Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang yang dihapus
Pagi ini rasanya ada yang salah. Langit memang cerah, matahari nyorot lembut dari balik tirai, tapi di dada Gue… ada sesuatu yang berat. Kayak firasat buruk yang udah duduk di kursi penumpang dari semalam.
Bahkan aroma kopi pagi ini nggak sehangat biasanya. Kayak semuanya berubah pelan-pelan tanpa izin, termasuk hal kecil yang dulu selalu bisa nenangin Gue.
Gue berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Mungkin karena Gue butuh alasan buat ngerasa masih punya kendali atas sesuatu. Atau mungkin karena Gue cuma nggak mau terliat kalah.
Begitu lift berhenti di lantai paling atas, aroma kopi dan suara printer menyambut kayak biasanya. Tapi langkah Gue berhenti pas liat beberapa staf yang dulu kerja langsung di bawah Gue, sekarang langsung menunduk dan buru-buru menghindar.
Bukan karena mereka sibuk. Tapi karena mereka takut.
Jantung Gue berdetak cepat. Gue tau sesuatu udah berubah.
Begitu Gue sampai di depan ruangan Gue, ruangan yang dulu tempat semua ide, keputusan, dan strategi Gue lahir, Gue sempat ragu buat buka pintu.
Tapi rasa penasaran ngalahin segalanya.
Begitu pintu Gue buka… dunia Gue berhenti sebentar.
Meja kerja yang dulu penuh catatan kecil dan tumpukan dokumen milik Gue, sekarang kosong rapi dengan vas bunga segar di atasnya. Kursi hitam di belakang meja itu, kursi Gue, ditempati seseorang dengan santainya.
Daryl.
Gue ngerasa tenggorokan Gue kering, kayak udara di ruangan itu tiba-tiba disedot keluar. Dia lagi duduk di situ. Sambil ngetik pelan di laptopnya, kayak nggak ada yang aneh sama posisi dia di ruangan orang lain.
Sialnya, senyumnya muncul pelan begitu sadar Gue berdiri di ambang pintu.
"Pagi, Alya," katanya tenang, seolah kita cuma ketemu biasa di pantry. "Kamu hari ini datang dari yang aku kira."
Gue nggak langsung jawab. Gue cuma jalan pelan ke tengah ruangan, pandangan Gue nyapu seluruh sudut, foto keluarga Gue udah nggak ada. Lukisan kecil pemberian Mama juga hilang. Bahkan gelas kopi favorit Gue diganti.
Semua jejak Gue di sini udah dihapus.
"Apa yang lo lakuin di ruangan Gue?" suara Gue keluar pelan, tapi tajam.
Dia menutup laptopnya dengan tenang, lalu berdiri. "Ruangan ini sementara aku gunakan, atas persetujuan direksi. Ada beberapa pembenahan struktur, kamu kan udah dengar, ya?"
Gue nyengir miring. "Maksudnya ini perampasan?"
Dia tertawa kecil. "Jangan gunakan kata yang berat-berat. Kita kan cuma… menyesuaikan situasi. Kamu sekarang fokus aja memikirkan kapan kita akan bertunangan, seperti yang disetujui semua orang." suaranya rendah, teratur, tapi dingin.
Gue langsung ngerasain dada Gue kayak diremas.
"Keluarga Gue nggak bakal nyetujui ini kalau lo nggak muter ceritanya," Gue balas cepat. "Dan lo pikir Gue nggak tau apa yang lo rencanain di balik laporan keuangan?"
Ekspresinya berubah tipis. Senyumnya masih ada, tapi matanya mulai keras. "Hati-hati kalau kamu berbicara. Jangan asal nuduh tanpa bukti. Kamu bisa nyusahin diri sendiri."
Gue maju satu langkah. “Bukti bakal datang. Lo siap-siap aja nerimanya."
Untuk beberapa detik, suasana di ruangan itu beku. Cuma suara jam di dinding yang kedengeran, dan detak jantung Gue yang entah kenapa terasa terlalu keras.
Daryl lalu nyengir lagi, kali ini lebih lebar. "Oh iya," katanya sambil ngambil satu map dari meja. "Ngomong-ngomong soal bukti, Aku barusan tanda tanganin surat pemberhentian dua karyawan lama, namanya Nadine dan Rafa, ada juga staff lainnya yang ikut campur."
Darah Gue langsung dingin.
Dia nyodorin map itu santai. "Mereka ikut campur dalam data internal tanpa izin. Aku nggak bisa toleransi pelanggaran sebesar itu. Lagipula, perusahaan butuh orang-orang yang loyal, bukan orang yang gampang ditarik ke arah lain."
"Mereka nggak salah! Mereka bantu Gue karena mereka tau lo main kotor!" suara Gue naik setengah oktaf.
Dia nggak marah. Justru dia menatap Gue kayak orang yang lagi ngeliat anak kecil keras kepala. "Alya, Alya… kalau kamu terus begini, semua orang bakal mikir kamu yang tidak stabil. Kamu mau Papa sama Mama kamu mikir begitu?"
Dan kalimat itu, lebih nyakitin dari apa pun. Dia tau betul titik lemah Gue.
Gue menggenggam tangan erat-erat, kuku Gue hampir nembus kulit. "Lo pikir lo bisa ambil semuanya dari Gue? Lo cuma numpang nama. Perusahaan ini—"
"Perusahaan ini sekarang butuh orang yang bisa berpikir jernih. Kamu emosional. Kamu terlibat terlalu dalam. Kadang cinta buta pada keluarga justru bikin kita nggak rasional." dia langsung potong, suaranya menekan tapi tetap tenang.
Kalimat itu nusuk banget, apalagi keluar dari mulut orang yang justru lagi nginjak keluarga Gue pelan-pelan.
Gue menatap dia lama. Tatapan yang penuh kemarahan, kebencian, tapi juga ketakutan kecil, karena Gue sadar, dia udah mulai menang di permainan ini.
Akhirnya Gue ambil napas panjang. "Lo boleh duduk di kursi itu sekarang. Tapi jangan lupa, itu bukan kursi lo. Lo cuma numpang."
Dia menatap Gue balik, senyum lagi. "Kita lihat aja nanti."
Gue berbalik, buka pintu dengan sedikit terlalu keras. Tapi sebelum keluar, Gue sempat berhenti sebentar. Dari pantulan kaca di dinding luar, Gue masih bisa liat dia di dalam, duduk lagi, seolah-olah nggak terjadi apa-apa.
Ruangan itu dulu penuh hidup, sekarang rasanya mati.
Begitu Gue keluar, beberapa staf langsung pura-pura sibuk. Nggak ada yang berani nyapa. Dan itu anehnya, justru buat Gue sadar, mereka bukan nggak peduli. Mereka takut. Sama kayak dulu Gue juga pernah takut kehilangan segalanya, sampai akhirnya benar-benar kehilangan.
Gue berjalan cepat ke lift, tapi langkah Gue berat. Nggak tau kenapa, pas pintu lift menutup, Gue malah inget lagi sama Adrian. Suaranya yang tenang, cara dia ngomong yang nggak pernah nyerang, cuma nenangin.
"Lo udah tau apa yang buat lo bahagia. Lo udah jelas nolak dijodohin sama orang yang nggak lo suka. Jadi kenapa masih ragu? Hidup ini cuma sekali, sayang banget kalo di habisin buat nurutin skenario orang lain."
Dan anehnya, kata-kata itu cukup buat Gue bisa bernapas lagi.
Begitu lift sampai di lobi, Gue buka ponsel. Ada notifikasi email masuk.
Dari alamat yang nggak dikenal, tanpa nama. Tapi subjeknya cuma satu kata. "Berhati-hatilah."
Gue menatap layar itu lama. Dada Gue berdebar pelan tapi kuat. Antara takut dan penasaran. Entah siapa pengirimnya, tapi yang Gue pikirin adalah perang ini baru dimulai, dan kali ini, Gue nggak akan mundur.
Kali ini Gue nggak akan diem. Mereka pikir Gue udah jatuh, tapi Gue baru aja mulai.