Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Terungkap
Minggu terakhir magang kulewati dengan tenang. Tak ada lagi drama, tak ada lagi perdebatan. Aku mengambil satu langkah penting, yaitu menjauhi Mira. Diam-diam aku keluar dari grup persahabatan kami.
Tak butuh waktu lama hingga pesan dari Yumna, Salsa, bahkan Erina mulai masuk bergantian.
Sya, lo kenapa keluar grup? Ada masalah?
Lo marahan sama siapa, Sya?
Gue bingung, lo kenapa sih, Sya? Cerita dong, masa tiba-tiba gini?
Jawabanku selalu sama.
Gue gak bisa sahabatan sama Mira lagi. Jadi gue keluar grup.
Kenapa?
Masalah pribadi antara gue sama Mira. Cuma berdua, jadi kalian ga ada sangkut pautnya dengan hal ini. Gue juga gak ngelarang kalian tetap temenan sama dia. Gue cuma gak mau lagi berhubungan sama Mira. Gue harap kalian menghormati keputusan gue.
Aku memang bukan tipe yang suka menjelaskan. Bahkan pada sahabat sendiri, aku menyimpan terlalu banyak luka sendirian. Tapi kali ini, aku ingin lihat sejauh mana mereka membela Mira. Aku ingin tahu, siapa yang akan ikut memainkan peran dalam menjadikanku sosok wanita murahan seperti yang mereka tuduhkan.
Dua hari sebelum akhir pekan, Yumna menghubungiku.
...Yumna...
Sya, abis magang lo liburan ke mana?
^^^Gak tahu, Yum. Hari ini aja baru kelar magang. Belum mikir lah mau kemana.^^^
Minggu ke pantai yuk. Healing tipis-tipis.
^^^Sama siapa?^^^
Berenam aja kok. Gue, Raka, Salsa, Afiq. Lo ajak Nizan lah, biar ramai.
^^^Erina ga ikut?^^^
Dia ada acara keluarga katanya. Kita aja.
Aku diam sejenak. Mikir. Lalu mengetik,
^^^Boleh deh.^^^
...****************...
Hari Minggu itu, aku datang bersama Nizan. Aku sengaja datang terlambat agar mereka punya waktu menyiapkan skenarionya dengan rapi.
Sesampainya di cafe pinggir pantai, kami disambut oleh Raka, Yumna, Salsa, dan Khalif. Mereka duduk menghadap laut. Tapi yang langsung mencuri perhatianku adalah dua sosok lain yang berjalan di tepi pantai.
Mira dan Afiq.
Aku pura-pura terkejut. "Kok ada Mira?"
Yumna langsung menggenggam lenganku. Khalif mengambil alih menjelaskan.
"Gini, Sya. Sebenernya kami ngerencanain ini semua biar lo baikan sama Mira. Dia udah cerita semuanya kok."
Salsa memeluk lengan Khalif. "Rencanain apa, sayang?"
Raka mengernyit. "Iya, Lif. Rencanain apa? Kok gue gak tahu?"
Giliran Yumna yang bersuara. "Sya, kita udah sahabatan lama. Masa lo gak bisa melapangkan hati buat Mira? Lagian lo kan udah punya Nizan juga."
Aku memicingkan mata. "Maksud lo, Yum?"
Khalif menyahut, "Kami tau kok lo jauhin Mira karena dia deket sama Afiq. Makanya kami undang semua ke sini, biar bisa ngelurusin. Kita mau lihat aja, lo cemburu atau enggak liat Mira sama Afiq."
Aku menatap Mira dari kejauhan. Dia hanya berdiri, melirik kami dari jauh. Tak berani mendekat. Afiq tampak menahan diri, jelas ingin ikut tapi seperti dicegah.
Raka berseru bingung. "Ini sebenernya masalah apa sih?"
Salsa ikut menimpali. "Bukannya kita udah sepakat biarin aja Tisya keluar grup?"
Aku menatap mereka satu per satu.
"Gue gak peduli Mira mau sama siapa. Gue gak cemburu. Tapi gue juga gak mau temenan lagi sama dia."
"Oke, jadi bisa baikan dong sekarang?" tanya Yumna pelan.
"Ngga," jawabku datar. "Gue gamau."
"Sya, kita udah sahabatan dua tahun. Masa lo gak bisa singkirin ego lo buat persahabatan kita?"
"Ego gue?" aku menatap Yumna.
Tiba-tiba Nizan angkat bicara, suaranya pelan.
"Kamu gak perlu minta maaf ke Mira kok, Sya. Aku udah mewakilkan kamu kemarin."
Aku menoleh cepat. "Ngapain kamu minta maaf ke Mira? Emang aku salah apa?"
"Aku cuma gak pengen kamu kehilangan sahabat kayak Mira. Kamu kan sayang banget sama Mira."
"Dulu, iya. Sekarang? Ngga."
Aku menghembuskan napas. "Dan lo, Zan, bukan karena kita dekat terus lo bisa campur urusan gue semau lo."
Yumna coba menenangkan. "Sya, please, kita cuma mau bantu. Biar lo sama Mira gak salah faham. Kita cuma pengen tau, lo beneran gapapa lihat Mira sama Afiq?"
"Lo pikir semua ini demi gue?" aku mendesis. "Ini semua demi kepuasan kalian sendiri kan? Gue cuma gak mau temenan sama Mira lagi, tapi gue juga gak pernah larang kalian temenan sama dia. Tapi ngatur perasaan gue? Itu bukan hak kalian."
"Kami cuma gak mau kehilangan lo di circle ini," ucap Khalif pelan.
"Iya, Sya. Jangan emosian gini lah," tambah Yumna.
Aku berdiri. Mengangkat tasku. "Gue out."
"Sya!" seru mereka bersamaan.
Nizan mengejarku, menggenggam tanganku. Aku lepas dengan kasar.
"Gabung aja sama mereka, Zan. Kan mereka udah siapin semua, biar lo bisa nilai, gue nikung cowok Mira atau engga."
Salsa ikut berdiri, mencoba menahanku. "Sya, lo gapapa? Gue gak tau Yumna dan Khalif ngide aneh gini."
Aku menoleh. "Iya, Sa. Gue tau kok lo gak ikut campur. But I have to go. I'm sorry."
Nizan menahanku lagi.
"Sya, jangan kayak gini. Gue cuma pengen bantu."
"Lo nyusahin, tau gak? Beban. Gak ada hubungan, tapi lo bertindak seolah lo pacar gue. Lo gak punya hak itu Zan."
Nizan terdiam, kaget.
"Gue gini karena lo gak pernah cerita ke siapa pun. Lo bahkan gak kasih ruang buat gue atau sahabat lo tau isi hati lo."
Aku tertawa pendek. "Karena gak ada yang bisa dipercaya. Dan lo..." aku menatap matanya. "Lo kira gue gak tahu apa yang lo lakuin di belakang gue?"
Wajah Nizan memucat.
Tiba-tiba, genggaman tangan Nizan terlepas dari pergelangan tanganku. Seseorang menarikku menjauh, tubuhku hampir kehilangan keseimbangan karena gerakannya yang cepat dan tiba-tiba.
Nizan sontak tersentak. "Ngapain lo di sini?!" bentaknya lantang, sorot matanya berubah tajam. "Gak usah ikut campur, ini urusan gue sama Tisya!"
Laki-laki itu berdiri tegak di hadapan Nizan, tak bergeming. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya, tapi tatapannya tajam dan tenang sehingga membuat Nizan makin panas.
Tanpa peringatan, Nizan melayangkan dorongan. Tubuh lelaki itu mundur sedikit, tapi dia tidak membalas. Hanya menatap, tetap diam. Namun, saat Nizan kembali maju dengan emosi membuncah, tangan si lelaki itu cepat menahan dada Nizan, mendorongnya dengan lebih kuat kali ini.
Tubuh Nizan oleng ke belakang. Semua orang di cafe kini menoleh, kaget. Raka dan Khalif bangkit dari kursi. Yumna berdiri sambil menahan napas. Mira, di kejauhan, terlihat panik namun tetap berdiri kaku.
"Gue bilang, jangan ikut campur!" seru Nizan lagi, semakin mendekat, kali ini tinjunya hampir terangkat.
Tapi sebelum pukulan itu terlepas, si lelaki menangkap pergelangan tangannya, memutar sedikit lalu mendorongnya menjauh. Bukan gerakan membalas dengan kekerasan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia bisa dan akan melawan jika perlu.
Aku ikut membeku. Dadaku berdetak tak karuan.
Bahkan tanpa ia menyebut nama, aku tahu siapa dia.