Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NURI KEMANA?
Malam itu, lampu-lampu jalan menyinari perjalanan mereka. Mobil yang dikendari Noval melaju pelan munuju hotel baru tempat Luna menginap. Mereka mencoba mencari tempat baru teraman untuk Luna.
Udara didalam mobil terasa berat. Tidak ada yang bicara, hanya suara mesin yang terdengar jelas.
Luna menunduk duduk dikursi belakang. Kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia pakai. Pikirannya masih penuh dengan kiriman foto yang ia terima.
Noval melirik ke kaca spion, melihat wajah Luna yang tampak gusar. Di sebelahnya, Nuri juga duduk kaku, sesekali menatap keluar jendela.
Mobil hitam yang mereka kendarai berhenti tepat di depan Lobby. Luna dan Nuri turun lebih dulu, sementara Noval memarkirkan mobilnya.
Luna menatap pintu kamar hotelnya dengan perasaaan campur aduk. Perutnya terasa mual, bukan karena lelah, tetapi juga karena firasat buruk yang terus menghantuinya. Tangan bergetar ketika hendak membuka pintu kamar. Belum sempat Luna menempelkan kartu pada sensor pintu, Noval lebih dulu merebut kartu akses dari tangan Luna.
“Biar aku dulu,”kata Noval lembut tapi tegas.
Pintu berderit pelan. Noval masuk lebih dulu, langkahnya hati-hati. Matanya menyapu setiap sudut ruangan. Tempat tidur masih rapi, meja kecil disamping ranjang masih kosong. Tak lupa Noval membuka lemari, kemudian memeriksa kamar mandi.
Setelah beberapa menit, Noval keluar dari kamar mandi. “Aman,” katanya sambil menggandeng tangan Nuri. “Kalian bisa masuk.”
Luna melangkah masuk, meletakan kopernya di dekat lemari pakaian. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Nuri menutup pintu pelan-pelan. Suasana kamar terasa sunyi, hanya suara AC yang berdengung lembut.
Mereka bertiga duduk terpisah. Luna di tepi ranjang, Noval di kursi dekat meja kerja, Nuri bersandar di dinding.
Sesaat tidak ada yang berbicara, seolah-olah saling menunggu siapa yang akan memulai percakapan.
Akhirnya, Luna berkata Lirih, “Terima kasih, Val, Nur…”
“Kamu tidak perlu berterima kasih Lun. Sudah sewajarnya sebagai sahabat kita saling membantu.” Noval mendekatkan diri ke Luna.
Nuri tampak tidak menyimak perbincangan mereka. Tatapan kosong, seolah ada yang dipikirkan sejak tadi. Tiba-tiba Nuri mengangguk pelan. “Lun, aku rasa setelah perceraian ini kamu masih belum aman. Aku sangat yakin bahwa bukan hanya perceraian saja yang diinginkan oleh orang itu. tapi kehancuranmu. Dan aku yakin pelaku utamanya Celine.”
Luna menoleh cepat. “Kamu dapat dari mana kesimpulan itu, Nuri?”
Mata Nuri menajam, suaranya bergetar tapi mantap. “Surat ancaman yang tadi aku tunjukan. Kata-kata itu seolah tidak membiarkan kamu dilindungi dan dibela oleh siapapun. Dia tidak ingin ada yang menghalangi langkahnya. Dan kata-kata surat itu, bukanmain-main. Aku sudah lama belajar bahasa orang lewat tulisan. Aku yakin ini ditulis untuk menakut-nakuti dan mengurung kamu.”
Noval menatap tunangannya lekat-lekat, kekhawatiran tergambar jelas. “Nuri, dari mana kamu tahu semua itu?” Nada suaranya cenderung seperti interogasi, tapi ada kelembutan yang menahan.
Nuri menghela napas panjang. “Noval, kamu lupa aku ini seorang psikolog. Aku belajar psikologi. Aku tahu pola kata, pola ancaman. Aku bisa membaca pola tulisan ini Noval.”
Sunyi sesaat. Noval mengusap wajahnya, terlihat sangat gelisah. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir. “Nuri. Ini bukan lagi tentang teori atau pola kata. Ini ancaman serius. Dan sekarang sudah tertuju ke kamu. Nuri, sudah aku katakan. Kamu ikut terlalu dalam.”
Nuri hanya memandangi Noval. Seolah sudah lelah menjelaskan alasannya ikut kedalam masalah ini.
Noval berhenti, menatap tunangannya dengan mata yang dipenuhi rasa takut. “Cukup berhenti di aku, Nuri. Aku tidak mau kamu yang jadi target selanjutnya. Nuri, dengar aku. Kamu harus kembali ke Amerika. Disini bukan tempat yang aman untuk kamu.”
Nuri menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan pergi selangkah pun dari Luna Val. Aku rela mengambil cuti panjangku. Bahkan jika aku harus pindah kesini aku siap. Aku tidak rela Luna menghadapi semua ini sendirian.”
Luna yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tolong, jangan bertengkar karena aku. Aku sudah banyak menghancurkan orang lain. Aku tidak mau kehilangan kalian juga.”
Kata-kata Luna membuat ruangan seolah membeku. Noval terdiam, menatap Luna. Nuri mendekat dan duduk di sebelah Luna, menggenggam tangannya. “Kamu tidak akan kehilangan kami. Selama ada aku disini, aku akan berusaha menjaga kamu.”
Luna tersenyum samar. Matanya berkaca-kaca.
Malam itu berakhir dalam sunyi. Nuri dan Luna tidur di ranjang, sementara Noval tidur di sofa kamar Luna. Mereka semua tahu, tidur mereka tidak benar-benar lelap. Ada kekhawatiran yang mereka rasakan, menunggu itu pecah kapan saja.
***
Matahari pagi bersinar hingga menembus jendela gedung kantor cabang. Luna masuk dengan langkah pasti. Ia berjalan menuju ruangannya yang sudah tersuguh laporan-laporan.
Namun pagi itu, sesuatu lebih berat menantinya. Kepala cabang memanggil Luna ke ruangannya.
“Silahkan duduk, Luna.” Suara kepala cabang terdengar datar. Luna duduk, menunduk dengan sopan sambil menyilangkan kakinya.
“Saya perhatikan beberapa minggu ini kinerja kamu menurun drastis. Laporan banyak yang telat kamu laporkan, bahkan beberapa pekerjaan dikoreksi berulang kali. Ada apa sebenarnya Luna?”
Luna menggenggam tangannya erat. “Maafkan saya, Pak. Saya akui akhir-akhir ini konsentrasi dan fokus saya memang terganggu.”
Kepala cabang menyipitkan mata. “Saya tidak mau tahu masalah pribadi kamu. kantor ini butuh profesionalisme. Kalau kamu tidak bisa menjaga itu, kamu harus siap dengan konsekuensinya.”
Luna terdiam, dadanya terasa sesak. Luna hanya mengangguk tak berdaya.
Akhirnya kepala cabang menutup pembicaraan dengan nada dingin. “Saya beri kamu waktu satu mingu. Buktikan kamu masih pantas berada di posisimu saat ini.”
Luna keluar dengan langkah lemas. Noval yang sedari tadi menguping dari luar ruangan datang untuk menyemangatinya. “Lun, kamu harus kuat ya.”
Luna tersenyum pahit. “Aku sudah terlalu sering emnghadapi kepahitan Val.”
Tak ingin banyak menambah beban pikiran Luna, Noval pun hanya diam sembari berjalan di sisi Luna. Menuju ruangan mereka masing-masing.
Setelah semua keributan di kantor, malam itu Nuri duduk sendiri di kamar hotel. Noval sedang lembur di kantor, sementara Luna mencoba beristirahat.
Nuri memandangi surat ancaman yang masih ia simpan. Kata-kata itu terasa hidup, seperti bisikan yang terus menempel di kepalanya.
“Aku tidak bisa diam.” Bisiknya sendiri.
Ia mengambil tas nya dan keluar dari kamar hotel tanpa menutup pintunya. Ia berjalan keluar hotel dan memeasan taksi online.
Sementara itu hingga pagi hari, perasaan Noval terus di hantui kekhawatiran. Nuri sejak tadi malam tidak dapat dihubungi. Bahkan Noval tidak bisa melacak keberadaannya dengan aplikasi yang biasa mereka gunakan.
“Lun, maaf mengganggu akhir pekanmu. Bisa temani aku ke hotel tempat Nuri menginap? Sejak tadi malam, Nuri tidak bisa dihubungi.” Mendengar berita dari Noval, Luna yang masih menempelkan ponsel di telinganya langsung berdiri dan mengambil tas.
“Sekarang juga kita kesana.”
Luna mengendarai mobilnya untuk menjemput Noval dengan kecepatan tinggi. Noval yang tampak gelisah, sudah menunggu di teras hotel. Ia dengan cepat masuk kedalam mobil Luna tanpa menawarkan bergantian untuk menyetir.
Sesampai di depan kamar hotel Nuri, mereka semakin panik saat mengetahui pintu kamar Nuri tidak di tutup.
Namun yang membuat bulu kuduk berdiri, mereka menemukan secarik kertas di meja kamar hotel dengan tulisan.
“Jangan cari aku. Aku akan kembali.”
Namun yang membuat bulu kuduk berdiri, surat itu jelas bukan tulisan Nuri. Noval sangat mengenali tulisan Nuri. Noval menatap surat itu lama. matanya membesar keringat dingin mengalir di pelipis. “Ini, bukan tulisan Nuri.”
Luna mendekat. “Maksud kamu apa, Val?”
Noval meremas surat itu, suaranya bergetar. “Artinya, Nuri tidak pergi dengan keinginannya sendiri. Dia dibawa seseorang.”
Suasana kamar hotel membeku. Luna menatap Noval dengan wajah takut. Hanya ada satu pertanyaan yang menggantung dan menghantui mereka.
Siapa yang sudah mengambil Nuri dari mereka?