NovelToon NovelToon
Behind The Executive Desk

Behind The Executive Desk

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:21k
Nilai: 5
Nama Author: Rosee_

Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.

“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.

Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 - Hubungan yang Telah Mati

Subuh itu, setelah Ivy terlelap kembali di pelukannya, Calix masih terjaga. Mata istrinya yang sembab, suara bergetar saat menyebut nama itu — Beatrice, masih menggema di kepalanya.

Ia mengecup ubun-ubun Ivy sekali lagi, lama, lalu menutup mata. Bukannya tertidur, pikirannya justru berputar tanpa henti.

Beatrice.

Nama itu memang bagian dari masa lalunya, tapi hanya sebatas itu. Masa lalu. Tidak ada yang tersisa. Namun, menghapus nama itu seutuhnya? Mustahil. Karena justru lewat sosok itulah, Calix bisa menakar satu hal penting — seberapa jauh Ivy berani mempertahankannya.

Dan malam ini, untuk pertama kalinya, Ivy menunjukkan itu dengan jelas. Ia tidak sekadar cemburu. Ia ingin hak penuh.

Senyum tipis melintas di wajah Calix. Ada rasa puas, sekaligus getir.

“Jadi kau akhirnya mengaku, Ivy. Bahwa kau takut kehilangan aku.”

Namun, ada sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan. Bukan karena malu, tapi karena tahu, kalimat itu hanya akan jadi beban untuk Ivy.

Bahwa dia, Calix Theodore, tidak pernah berniat melepaskan Ivy — dengan alasan apa pun.

Cinta? Ia ingin, tentu saja. Tapi itu bukan syarat. Karena bahkan tanpa cinta pun, Ivy tetap miliknya. Pernikahan ini adalah ikatan permanen. Tidak ada opsi lain. Tidak ada ruang untuk kata cerai.

Pikirannya melayang ke momen-momen ketika Ivy dulu dengan ragu atau marah menyinggung soal berpisah. Dan setiap kali, darahnya mendidih.

Bagaimana bisa wanita ini, yang sudah ia peluk, ia jaga, dan ia ikat dengan namanya, masih berani membicarakan perpisahan?

Seolah-olah ia bisa pergi kapan saja?

Seolah-olah Calix akan membiarkannya?

Tawa kecil yang hambar lolos dari bibirnya. Tidak. Ivy tidak pernah benar-benar mengerti dan mungkin memang sebaiknya begitu.

Agar hanya ia sendiri yang tahu bahwa jika suatu hari Ivy menolak, bahkan jika Ivy menangis dan berkata ia tidak bahagia, Calix tetap tidak akan melepasnya.

“Kau sudah jadi milikku, Ivy. Selamanya.”

Ia memejamkan mata, merasakan napas lembut istrinya di dada. Ada sisi dirinya yang ingin mengatakan semuanya, agar Ivy tahu betapa besar obsesi dan ketergantungan itu. Tapi, bagian lain menahan.

Karena Ivy masih rapuh. Karena Ivy masih belajar merasakan, mengakui.

Kalau dia menumpahkan semuanya sekarang, itu hanya akan membuat Ivy semakin merasa terikat, semakin takut, semakin menjauh.

Dan itu … hal terakhir yang ia inginkan.

Ia akan terus mendominasi, akan terus menjaga, akan terus melarang siapa pun menyebut kata cerai di hadapannya.

Sampai tiba waktunya Ivy sadar sendiri, bahwa tidak ada kebebasan dari Calix.

Boleh kita bicara? Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu.

Pesan itu telah terbuka sebelum ia menyentuh ponselnya sendiri. Alasan yang cukup jelas akan pengakuan Ivy yang merasa terancam.

Atau mungkin tidak. Maaf, Calix ....

Pesan baru kembali datang saat Beatrice menyadari pesannya telah terbaca, namun sayangnya pesan itu tetap terabaikan karena Calix tidak berniat membukanya, kecuali — urusan pekerjaan.

Alasan yang kejam untuk wanita yang pernah mengisi hatinya, untuk kisah mereka yang tidak akan pernah berlanjut, dan perasaan yang tidak mungkin untuk kembali. Semuanya telah berakhir — saat dirinya memutuskan menikahi wanita di dalam pelukannya.

Calix menghela napas panjang, menatap layar ponsel yang masih menyala. Pesan-pesan itu tidak ia balas, hanya ia baca sekilas. Ada rasa perih yang samar, bukan karena ia rindu, melainkan karena tahu, Beatrice masih belum sepenuhnya lepas.

Dulu, ia pernah mencintai wanita itu. Ia tahu Beatrice bukan sekadar singgah. Beatrice adalah wanita yang baik, lembut, dan benar-benar mencintainya. Tapi cinta itu berhenti di persimpangan ketika perjodohan diputuskan.

Dan di situlah perbedaan mereka.

Beatrice memilih mundur. Sementara Calix memilih jalan yang ditentukan keluarga. Jalan yang mempertemukannya dengan Ivy.

Kini, setiap pesan dari Beatrice hanyalah pengingat dari sesuatu yang tidak seharusnya lagi hidup. Hubungan mereka bukan sekadar usai, tapi sudah terkubur.

Ia tidak membenci Beatrice. Tidak juga meremehkannya. Ia hanya tahu, tidak ada lagi yang pantas untuk dipertahankan.

Rasa bersalah itu masih ada, karena ia sadar Beatrice terluka, dan mungkin selamanya akan membawa luka itu. Tapi Calix tidak bisa, tidak akan membiarkan masa lalu kembali menodai apa yang sudah ia genggam sekarang.

Apalagi setelah melihat air mata Ivy malam ini.

Tangannya mengepal di atas selimut. Ada sisi dirinya yang ingin menegaskan langsung pada Beatrice, tapi sisi lainnya menolak memberi ruang. Karena bagi Calix, sekadar membuka percakapan itu sama saja memberi Beatrice harapan.

Ia menoleh ke Ivy yang masih tertidur, wajahnya lembut di bawah temaram lampu. Hatinya menegang sekaligus hangat.

Tidak, tidak ada yang lebih penting dari ini.

Jika Beatrice dulu pernah ia cintai, maka Ivy sekarang adalah alasan ia bernapas.

-

-

-

-

Beatrice menatap layar ponselnya yang masih menyala. Pesan itu terbaca, tapi tidak berbalas. Sunyi, menusuk lebih keras daripada kata-kata penolakan.

Ia menutup wajah dengan telapak tangan, menahan isak yang sejak tadi mengganjal di dadanya. Sekuat apa pun ia mencoba tampak tegar di depan dunia, setiap kali menyentuh nama itu, Calix — hatinya runtuh.

Ingatan menyeruak tanpa izin. Sore-sore ketika mereka masih bisa tertawa bersama di cafe kecil dekat kampus. Malam-malam saat Calix mengantarnya pulang, dengan tatapan yang begitu hangat seakan dunia hanya milik mereka berdua.

Dan yang paling membekas — janji lirih Calix dulu.

“Aku akan selalu ada di sisimu.”

Janji yang buyar bukan karena mereka berhenti mencinta, melainkan karena dunia merampasnya. Perjodohan, keluarga, dan kuasa yang tidak bisa mereka lawan.

Beatrice mengusap air matanya, tapi semakin diusap, semakin deras mengalir.

Ia tidak membenci Ivy. Tidak juga menyalahkan Calix sepenuhnya. Hanya saja, luka kehilangan itu begitu dalam. Ia sudah mencoba berdamai, sudah mencoba membuka hati, tapi setiap kali sendiri, bayangan Calix selalu kembali.

Malam ini ia sadar — mungkin bukan Calix yang ia kejar, melainkan rasa dicintai dengan cara yang hanya Calix pernah berikan.

Dan itu, tidak pernah hilang.

Beatrice meraih bantal di sisinya, memeluknya erat, seolah bisa mengganti sosok pria yang kini tak lagi untuknya. Suaranya pecah, nyaris tak terdengar.

“Kenapa harus aku yang melepaskan, Calix? Kenapa bukan kau yang memperjuangkan kita waktu itu?”

Namun ia tahu jawabannya. Karena pada akhirnya, cinta mereka kalah oleh takdir.

Yang tersisa hanya dirinya — menangis sendiri, merindukan masa lalu yang tidak akan pernah kembali.

Dulu, saat kabar pernikahan Calix dan Ivy tersebar, ia berusaha menenangkan diri dengan satu keyakinan.

Itu hanya sandiwara. Sebuah formalitas.

Semua orang tahu, keluarga besar Theodore tidak segan mengatur hidup cucu laki-lakinya demi reputasi dan bisnis. Jadi Beatrice percaya, ikatan itu hanya kontrak sementara.

Ia menunggu dengan sabar. Meyakinkan diri bahwa cepat atau lambat, pernikahan itu akan berakhir. Dan ketika saat itu tiba, Calix akan kembali padanya.

Itulah harapan yang membuatnya masih bertahan, meski sakit.

Namun, semakin hari, kabar yang berembus justru berbeda. Foto-foto Ivy dan Calix yang terlihat harmonis, cerita kecil yang sampai ke telinganya, tentang Ivy yang kini ikut dalam lingkaran bisnis keluarga, tentang tawa-tawa kecil yang muncul di antara mereka. Semua itu menusuknya lebih dalam daripada sekadar penolakan.

Karena perlahan Beatrice sadar, kebersamaan itu melahirkan sesuatu yang nyata.

Cinta baru. Cinta yang lebih dalam dari yang pernah ia miliki bersama Calix.

Air matanya jatuh lagi, membasahi pipi. Tangannya meremas ujung bantal, seolah mencari pegangan di tengah badai.

“Bahkan setelah semua yang kita lalui, setelah semua janji itu — aku kalah dengan dia? Dengan wanita yang bahkan tidak pernah memilihmu dari awal?” Suaranya pecah, penuh getir.

Beatrice tahu ia bukan wanita jahat. Ia tidak berniat menjadi seperti itu. Ia tidak berniat menghancurkan rumah tangga orang lain. Tapi bagaimana mungkin ia tidak berharap jika dulu Calix pernah menggenggamnya dengan begitu erat? Jika dulu Calix pernah membuatnya yakin bahwa cinta mereka lebih kuat dari segalanya?

Namun kini, yang tersisa hanya satu kenyataan pahit. Calix bukan lagi miliknya dan mungkin … memang tidak pernah lagi akan jadi miliknya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Ternyata begitu😕...

...Menurut kalian gimana gaes untuk pov mereka? Kalo aku sih ikut sedih, ya....

...Seperti biasa, klo ada yg kurang bisa beri tahu aku😘...

1
Nani Naya
bahagia selalu buat ivy😍
Fera Susanti
lanjutkn ivy
akun tiktok ; @author wilris
klo aku kurus, nanti suamiku bakal gendong aku kek calix ga ya😔
Ray Aza
itu krn cinta neng.. 😄
Trituwani
dingin dingin nyegeriinn ya vy si abang cal nya /Smile/
Trituwani
saking cintanya tuh bang cal ma ivy.. tdk mmberi ruang ama kucing garong diluar buat godain ivy ye bang /Applaud//Joyful/
Trituwani
masih blm lega ka /Sneer/nah yg ketemu ivy ma anak kembar kemarin siapa?!! /Doubt//Doubt/masih kepo blm tuntas teka tekinya 😂😁
syemangat ka ros /Kiss/
lz_rm
jangan2 Alec suka ke ivy
akun tiktok ; @author wilris: anda terlalu jauh, silahkan kembali😔
total 1 replies
Fera Susanti
jd ivy anak siapa?
Era Simatupang
membayangkan ekspresi Ivi pasti lucu 🤣🤣🤣🤣🤣
Fera Susanti
aaah pinisirin
MeiGo95
othor suka main tebak²an nihh🙇🤔
Trituwani
wahh teka teki baru lagi nih ka rose...
apa itu ibunya ivy?! "/Blush/apa mungkin alec ma ivy lain ibu ataukah ataukah ataukah?!! /Smirk/
jd inget eve kannn yg bocah kembar kayak emy ma lily
lanjut ka... /Kiss//Kiss/
akun tiktok ; @author wilris
btw ada yang mau mampir di novel baruku? baru bab 1 nih
ig: arosee23: semangat ya kakk❤
total 1 replies
Trituwani
sejutu ka, gwen ma alec punya buku sendiri, disini aja tp ka... klo di kbm q g bisa /Grievance/
Diajeng Ayu
bagussss
akun tiktok ; @author wilris
ini aga kejam sih kak, tapi klo gwen keguguran karena kecerobohan alec dan dia minta cerai. beh.. cocok tuh dijadiin novel lain
safaana
good job Gwen,jika saatnya sudah tiba di mna Alec udah ada rasa cinta untukmu di situ lah kamu harus hilangkan cinta untuk Alec,,biar tau rasa
Trituwani
laki laki mah ihhh klo belum ditinggalin aja mereka g akan sadar klo dah cinta...sakitlah gwen mencintai sendiri... bertepok pok ame ame ini mah
semangat ka ros/Kiss/
@febi_11
setuju banget thor 👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!