Ratna yang tidak bisa hamil menjebak suaminya sendiri untuk tidur dengan seorang wanita yang tak lain adalah adik tirinya.
ia ingin balas dendam dengan adik tirinya yang telah merenggut kebahagiaannya.
akankah Ratna berhasil? atau malah dia yang semakin terpuruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadelisa dedeh setyowati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Istri Yang Diabaikan 26
Andini masuk ke kamarnya dengan perlahan, ia melewati ruang tamu dimana kedua orang tuanya juga tengah menunggunya.
“Nduk?” panggil Ibu Andini.
Andini berhenti tepat di anak tangga. “Ya bu,” ucap Andini tanpa menoleh.
“Kamu sendiri? Bagas mana? Kayanya tadi ibu dengar suara mobil.”
Andini menutup mulutnya – menahan tangis.
“Nduk? Din?” panggil ayahnya.
Cepat-cepat Andini mengusap bekas air matanya dan berpaling ke ibu dan ayahnya.
“Mas Bagas ... Mas Bagas ke rumah istri pertamanya Bu,” ujar Andini dengan suara sedikit serak menahan air mata.
“Apa?!” ayahnya menegang.
“Hlo? Kok Bagas begitu sama kamu?” Ibu Andini yang bertanya
“Ibu Ayah, istri pertama Mas Bagas sakit jadi butuh bantuan Mas Bagas,” kata Dini mencoba menjelaskan. Entah apa yang dipikirkannya sampai ia terpaksa berbohong.
“Sakit? Sakit apa?” cecar Ayah Dini.
“Sakit ... sakit panas dan demam Yah,” ucap Dini cepat.
“Apakah itu benar?” kembali sang Ayah meminta penegasan.
Andini mengangguk. Ia sudah tak kuasa membuka mulut, ia takut lebih jauh lagi berbohong pada orang tuanya.
“Tapi ... kenapa kamu nangis Din?”
“Dini gapapa bu, Dini ga nangis kok,” Dini berusaha tersenyum tegar di depan orangtuanya.
“Keterlaluan Bagas, dia mempermainkan kita,”
“Ayah Ibu, Mas Bagas gak salah. Memang istri pertamanya sakit dan butuh bantuan Mas Bagas. Dini gapapa, malah besok Dini akan menengok istri pertama Mas Bagas,” kata Dini panjang lebar berusaha meyakinkan orangtuanya bahwa ia baik-baik saja.
Tapi sebagai orang tua terutama ibu pasti bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya.
“Ayah Ibu, Dini ke kamar dulu ya, mau mandi. Badan Dini lengket,”
“Iya sayang, bebersih diri bisa buat hati tenang,” ucap Ibu Andini seakan memahami apa yang dirasakan oleh putri semata wayangnya itu.
Dengan langkah gontai Andini menaiki tangga, tapi ia masih bisa mendengar ayahnya berkata, “Besok ayah mau temui Bagas,”
Andini tak berusaha mencegah, biarlah ayahnya bertindak, ia juga ingin tahu bagaimana respon Bagas.
Sesampainya di kamar ia mengambil ponsel dan mengetik nama Bagas, tapi sesaat kemudian niatnya menghubungi Bagas ia batalkan. Ia tak mau mengganggu suaminya dengan Ratna.
Akhirnya ia memilih berbaring tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, tubuhnya sudah terlalu letih.
Perlahan matanya memberat, dan ia pun tertidur.
...
Andini samar-samar mendengar ibunya memanggilnya untuk membangunkannya
“Din, nduk ... bangun, ada Bagas di bawah,” ucap Ibu Andini sambil mengelus pelan tubuh Andini.
“Hoaahhmm, apa bu?” Andini yang setengah sadar merasa kurang yakin ibunya mengatakan ada Bagas.
“Itu di bawah ada nak Bagas, mau jemput kamu kerja, ayo bangun,” imbuh Ibu Andini sambil tetap menepuk pelan tubuh anak gadisnya, berusaha membangunkan Andini.
Andini mengerjapkan mata, ia yakin tak salah dengar kali ini, “Hah? Mas Bagas bu?” Andini mencoba mencari kesungguhan.
“Iya, lagi ngopi sama Ayah. Buruan mandi. Sudah ditunggu,” ujar ibunya melanjutkan.
Andini segera terbangun, ia tak percaya Bagas ada disini tapi itulah yang dikatakan ibunya. Jadi ia segera menyibak selimut dan menuju ke kamar mandi untuk bersiap. Sedang ibunya hanya menggelengkan kepala dan membereskan selimutnya yang berantakan.
Tak butuh waktu lama Andini sudah siap dengan blus magentanya. Sederhana tapi cantik. Make up-nya pun tipis karena pada dasarnya Andini memang sudah cantik.
Ia segera turun ke ruang tamu dan mendapati Bagas ada disana, sedang berbincang dengan ayahnya sambil sesekali menyesap kopi hitam.
“Mas Bagas ....” panggil Andini.
“Dek ....” Bagas memanggil Andini dan beranjak berdiri, “Maafin Mas ya soal semalam,” Bagas mengamit tangan Andini dan menuntunnya untuk duduk juga di ruang tamu bersama ayahnya juga.
“Duduk Din, nak Bagas ... Ayah mau bicara sama kalian,” titah sang Ayah.
Mereka berdua pun duduk.
Ayah Andini menangkap ada yang tidak beres dengan putri dan menantunya itu.
“Dini anakku dan kamu juga Bagas, ingatlah satu hal penting dalam rumah tangga, sekadar cinta lalu menikah tidaklah cukup. Kalian juga harus saling menghargai.”
“Iya pak,” Bagas yang membuka mulutnya.
“Dengarkan ayah nak, mencintai membuat kita rela memberi tapi menghargai membuat kita berhati-hati agar tidak melukai, kadang kita berkata kita mencintai seseorang tapi kalau kita tidak menghargai, ucapan dan tindakan kita bisa sangat menyakiti orang yang kita cintai itu,”
Ayahnya masih melanjutkan sedangkan Andini mulai melirik ke arah Bagas.
“Kalau kalian saling mencintai kalian pasti mau berkorban, kalau saling menghargai kalian tahu batasan dan tidak saling merendahkan. Dua hal ini harus berjalan bersama beriringan. Dengan begitu rumah tanggal kalian akan hangat penuh hormat dan tetap indah sampai tua.
Entah keberanian darimana, Andini meraih tangan Bagas dan menggenggamnya erat.
“Terimakasih Yah, kami akan berusaha saling mencintai dan menghargai, iya kan mas?” Andini berpaling pada Bagas.
“Iya pak, saya akan menjaga Andini,”
Ayah Andini tersenyum dan melanjutkan, “Itulah kunci kebahagiaan rumah tangga, ingatlah ... cinta adalah akar dan saling menghargai adalah batangnya. Dari sanalah tumbuh kebahagiaan.”
“Baik Pak,”
“Baik Yah.”
Ucap Bagas dan Andini berbarengan.
“Nak Bagas, karena kamu sudah jadi suami Andini itu artinya kamu anak kami. Panggil saja kami Ayah dan Ibu. Anggap kami orangtuamu juga.” Ujar Ayah lagi.
Bagas mengangguk sambil tersenyum. Kemudian melihat jam dan berkata pada Andini, “Kita berangkat sekarang?”
Andini mengangguk.
“Ayah, ibu kami berangkat yaa ...” ucap Andini berpamitan pada Ayah dan Ibunya.
“Hati-hati nduk, hati-hati nak Bagas.”
Keduanya mencium punggung tangan Ayah dan Ibu Andini. Dan segera setelahnya masuk ke mobil.
“Semoga mereka bisa saling menghargai dan mencintai ya Yah. Supaya mereka bahagia.” Ujar Ibu sambil memeluk lengan Ayah.
“Seperti kita ya Bu,” ujar Ayah menggoda ibu. Ibu yang digoda hanya tersenyum simpul dan mereka pun masuk ke rumah bersama.
Di dalam mobil Andini tiba-tiba merasakan udara yang dingin. Bukan dingin karena AC mobil, tapi dingin karena sikap Bagas yang tiba-tiba berubah diam. Sorot matanya menajam membuat Andini sedikit bergidik.
“Mulai besok kamu tinggal sama aku dan Ratna,” ucap Bagas tiba-tiba.
“Ap – apa Mas? Tinggal dengan kamu dan mba Ratna? Ga bisa mas. Ga bisa.” Ucap Andini menolak Bagas.
“Kenapa?” mata Bagas masih fokus ke depan.
“Dalam satu rumah tidak bisa ada dua ratu mas.” Andini mencoba untuk membuat Bagas paham bahwa tidak mungkin ada dua ratu dalam satu istana
“Aku tidak bisa meninggalkan Ratna!” ujar Bagas dengan suara meninggi.
“Tapi mas bisa ninggalin aku!” kali ini Andini sedikit meninggi nada bicaranya. Ia tak bisa melakukan apa yang diminta Bagas. Dan ia kesal Bagas terlalu membela Ratna.
Bagas segera menginjak rem dalam-dalam, bunyi ban berdecit dan badan keduanya terhentak ke depan.
Bagas berpaling ke Andini dan berkata dengan nada yang juga tak kalah naik, “Dengar Andini, kita menikah karena terpaksa, jadi jangan pernah berharap banyak hal dari pernikahan ini. aku tegaskan mulai besok kau akan ikut aku ke rumah. Kau tidak mungkin mengecewakan orangtuamu kan?” ujar Bagas dengan sedikit mendesis tajam.
Mata Andini mulai berembun saat ia mendengar Bagas mengatakan semuanya.
“Jangan menangis. Aku tak suka melihatnya.” Ucap Bagas kembali fokus ke depan untuk menyetir mobil, membiarkan Andini bergumul dengan perasaannya sendiri.
Andini menatap jendela di sampingnya, air matanya menetes. Tanpa ia tahu hidupnya akan mulai menderita dari sekarang.