Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 6,part 2
Anja tak mempedulikannya, menghampiri Kezia dan mengambil tempat duduk ditepi ranjang.
Mata Kezia tak lepas memperhatikannya. Senyumnya mengembang begitu sempurna, seolah rasa tak nyaman ditubuhnya bukan lagi hal yang ia permasalahkan sekarang. Padahal... sepanjang malam gadis kecil itu merengek dan mengeluh pada papanya. Bukan hanya itu, kadang dia juga marah kalau papanya mengusap tubuhnya ditempat yang salah.
"Masih pusing ?" Tanya Anja memandang wajah putrinya dengan sinar redup. Tangannya menyentuh kening Kezia, dan ia menghela napas lega saat punggung tangan itu mendapati suhu tubuh Kezia dalam keadaan normal.
Kezia menggeleng, tubuhnya yang lemas memaksanya untuk bangun.
"Mama..."panggilnya seraya memandangnya ragu, "boleh gak Zia peluk mama?"ucapnya polos, bulu mata lentik itu berkedip dengan penuh harap.
Anja membeku saat tiba-tiba sesuatu terasa menusuk, matanya berkaca-kaca "tentu sayang, tentu...!"katanya sambil menganggukkan kepalanya berulang kali, sementara tenggorokan nya tercekat menahan tangis.
Ia merengkuh Kezia kedalam pelukannya dengan air mata yang menyerbu entah datangnya dari mana. Semua gelombang emosi yang menghantamnya kini, diekspresikan dengan pelukannya yang semakin erat. Ia tak menyangka, gadis kecil itu dapat menerimanya dengan tapa syarat.
"Maafin mama ya, sayang! Maafin mama, maafin mama!"bisiknya berulang-ulang, berharap rasa sesalnya berkurang, namun tak ada hal apapun yang bertambah kecuali perasaan sesak didada saat mengingat bagaimana dia tak pernah benar-benar menginginkan Kezia dulu.
Reka membuang muka, mengusap ujung matanya berulang kali demi menahan air mata. Akhirnya, satu do'a yang ia lafal hingga berulang-ulang selama enam tahun ini berakhir dengan sangat manis.
"Mama jangan tinggalin Zia lagi ya, Zia janji...Zia bakal jadi anak baik, Zia bakal jadi anak yang nurut asal mama jangan pergi lagi!" mata Anja terpejam, merasakan hantaman nyeri pada jantungnya"apapun sayang, apapun untuk mu!"
"Zia mau pergi sekolah sama mama, biar temen-temen Zia tau bahwa Zia itu punya mama. Biar anak nakal itu, gak ledekin Zia lagi! Zia juga ingin memberi tahun Lia, kalau mama udah pulang!"
Anja menghapus air matanya kemudian mengurai pelukan,
"tentu saja, mulai sekarang...mama yang akan mengantar dan menjemput Zia sekolah!" balasnya sambil menyentuh kedua bahu putrinya kemudian tersenyum, senyum yang bahkan ia sempat lupa bagaimana cara melakukannya.
Dia sudah janji, benarkah? Apa itu artinya dia setuju untuk tetap tinggal?
Reka bertanya dalam hatinya dengan penuh harap.
Gadis kecil itu mengucapkan terimakasih kemudian tersenyum begitu manis.
"Mama mau ajak main Zia, tapi Zia nya sakit. Kita makan yu sekarang, biar cepat sembuh!" Anja berucap, sambil membaringkan kembali tubuh putrinya dengan hati-hati.
"mulutnya pahit ma,"rajuknya lemah, matanya berkedip pasrah.
"Sedikit, janji deh cuman beberapa suap saja!"
Suara ponsel bergetar pelan, membunyikan alarm peringatan bahwa ada orang lain yang sejak tadi berada diruangan ini.
Anja sedikit memalingkan mukanya begitu Reka datang dan mengambil ponsel yang berada diatas bantal samping Kezia.
"Iya apa, Lex?" Reka bertanya tanpa basa-basi, ia menghampiri jendela sengaja memberi jarak dengan posisi Anja kini. Anja tak suka, namun ia gagal menyadari bahwa telinganya masih menangkap suara maskulin yang keluar dari mulut pria itu.
Matanya mencuri pandang pada tubuh Reka yang membelakanginya. Pria itu seperti tak berubah sama sekali, kecuali badannya yang semakin berisi. Sepertinya Erna benar dengan mengatakan Reka hidup dengan baik.
"Kezia kalau sakit gak mau ditinggal, jam berapa dia terbang?"
"Coba tanyakan kepadanya bagaimana kalau mengambil jadwal pertemuan di sore hari,"
"Ok, saya mengerti. Terimakasih Lex!" Reka menutup telpon kemudian menghela napas. Cukup keras sehingga telinga Anja masih mampu mendengarnya.
Ia mencengkram teleponnya kemudian melangkah menghampiri Kezia yang masih terbaring lemah.
"Emhhh, Zia. Papa ke kantor sebentar gak apa-apa, kan?" Anja sedikit menahan napas begitu mencium aroma pria dari tubuh lelaki itu. Ia sedikit menggeser posisinya hingga ke ujung tempat tidur demi memberi jarak.
"Tar kalau Zia pusing lagi, gimana?" Benar saja, bagi Kezia... Anja masih orang luar, apalagi jika dibandingkan dengan Reka yang selalu memproriotaskanya.
Reka tampak menimang apa yang dikatakannya sebentar, lalu tatapannya beralih pada Anja.
"Harusnya janji temunya besok, tapi klienku yang dari Arab saudi mendesak untuk bertemu sekarang. Sesuatu terjadi dikeluarganya, katanya akan pulang sekarang malam!
Sebenarnya, aku terbiasa bawa Kezia ke kantor, tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan ja-jadi aku mau titip Kezia sebentar!"
"pergilah!" balasnya dengan tatapan dingin.Sementara, tubuhnya tak bereaksi sama sekali.
"Emh, Kezia sedikit Rewel, itu akan sedikit merepotkanmu!"
Anja tak menjawab, sementara tatapannya kembali pada Kezia.
"Mama sedih, kenapa gak mau sama mama aja. Padahal kalau Kezia pusing, mama juga bisa kok pijitin Kezia!" Gadis kecil itu menatap ibunya dengan tatapan, benarkah?
Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Reka setelah mendapat anggukan dari ibunya.
"Gak apa-apa deh pah, tapi janji sebentar ya!"
"Ok princes nya papa. Mau nitip apa entar kalau misal papa pulang?" Tubuh besar itu memeluk Kezia. Kezia terlihat berpikir sejenak, "enggak deh, Zia gak mau apa-apa!"timpalnya dengan gelengan lemah.
"Ok deh papa berangkat, yang baik ya!" Reka bangkit, setelah mengecup pipi Kezia gemas.
"Aku sudah meminta bi Arum membuatkan bubur untuk Kezia. Oh ya, tar juga bakal ada dokter yang akan datang. Maaf, kalau ini merepotkan!"Intruksinya kemudian pada Anja, sebelum ia benar-benar pergi dan menghela napas lega.
Satu langkah, akhirnya... Anja mau berbicara dengannya.
semangat kak author 😍