NovelToon NovelToon
Jangan Pernah Bersama

Jangan Pernah Bersama

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa / Reinkarnasi / Mengubah Takdir
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Anastasia

Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 26.Langit sore.

Langit sore Jakarta perlahan meredup, menggantikan cahaya matahari dengan warna kelabu lembut. Di lantai 18 gedung perkantoran milik PT LKS Group, suasana biasanya ramai oleh suara telepon dan rapat mendadak, namun kali ini semua berjalan lebih tenang dari biasanya.

Lukman baru saja menyelesaikan presentasi dengan salah satu klien besar. Jasnya masih rapi, tapi wajahnya tampak letih. Ia meneguk kopi yang sudah dingin di meja ketika sekretarisnya, Mira, mengetuk pintu pelan.

“Pak, ini ada surat masuk. Tidak ada nama pengirimnya. Dikirim lewat kurir pribadi,” ujar Mira sambil meletakkan amplop cokelat di atas meja.

Lukman menatapnya sekilas, alisnya mengernyit. “Tanpa nama?”

“Iya, Pak. Kurirnya juga nggak mau bilang siapa yang nitip. Katanya hanya disuruh memastikan Bapak sendiri yang buka.”

Nada suaranya sedikit gugup,mungkin karena aura dingin yang tiba-tiba memancar dari atasannya.

Lukman menatap amplop itu beberapa detik, lalu menarik napas pendek. Ia membuka segelnya perlahan. Di dalamnya, hanya ada selembar foto berwarna.

Begitu foto itu terbuka sepenuhnya, matanya langsung membelalak.

Wajah Luna istrinya terlihat jelas, duduk di sebuah rumah makan dengan seorang pria. Tatapan mereka lembut, senyum hangat di antara cahaya lampu, dan tangan Luna tampak bersentuhan dengan pria itu di atas meja.

Dan pria itu…

Lukman mengenalinya.

Tio.

Nama itu seperti petir menyambar kepalanya.

Rahangnya menegang. Foto itu diremasnya kuat-kuat hingga kusut di telapak tangan.

“Pak Lukman?” tanya Mira hati-hati, melihat perubahan wajah atasannya yang tiba-tiba.

Lukman menatap kosong ke meja, lalu mendesis rendah, “Batalkan semua jadwal hari ini.”

“Termasuk rapat dengan direksi cabang, Pak?”

“SEMUA, Mira.” Suaranya berat, hampir seperti geraman. “Dan jangan izinkan siapa pun mengganggu saya.”

Ia berdiri cepat, mengambil jasnya dan bergegas keluar ruangan. Mira hanya bisa menatap bingung saat pintu tertutup keras di belakangnya.

Beberapa menit kemudian, lift berbunyi dan Lukman sudah berada di basement, masuk ke mobil hitamnya. Tangan kirinya menggenggam erat foto yang sudah kusut, sementara tangan kanannya menekan gas seolah ingin melampiaskan amarah yang mendidih di dadanya.

Mobil melaju cepat di jalanan basah sisa hujan. Pikiran Lukman berputar tak karuan.

Luna dan Tio.

Nama-nama itu berulang dalam kepalanya seperti mantra yang menyakitkan.

“Berani-beraninya dia…” gumamnya di antara napas berat. “Setelah semua yang aku lakukan…”

Kilasan kenangan muncul malam-malam ketika Luna diam-diam menunduk saat ia pulang larut, tatapan dingin Clara yang seolah tahu segalanya, dan sekarang… foto itu.

Ia tak tahu siapa yang mengirimnya. Tapi entah kenapa, di dalam hati kecilnya, muncul rasa takut bercampur marah. Takut kehilangan kendali atas sesuatu yang selama ini ia pikir miliknya.

Mobil berhenti di depan rumah. Lampu ruang tamu terlihat redup dari balik jendela.

Lukman keluar tanpa bicara, membuka pintu dengan kasar. Clara yang sedang di dapur mendengar suara keras itu dan segera keluar, terkejut melihat ayahnya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.

Di tempat lain di SMA Pelita.

Lapangan indoor SMA Pelita sore itu dipenuhi sorak-sorai dan dentuman bola yang memantul keras ke lantai kayu. Suara peluit, teriakan semangat, dan musik dari pengeras suara bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang meriah.

Di tribun penonton, siswa-siswi berjejal memenuhi bangku, sebagian membawa poster bertuliskan Go Arman! dan Team Blue Champion! dengan warna khas tim Arman. Sementara sebagian kecil lainnya, termasuk Ria, justru bersorak untuk tim lawan yang dikapteni oleh Finn.

Clara duduk di samping Ria, memeluk tas di pangkuannya dengan ekspresi datar. Ia menatap ke arah lapangan dengan tatapan kosong, seolah pikirannya tidak benar-benar ada di sana.

“Claraaa, ayolah, jangan pasang wajah kayak gitu,” rengek Ria sambil mengguncang bahunya pelan. “Kamu tuh jarang banget keluar dari rumah akhir-akhir ini. Aku cuma pengen kamu santai dikit. Anggap aja nonton hiburan sore.”

Clara menghela napas pelan. “Aku nggak ngerti kenapa kamu suka banget lihat orang lari-lari ngejar bola.”

Ria tertawa. “Karena di antara yang lari itu ada cowok-cowok keren, termasuk Finn.”

Clara menatap Ria sekilas, setengah ingin tersenyum tapi urung. “Kamu tuh emang—”

Namun kalimatnya terputus ketika sorakan tiba-tiba menggema dari seluruh arah.

“ARMAN! ARMAN! ARMAN!”

Arman baru saja mencetak skor tiga poin pertama untuk timnya. Wajahnya terlihat percaya diri, penuh semangat, dan di tribun sebelah, Loly pacarnya berdiri sambil bertepuk tangan keras-keras, senyumnya lebar.

“Dia keren banget, ya?” ujar Ria, memiringkan kepala. “Nggak heran Loly nempel terus.”

Clara hanya melirik sekilas. “Aku rasa cuma itu yang dia bagus,dia belum tahu saja keburukannya terutama keluarga nya.” gumamnya pelan.

Sementara itu, Finn, kapten tim lawan, tampak sedikit kewalahan. Dua kali percobaan tembakannya gagal, dan peluit babak pertama pun berbunyi. Timnya tertinggal sepuluh poin.

“Time out!” seru pelatih.

Finn mengusap peluh di dahinya dengan handuk. Nafasnya memburu, tapi matanya menatap ke arah tribun… dan tiba-tiba berhenti.

Di sana, duduk di deretan tengah, adalah Clara.

Gadis dengan rambut tergerai lembut itu menatap ke arah lapangan, tanpa ekspresi namun entah kenapa, tatapan itu cukup untuk membuat waktu terasa melambat bagi Finn.

“Clar, sepertinya Finn melihat kearah sini”ucap Ria sambil berbisik ke telinga Clara.

“Jangan ge-er kamu, siapa tahu ada kekasihnya atau orang yang spesial dekat sini. ”jawabnya datar.

Seorang siswi berambut pendek menghampiri Finn dengan sebotol air minum. “Finn, ini… kamu haus nggak?” katanya manja.

Namun Finn tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, menolak dengan sopan, lalu melangkah melewati kerumunan penggemar yang memanggil namanya. Langkahnya terarah langsung ke tribun tempat Clara duduk.

Keramaian langsung berubah menjadi bisik-bisik penasaran.

“Eh, itu Finn, kan? Mau ngapain dia ke situ?”

“Dia ke arah Clara? Serius?”

“Gila,Finn dekat dengan cewek dan itu adik kelas nya!”

Ria yang duduk di sebelah Clara menatap dengan mata membulat. “Uh-oh… dia beneran ke sini.”

Clara mengerutkan kening. “Siapa?”

Namun belum sempat Ria menjawab, Finn sudah berdiri di depannya, masih dengan napas tersengal setelah permainan.

“Clara,” sapanya, suaranya lembut tapi cukup terdengar di antara riuh penonton. “Kamu datang juga,mau menyemangati ku ya! .”

Clara tertegun. “Aku cuma nemenin Ria,jangan ge-er kamu.”

Finn tersenyum kecil. “Kalau gitu aku jadi semangat lagi untuk bertanding.”

Beberapa siswa di sekitar mulai berbisik heboh, sebagian memotret diam-diam. Clara jadi kikuk, sementara Ria menahan senyum lebar.

Tiba-tiba tatapan Clara tertuju kearah Arman, yang bermesraan dengan Loly di bangku pemain.

“Jika kehadiran ku berpengaruh,maka kamu harus menang.jangan sampai kalah, atau aku tidak menerima tawaran mu,” kata Clara akhirnya, berusaha terdengar tenang.

Finn mengangguk. “Kalau kamu bilang gitu, aku nggak mungkin kalah.”

Ia berbalik dan berjalan kembali ke lapangan, meninggalkan bisik-bisik yang semakin riuh.

Dan di sisi seberang, Arman yang sejak tadi memperhatikan dari bangku pemain menatap pemandangan itu dengan rahang mengeras. Ia melihat bagaimana Finn berhenti di depan Clara, bagaimana gadis itu tersenyum tipis saat Finn pergi.

Ada rasa panas menjalar di dada Arman, tapi bukan karena lelah. Karena cemburu, ia merasa Finn berusaha mengambil miliknya.

Sorak penonton terdengar lagi, namun kali ini terasa jauh.

“Bro, fokus!” seru salah satu rekan setimnya. “Babak penentuan ini, kita bisa menang!”

Arman mengangguk, mencoba mengendalikan diri. Tapi pikirannya terus memutar momen itu Clara, Finn, senyum kecil di antara mereka.

Peluit tanda babak terakhir berbunyi. Bola dilempar ke udara. Arman berlari cepat, mencoba mencetak poin demi membalik keadaan. Tapi setiap kali Finn muncul di depan matanya, rasa marahnya makin besar, membuat gerakannya semakin kasar dan terburu-buru.

Finn justru bermain lebih tenang, lebih fokus. Dan di detik-detik terakhir, dengan satu lompatan sempurna, ia mencetak tiga poin penentu kemenangan.

Sorakan menggema keras. Tim Finn menang.

Finn mendongak, matanya secara refleks mencari satu wajah di antara ratusan penonton dan menemukan Clara tersenyum kecil sambil bertepuk tangan pelan.

Arman melihat itu. Dunia seolah berhenti berputar untuknya. Ia menggenggam bola kuat-kuat, menatap ke arah Clara yang masih tersenyum pada Finn, lalu menatap Loly yang berlari menghampirinya dengan wajah kecewa.

“Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu kalah, tapi kamu udah keren banget kok,” kata Loly sambil memeluk lengannya.

Namun Arman tidak benar-benar mendengar. Di balik matanya yang tenang, ada badai yang siap pecah kapan saja.

Senyum Clara pada Finn terus menari-nari di kepalanya, seperti luka kecil yang tak bisa ia tutup.

Dan di tribun, Ria yang menyadari perubahan ekspresi Arman hanya bisa bergumam pelan pada Clara, “Aku rasa, setelah ini hidupmu di sekolah nggak bakal tenang lagi.”

Clara menatap ke arah lapangan sekali lagi lalu ke Finn yang tersenyum padanya, dan ke Arman yang kini menunduk dalam diam.

Ia tidak tahu, satu senyumnya barusan telah menyalakan api di hati seseorang yang selama ini berusaha menahannya dalam bayangan.

Clara yang mulai menjalin babak baru dengan melupakan hubungan lama, dan mencoba dengan hubungan baru. tapi ia tidak tahu dimana saat ini Lukman sedang menunggu kedatangan Luna, untuk meminta penjelasan hubungan dirinya dengan Tio.

Awal retaknya hubungan orang tua Clara akan dimulai, dan saat ini Clara harus pulang mendampingi mamanya Luna.

1
Putri Ana
thorrr lanjuttttt dong.🤭
Putri Ana
lanjutttt thorrr 😭😭😭😭😭😭😭
penasaran bangetttttttt🤭
Putri Ana
bagussss bangettttt
Putri Ana
lanjutttttttttytttttttttt thorrrrr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!