehidupan merupakan energi yang berada di dalam tubuh manusia untuk bertahan hidup. Hanya manusia tertentu yang dapat memilikinya. Dalam hal ini, Arthur telah memperpendek usia karena telah memberikan hampir setengah dari energi kehidupannya. Meski demikian, dia tidak menyesal.
"Ya. Anggap ini sepadan. Anggap ini sebagai balasan karena kau telah menyelamatkan nyawa anakku," gumam Arthur sembari menghela napas panjang.
Sekali lagi Arthur memandang wajah pemuda itu. Tak salah lagi, pemuda itu benar-benar sangat mirip dengan William ketika muda, sosok teman yang sudah seperti saudara sendiri baginya.
"William tidak pernah menikah, apalagi mempunyai seorang anak. Siapa pemuda ini sebenarnya?" tanya Arthur dengan nada retoris.
Setelah itu, Arthur beristirahat sejenak. Dia melakukan meditasi untuk mengisi kembali tenaga yang terbuang. Cukup lama waktu berlalu. Matahari sudah perlahan tenggelam. Ketika Arthur membuka mata, semburat jingga sore hari menyapa bidang pandangnya. Dia melihat pemuda yang masih tidak sadarkan diri di sampingnya. Warna kulit pemuda itu sudah kembali cerah, tidak sepucat ketika pertama kali mengeluarkan banyak darah.
"Sebentar lagi seharusnya dia pulih. Tidak peduli ada atau tidaknya hubungan dia dengan William. Yang pasti, pemuda ini telah menyelamatkan nyawa Bannesa," ujar Arthur dengan mata masih terfokus pada wajah pemuda itu. Tak lama kemudian, dia menghela napas singkat dan menghilang meninggalkan tempat itu.
---
Kekaisaran Zenos
Di malam hari yang sangat dingin, gong di istana kekaisaran dibunyikan dengan sangat nyaring. Hampir seluruh penjuru Kekaisaran Zenos mendengar suara itu.
Satu kali pukulan gong menandakan adanya bahaya tingkat rendah yang mengancam sekitar wilayah kekaisaran. Dua kali pukulan menandakan adanya ancaman besar hingga diharapkan semua warga melarikan diri ke tempat evakuasi. Tiga kali pukulan gong menandakan adanya anggota keluarga kekaisaran yang meninggal dunia.
Malam itu, gong berbunyi sebanyak tiga kali. Kekaisaran Zenos kembali berduka karena Pangeran Kedua telah meninggal dunia. Pangeran muda itu meninggal karena keracunan makanan.
Sang Kaisar murka dan membunuh semua orang di rumah makan tempat persinggahan terakhir sang putra. Demi surga, sang kaisar sangat menyayangi Pangeran Kedua. Dia benar-benar terpukul akan kehilangan ini.
Malam itu juga, upacara kremasi segera dilangsungkan. Sang Kaisar sendiri yang memimpin upacara. Tidak ada yang berani menentang. Semua pejabat dan anggota kekaisaran lain hanya bisa bungkam ketika melihat mata memerah dan wajah murka Sang Kaisar.
Selir Agung menangis tanpa henti saat menyaksikan prosesi kremasi berlangsung. Kedua dayang setia memapahnya dengan wajah sedih.
"Wanita ular itu! Pasti dia yang telah membunuh anakku!" raung Selir Agung berderai air mata. Untung saja posisinya saat ini berada agak jauh dari tempat upacara kremasi.
"Yang Mulia, kita tidak bisa menuduhnya tanpa bukti. Kita harus mencari bukti kuat atas keterlibatan mereka," ujar salah satu dayang paruh baya sembari mengusap bahu Selir Agung, berusaha menguatkannya.
"Aku bersumpah akan membunuh anaknya! Berani-beraninya dia membunuh anakku. Oh, anakku yang malang..." Selir Agung semakin terisak pilu, dipenuhi dengan amarah yang menggebu.
Sementara sang kaisar baru saja membakar pembaringan kayu Pangeran Kedua dengan api obor. Mata sang kaisar tampak berkaca-kaca ketika menyaksikan api perlahan melahap tubuh sang putra. Hatinya sakit luar biasa. Anak itu biasa tersenyum cerah padanya. Namun sekarang, sang kaisar tidak akan pernah lagi dapat melihatnya.
Di tengah kemelut kesedihan, Julius dan Permaisuri Grace sedang bersukacita. Wajah anak dan ibu itu terlihat cerah dan semringah. Mereka tidak menghadiri upacara kremasi. Sebagai gantinya, Julius dan sang ibu beserta seluruh pengikutnya sedang berpesta di tempat rahasia bawah tanah.
Pesta itu cukup besar. Aroma anggur menguar memenuhi ruangan.
"Anak tikus sudah berhasil kita singkirkan. Hanya tinggal beberapa langkah dan kau akan segera mendapatkan takhta," ujar Permaisuri Grace sembari menuangkan anggur untuk sang putra.
Julius tersenyum samar di sudut bibir. Hatinya menggebu dan dia tidak sabar untuk langkah selanjutnya dalam menguasai kekaisaran ini. Setelah kematian Pangeran Kedua, sang kaisar pasti akan kembali memusatkan perhatian padanya. Julius sangat bersemangat akan hal ini.
"Apa kita harus membunuh Pangeran Ketiga, Keempat, dan Kelima? Meski mereka masih sangat kecil, mereka bisa menjadi ancaman besar bagimu. Ah, Ibu hampir lupa bahwa Putri Mahkota masih ada. Kita juga harus waspada pada gadis itu. Ibu akan memikirkan cara untuk menyingkirkannya."
"Urusan mereka aku serahkan kepadamu, Bu. Aku akan fokus menyenangkan hati Ayah. Terlebih dari itu, aku juga ingin mencari orang yang telah membuatku celaka," balas Julius dengan tatapan tajam.
Setiap kali dia mengingat kudanya yang diracun, Julius akan sangat murka. Dia ingin sekali menemukan orang itu dan mencabik-cabiknya tanpa sisa.
---
Tak lama setelah Arthur pergi, kelopak mata Max perlahan bergerak. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya pemuda itu dapat membuka kedua matanya dengan sempurna.
Segera pemandangan langit malam penuh bintang memenuhi bidang pandang. Max ingat dengan baik bahwa beberapa waktu lalu dia sudah berada di ambang kematian. Saat ini, apakah dia berada di alam setelah kehidupan?
Max mengerjapkan matanya beberapa kali. Hembusan angin dingin menerpa wajah tampannya. Max pun kembali ke akal sehat dan berpikir secara rasional. Ini bukanlah alam kematian, pikirnya dengan tenang.
"Aku masih hidup," gumam pemuda itu lirih. Dia perlahan mengangkat kedua telapak tangan. Sepasang mata indahnya menatap kedua telapak tangan itu dengan sedikit senyuman.
"Tulang-tulang patah serta semua luka di tubuhku menghilang. Apa orang itu yang telah menyembuhkanku?" tanya Max masih dengan suara berat.
Dia perlahan mendudukkan diri dan mengedarkan pandang ke sekitar. Namun, dia tidak dapat menemukan lawannya.
"Siapa orang itu sebenarnya? Apa dia salah satu petinggi di wilayah ini?" Setelah itu, Max menggeleng dan segera bergumam lagi, "Lupakan. Tidak peduli siapa dia. Dia adalah orang yang sangat berbahaya."
Ketika semua pikirannya kembali tenang, dia tiba-tiba memikirkan Ansel di rumah. Malam semakin pekat, namun dia masih berada di luar. Max takut anak itu akan menangis mencarinya.
Tak membuang banyak waktu, Max segera meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, tak lupa Max mengganti pakaiannya dan membakar pakaian hitam yang baru saja ia kenakan.
Setibanya di bagian tengah ibu kota, Max dengan cepat membeli beberapa makanan seperti daging bakar, roti kukus isi daging, manisan, dan lainnya.
Beruntung, Max dapat dengan mudah menemukan tempat persinggahan kedua pengawalnya. Dia pun segera pulang dengan kereta kuda.
Sepanjang jalan, Hainry padahal ingin bertanya pada sang tuan tentang situasi di Desa Willow. Namun, dia tidak berani menanyakannya. Terlebih, sang tuan tidak mengatakan apa-apa setelah menaiki kereta kuda.
Firasat Max selalu benar. Saat dia memasuki mansion, suara tangis Ansel hampir terdengar di setiap sudut. Dari kejauhan, Max dapat melihat bocah kecil itu digendong oleh Theo, anak laki-laki pengasuh pribadi Ansel. Bocah kecil itu meronta dengan ganas. Namun, Theo dengan sabar membujuknya.
Theo yang melihat sang tuan kembali buru-buru berjalan mendekat. Ansel yang merasakan kehadiran sang ayah juga ikut menoleh. Mata kecilnya berkaca-kaca dengan bibir manyun.
Max yang melihat pemandangan menyedihkan ini merasa sedikit menyesal karena pulang terlalu lama.
"Tuan, Anda kembali. Maafkan saya karena tidak membujuk Tuan Muda untuk berhenti menangis," Theo menyambut sembari mengucapkan permintaan maaf dengan tulus.
Max mengangguk singkat dan mengambil bocah kecil itu dari gendongan Theo. "Kau sudah bekerja keras. Kembali dan beristirahatlah."
Theo segera membungkuk dan mengucapkan terima kasih. "Kalau begitu, saya pamit undur diri dulu, Tuan," pamit anak itu sebelum berlalu dengan sopan dari hadapan sang tuan.
Ansel masih sesenggukan. Dia menatap wajah sang ayah dengan marah. Max benar-benar tidak tahan melihat hal ini. Segera pemuda itu menyeka lembut air mata di wajah sang putra.
Malam itu, Max cukup lama membujuk Ansel sampai bocah itu tertidur di dalam dekapannya.
---