Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Yunita kalah, semua laporannya dianggap palsu karena tidak dapat membuktikan satu pun laporan yang dituduhkan kepada Melati. Dia pun sangat marah, dengan mudahnya Melati lepas dari jerat hukum yang sebenarnya bisa membuat Melati membusuk di bui.
Dia pun langsung melaporkannya pada Viola tapi sayangnya wanita hamil itu tidak bisa dihubungi. Dia pun mengirim pesan pada Viola untuk segera menghubunginya.
Viola sendiri tidak dapat dihubungi karena sedang bersama Mas Kalingga. Dia tidak mau ada yang menganggu waktu berharga mereka.
"Mas Kalingga tidak ke kantor 'kan?."
"Siang ini aku ke kantor, Vi. Aku ada janji dengan klien."
"Kalau aku minta tidak pergi bisa, Mas?."
"Maaf, Vi, tidak bisa." Langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Viola masih di atas tempat tidur dengan wajah yang ditekuk karena merasa diabaikan Mas Kalingga. Dia belum menjadi prioritas suaminya padahal di rumah itu sudah hanya mereka berdua.
Mas Kalingga sudah rapi pun Viola masih belum beranjak dari tempatnya.
"Aku berangkat, Vi."
Viola tetap diam dan Mas Kalingga pun tidak menghiraukannya lagi. Dia langsung keluar dan berangkat ke kantor.
"Aku harus bagaimana lagi, Mas?. Supaya kamu mau melihat keberadaanku dan bayi kita." Keluh Viola sambil menutup wajah lalu dia menangis.
Puas menangis dia langsung menghidupkan ponselnya, kabar buruk pula didapatkannya. Semakin buruklah harinya. Dia pun melempar ponselnya tapi sayangnya ke atas tempat tidur.
Hari buruk yang dialami Viola sungguh berbanding terbalik dengan hari bahagia yang dirasakan Melati. Bagaimana tidak, selain dia keluar dari dan tidak lagi menjadi tahanan kantor. Pulang ke rumah di sambut kedua anak perempuannya. Kebahagiaan berlipat ganda yang harus disyukuri.
Namun kebahagiaan itu masih diwarnai isak tangis Lili dan Sakura. Tangis itu justru semakin pecah lagi saat Melati memeluk mereka. Pelukan hangat yang sudah jarang mereka rasakan karena mereka tidak lagi tinggal di atap yang sama. Padahal mereka sangat menyayangi Mama mereka. Mereka akan selalu ada untuk sang Mama.
Tangis keduanya sudah reda, namun Lili dan Sakura begitu menempel pada Mamanya. Melati sangat senang, di setiap rasa pahit yang dirasakannya ternyata dibarengi rasa manisnya pula.
"Karena Kak Lili dan Dek Sakura menangis terus, jadi kalian berdua sudah kehilangan banyak tenaga. Bagaimana kalau sekarang kita makan? Mama sudah lapar dan Mbah Kakung sudah memasak untuk kita."
Lili dan Sakura mengangguk dan mulai mengambil posisi duduk masing-masing. Ayah tersenyum lebar menyaksikan kebahagian Melati dan kedua anaknya.
"Kata Papa kami boleh tinggal di sini bersama Mama," Lili membawa cemilan kesukaannya ke ruang keluarga.
"Boleh, Ma?." Tanya Sakura yang duduk sangat mepet dengan Mamanya.
"Tentu saja kalian boleh tinggal di sini bersama Mama. Mama sangat senang kita bisa tinggal bersama lagi. Nanti kita bisa masak, main dan nonton lagi sama-sama."
"Iya, Mama," sahut keduanya penuh antusias.
Lili dan Sakura yang tidak bisa tidur dari kemarin karena terus saja memikirkan nasib Mamanya sekarang bisa tidur nyenyak di samping sang Mama tanpa merasa takut.
"Ayah besok pulang, Mel."
"Iya, Yah, terima kasih sudah selalu ada untukku dan anak-anakku. Tanpa Ayah aku tidak tahu menjadi apa aku sekarang ini."
"Ayah selalu mendoakan yang terbaik untukmu dan anak-anak."
Ayah keluar dan membiarkan anak perempuannya untuk istirahat.
Keesokan paginya.
Wajah Lili dan Sakura begitu ceria, saat bangun yang pertama kali dilihatnya adalah sang Mama.
"Selamat pagi, Mama," sebuah kecupan singkat mendarat di pipi kanan Melati dari Sakura.
"Selamat pagi, Mama," dan pipi kirinya kecupan singkat dari Lili.
Kemudian Melati membalas seperti apa yang dilakukan kedua putrinya. Bahkan sampai mencium pipi mereka bertubi-tubi karena rindu dan gemas.
"Kita harus cepat mandi, Mbah Kakung sudah mau pulang hari ini."
"Iya, Mama." Mereka langsung bangun dan berlari ke arah kamar mandi. Melati tersenyum sambil turun dari tempat tidur, rumah itu kembali ramai dengan suara Lili dan Sakura lagi.
Melati, Lili dan Sakura mengantar Mbah Kakung sampai teras depan dengan senyum kebahagiaan. Semoga bahagia hari ini akan menjadi abadi selamanya walau rasanya sangat mustahil karena masalah selalu datang silih berganti.
Mereka masuk lagi ke dalam rumah dan bertepatan dengan ponsel Sakura yang berdering.
"Iya, Papa."
"Kalian pasti bahagia bisa kumpul bersama Mama."
"Iya, Papa, terima kasih."
"Papa bisa bicara dengan Mama?."
Sakura menatap Melati yang sibuk di dapur.
"Iya, Papa." Kemudian Sakura memberikan ponselnya kepada Mamanya.
Melati pun menerimanya sambil menatap Lili dan Sakura yang menjauh darinya. Mereka memberikan ruang untuk kedua orang tuanya bicara.
"Halo," untuk pertama kali setelah perceraian mereka.
"Aku titip anak-anak bersamamu."
"Terima kasih sudah mengizinkan anak-anak tinggal di sini. Oh, iya, bagaimana dengan sekolah anak-anak?."
"Tahun depan mereka sudah mau masuk sekolah dasar."
"Iya."
Hening
Dua orang yang dulu bebas bicara apa saja, penuh cinta kasih sekarang hanya bicara seperlunya dan hanya terbatas pada mengenal anak-anak. Tidak lagi ada hubungan indah dulu yang mereka rajut bersama.
Melati pun enggan berbagi kabar bahagia mengenai kehamilannya, bayinya hanya miliknya walau Ayah pernah memintanya untuk memberitahukan Mas Kalingga karena dia memiliki hak.
"Kamu bisa hubungi aku kalau ada apa-apa dengan anak-anak."
"Baik."
Melati dan Mas Kalingga sama-sama gemetar, mereka masih memegang ponsel dengan mata berkaca-kaca. Sekarang mereka bukan hanya jauh raga saja tapi rasa sudah tidak penting lagi bagi keduanya.
Air mata mereka pun sama-sama menetes akan tetapi segera mereka hapus. Kemudian Melati menaruh ponsel Sakura di atas meja makan dan Mas Kalingga menemui klien yang baru saja datang.
Semenjak pulang dari seminari sudah banyak perusahan besar meliriknya sehingga Mas Kalingga selalu disibukkan dengan pekerjaan.
Selesai untuk pekerjaan hari ini, dia yang sudah bersiap akan pulang di telepon Viola.
"Mas, perutku sakit!."
"Aku pulang sekarang, Vi."
"Cepat, Mas! Kayanya aku mau melahirkan."
"Iya, bertahan, Vi."
Mas Kalingga sudah membawa Viola ke rumah sakit. Padahal masih ada waktu satu minggu untuk Viola melahirkan sesuai janji dengan Dokter. Namun setelah Dokter mengeceknya ternyata itu hanya kontraksi biasa saja dan Dokter yang memeriksa Viola terlihat sangat serius lalu dia bicara dengan Mas Kalingga.
"Lebih baik bawa istrimu ke rumah sakit besar yang fasilitas kesehatannya bagus karena untuk jaga-jaga saja sepertinya istrimu akan membutuhkan itu."
"Ada apa dengan istriku?."
"Nanti bisa dijelaskan oleh Dokter yang memeriksa, kalau bisa dibawa sekarang karena baru aku berikan obat."
"Baik, Dokter, terima kasih." Mas Kalingga mengikuti saran Dokter untuk membawa Viola ke rumah sakit yang lebih bagus fasilitasnya.
Namun dia juga sudah konsultasi dengan Dokter sebelumnya dan Dokter pun menyarankan hal yang sama.
"Aku kenapa, Mas?."
"Tidak apa-apa, Vi, aku hanya ingin yang terbaik untuk persalinanmu."
Bersambung