Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibuang.
Aku terdiam sekejap, jantungku mendadak berdebar-debar, sesak rasanya mendengar cerita ibu tentang aku dan pernikahanku. Secepat itukah aku ditalak oleh suami yang waktu itu mengatakan tak bisa menceraikan aku, bibirku bisu seakan tak bisa mengatakan apa yang ingin aku katakan.
Jujur aku merasa terhina dengan sikap mas Reza, dimana aku tengah koma ia malah meninggalkan aku dan memilih menikah dengan selingkuhannya. Dadaku sakit bak ditusuk oleh duri beracun yang sakitnya menjalar ke seluruh tubuhku.
"Aku ingin ketemu mas Reza, bu." aku berusaha untuk bangun dan ibuku siaga membantuku.
"Jangan! Kamu baru bangun, pulihkan dulu sakitmu, nak. Diamlah dan tidur saja," bujuk ibuku.
Tapi, aku tak bisa. Aku ingin tahu, kenapa pikirannya berubah?
Hari itu ia begitu keukeuh untuk tidak menceraikan aku, kenapa sekarang ia pergi?
Aku menyibakkan selimut yang menghangatkan tubuhku dan berusaha menggerakkan kakiku untuk turun, tapi entah kenapa tak bisa?
Aku merasakan kakiku lemah, tak bisa kugerakkan sesukaku seperti biasanya. Ini terasa berat, padahal kulihat kakiku utuh dan masih normal.
"Bu, kaki aku kenapa?" tanyaku mulai merasakan kekhawatiran yang teramat sangat.
Kulihat ibuku mulai terisak melihat keadaanku yang sebenarnya, ia memejamkan matanya dan menangis membelakangiku.
Aku ingat terakhir kali raut wajah ibu, setelah berbicara dengan dokter tadi. Ada bahagia yang bercampur sedih.
Sekarang aku paham alasan suamiku pergi, aku terisak perlahan dan kucoba lagi mengangkat kakiku, aku tak bisa menerima semua ini. Aku harus pergi, aku harus bertemu suamiku, mas Reza.
"Harus!" Jeritku dalam hati.
"A-aku lumpuh, iya kan, Bu. Aku gak bisa jalan lagi, itukah alasan mas Reza menalak aku. Bener, kan. Bu," ucapku kian lirih.
Nyeri didalam hatiku belum sembuh, sekarang ditambah dengan luka dikakiku, sempurna sudah nasibku yang buruk ini. Aku ingin berteriak, tapi tenggorokanku rasanya kering.
Ibuku menatapku lagi, air matanya sudah menganak sungai membasahi pipinya.
"Kamu masih muda, dokter bilang kamu masih bisa berjalan seperti dulu. Kamu yang sabar, ya Nak," ucap ibuku, mendekatiku dan memelukku.
Aku tak kuat, aku gak bisa menjalani ujian ini. Ini terlalu berat bagiku, sungguh aku gak bisa. Namun ditengah pikiran itu, kata-kata ayahku tiba-tiba melintas dalam kepalaku.
"Nak, jangan pernah sedih. Ayah selalu didekatmu, jika kamu rindu ayah juga. Tapi, kamu harus melanjutkan hidupmu. Ingatlah, Nak. Tetaplah bersabar, ikhlaskan apa yang seharusnya pergi. Berdo'lah selalu jangan tinggalkan yang Maha Kuasa, agar hatimu selalu tenang," tutur Ayahku.
Sekarang aku mengerti, kenapa ayah bilang begitu?
Dia susah tahu akan nasibku, itulah kenapa ayah mengatakan kalimat yang begitu menenangkan. Ia sudah mengatakan apa yang harus ia katakan untuk menguatkan aku, menjalani hidup yang sudah tak sempurna ini.
......
Hatiku mulai tenang, walau belum reda rasa sedih dan sakitku aku berusaha untuk terlihat kuat dimata ibu. Ia pasti lelah menjagaku disini, selama sebulan lalu ia pasti merawatku dengan baik.
Hari ini diluar terlihat cerah, matahari seolah menari senang diatas langit tapi aku tak bisa ikut dalam pesta indahnya sang cahaya tersebut. Karena secerah apapun sang surya, tak bisa mengubah nasibku dalam sekejap.
"Kamu makan, ya. Kamu belum makan sejak bangun," bujuk ibuku, aku menjawabnya dengan gelengan.
Tak ada nafsu lagi untuk makan, duniaku sudah runtuh pikiranku masih melayang pada keputus asaan. Mendadak sebuah pertanyaan menggangguku, kenapa aku tak mati saja? Kenapa aku malah selamat dan mengalami kelumpuhan? Kenapa?
"Zea, inget kamu masih punya Arsya. Ibu juga masih sehat, kamu gak sendirian, nak," dengan lembut ibuku berucap.
"Tapi, aku lumpuh, bu. Aku gak bisa kerja, gak bisa ngapa-ngapain," sahutku pelan hampir tak bisa terdengar.
Namun suara pria, tiba-tiba menggebrak hatiku.
"Siapa bilang, kamu gak bisa ngapa-ngapain?" suara itu, suara Elang.
Aku melirik kearah pintu, begitu pun ibuku.
Benarlah, ada Elang yang berdiri diambang pintu, tangannya berpangku sembari melirikku dengan teduh.
"Kenapa dia tiba-tiba muncul, sih?" gerutuku.
"Hus! Elang yang bayarin biaya kamu selama dirawat di Rumah sakit. Dia juga jagain kamu setiap malam, ibu gak bisa nginep karena harus jagain adek-adek kamu dan juga Arsya, sopan dikit lah, Ze," comel ibuku melirikku dengan tajam.
Aku segera memalingkan wajahku, aku benci si Elang. Pria menyebalkan yang sok baik dan hatinya yang sedingin benua antartika.
"Sini, nak Elang. Masuk dan duduk dikursi, jangan berdiri terus," ucap ibuku mempersilahkan.
Elang masuk dan duduk di sopa yang tersedia diruangan ini, sebelumnya ia sudah memberikan bingkisan buah yang aneka jenis pada ibu. Tentu ibu senang, karena pria itu tak pernah datang dengan tangan kosong.
Juga ia putra dari sahabat ayah, wajar saja jika ia seenaknya dalam bersikap karena kami sudah terbiasa dekat sejak kecil.
"Tan, kalo Ze Ze gak mau makan biarin aja. Kalau sudah laper juga ia ambil dan makan sendiri," kata Elang sedari dulu.
Aku membulatkan mataku, lalu melirik si Elang yang selalu mengatakan itu ketika aku sedang mogok makan. Aku diam tak peduli, mengabaikannya lebih baik bagiku.
Berbeda dengan ibuku yang selalu menyambutnya dengan senyuman ramah, bak anaknya sendiri karena dulu memang Elang diasuh ibu kala orang tuanya pergi ke luar negri atau dinas.
"Iya nih, Lang. Tante gak bisa bujuk dia makan, mungkin kamu bisa bujuk zea biar makan dan cepet sembuh," ucap ibu.
"Itu gak masalah tante, tante istirahat saja, biar aku yang urus bayi manja ini," ujar Elang dengan seringai yang penuh kelicikan.
"Aku gak mau!" tolak ku, "ibu mau kemana? Kenapa malah nyuruh Elang, sih?"
"Ibu mau pulang sebentar, mau lihat Arsya dulu. Nanti ibu kesini lagi, lagi pula ada Elang yang lagi senggang," ucap ibuku yang langsung melengos pergi.
"Tante pulang saja, si manja biar aku yang bungkam," ujar Elang lagi.
Aku menganga, anak ini kalau jagain orang sakit gak pernah bener. Dulu aku pernah pingsan gegara diisengi orang ini, tapi anehnya aku malah jatuh cinta. Ternyata dulu aku begitu bodoh banget, ya.
Aku melirik pada ibuku berharap gak berduaan dengannya, namun ibuku sudah tak ada didalam ruangan ini. Kini aku benar-benar ingin mati.
Elang mengambil nampan yang berisi makanan, ia menyendokkan sayur sop dengan nasi putih, kemudian mendekatkannya padaku.
"Nih, mam dulu. Biar cepet sembuh, kata tante," ucapnya makin mendekatkan sendok yang berisi nasi itu.
"Aku gak mau," tolakku memalingkan muka.
"Ok, gak masalah." Elang menaruh nampan itu kembali ke nakas samping brangkarku.
"Gue cuma mau ingetin elo aja, pembayaran di Rumah sakit ini gak gratis. Semua harus elo ganti," ujar lelaki tersebut.
Aku memandangnya kembali, "Maksud kamu?"
"Gue belum pecat elo, jadi elo masih harus bekerja dikantor Gue. Ya ... Anggap saja semua yang elo lakukan itu untuk melunasi hutang elo sama gue." papar Elang dengan tak tahu malunya.
"Inget juga! Elo itu sudah dibuang oleh suami elo, tapi elo malah mau mati. Otak lo dari dulu emang bodoh," sindir Elang merendahkan aku.
Aku tak percaya, ia akan mengatakan kalimat seperti itu. Dia bilang apa, aku dibuang. Semudah itu ia merendahkan aku.
"Aku gak dibuang, aku cuma ... Cuma ...." aku membatu memikirkan kembali ucapannya, faktanya memang benar bahwa aku sudah dibuang.
dia diancam apa sehingga seorng Reza akhirnya menalak Zea disaat sedang koma??