Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Pagi itu, cahaya matahari mulai menembus tirai jendela rumah sakit. Suasana masih terasa sepi. Di ruang ICU, Tere perlahan membuka mata. Kepalanya terasa sedikit pegal karena semalaman ia tertidur di sisi ranjang Arga. Tangan mereka masih saling menggenggam, seolah Tere tak ingin melepaskan.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Mama Linda dan Papa Adrian masuk dengan wajah cemas tapi penuh sayang. Mereka membawa kotak makanan dan segelas susu hangat.
"Tere, ayo makan dulu, Nak. Kamu harus kuat supaya bisa terus jaga Arga," ucap Mama Linda dengan lembut.
Tere menggeleng pelan. "Nantilah Ma... Tere belum lapar. Tere cuma mau Arga cepat sadar," bisiknya pelan, matanya tetap menatap wajah Arga yang pucat tak berdaya.
Papa Adrian menepuk pelan bahunya. "Kamu juga harus jaga kesehatanmu, Tere. Jangan sampai sakit."
Sementara itu, Jaka dan Vina yang sejak tadi menunggu akhirnya berpamitan. Jaka mendekat, menatap Tere dengan wajah prihatin.
"Mba Tere, aku pamit dulu ya. Aku harus ke kafe. Nanti aku balik lagi ke sini lihat Arga."
Vina juga tersenyum tipis. "Aku ke kantor dulu ya. Semua pekerjaan numpuk. Kamu fokus jaga Arga aja."
Tere mengangguk pelan. "Makasih ya... kalian baik banget..."
Jaka dan Vina pun pergi, meninggalkan Tere bersama kedua orang tuanya. Tere kembali menatap Arga, hatinya terus berdoa agar Arga segera membuka mata dan kembali padanya.
3 hari sudah berlalu sejak Arga terbaring koma di rumah sakit. Selama itu pula, Tere setia mendampinginya setiap hari. Namun, setelah melihat kondisi Arga mulai membaik, dokter pun meyakinkan keluarga bahwa masa kritis telah lewat. Meski masih koma, Arga terkadang menggeliat pelan dan sesekali terdengar menggigau, memanggil nama istrinya dengan suara lemah.
Tere yang mendengar itu setiap kali hatinya teriris. Ada perasaan haru yang sulit dijelaskan. Namun, karena tanggung jawab di kantor, Tere akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja. Setiap pagi sebelum berangkat, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Arga, mengelus tangannya, dan membisikkan kata-kata semangat. Dan setiap sore sepulang kantor, Tere langsung ke rumah sakit, menemani hingga sampai pagi.
Hari-hari Tere terasa semakin berat, tapi di dalam hatinya, ia hanya berharap satu hal: agar Arga segera membuka mata dan menyebut namanya dalam keadaan sadar, bukan hanya dalam igauan
Sore itu Tere baru saja pulang dari kantor. Wajahnya terlihat lelah, namun pikirannya tak pernah lepas dari Arga yang masih terbaring koma di rumah sakit. Dia memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah, membersihkan diri, lalu segera kembali ke rumah sakit. Hatinya terasa sedikit lebih tenang setiap berada di sisi Arga, pria yang kini semakin sering hadir dalam lamunannya.
Setelah selesai bersih-bersih dan mengganti pakaian, Tere bergegas keluar. Namun sebelum menuju rumah sakit, dia teringat pada Jaka yang selalu setia menemani dan membantunya menjaga Arga. Tere ingin membelikan beberapa makanan untuk mereka makan bersama di ruang tunggu rumah sakit.
Dia pun berhenti di sebuah restoran langganannya. Saat menunggu pesanan dibungkus, matanya tanpa sengaja menangkap pemandangan yang membuat tubuhnya seolah membeku. Di sudut restoran, di balik sekat kaca, terlihat Rio… sedang bersama seorang wanita. Bukan sekadar bersama, Rio terlihat menggenggam tangan wanita itu, bahkan sesekali membelai pipinya dengan penuh kemesraan.
Jantung Tere berdegup tak karuan. Dadanya sesak, sulit bernapas. Pesanannya selesai, namun langkahnya terasa berat. Rio dan wanita itu berdiri, lalu keluar restoran. Dengan hati yang berkecamuk, Tere membuntuti mereka dari kejauhan.
Mobil Rio berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Tere mengenali tempat itu. Apartemen milik Rio. Dengan jelas dia melihat bagaimana Rio turun dari mobil, merangkul wanita itu mesra, lalu masuk ke dalam gedung. Tubuh Tere bergetar, namun dia tak menyerah. Dia memarkirkan mobilnya, lalu mengikuti mereka.
Langkahnya terhenti di depan pintu apartemen Rio. Telinganya menangkap suara desahan dan erangan lembut dari balik pintu. Tubuhnya lemas, matanya mulai berkaca-kaca. Sakit… sangat sakit. Rasanya bagai disayat pisau tajam.
Tanpa pikir panjang, Tere memasukkan pin yang dulu pernah Rio beri tahu padanya. Pintu terbuka. Seketika matanya membelalak, tubuhnya gemetar hebat. Di hadapannya, Rio sedang bercumbu panas dengan wanita itu, tak menyadari kehadirannya.
“Rio…” suara Tere parau, hampir tak terdengar.
Rio menoleh. Wajahnya pucat seketika. Dia terperangah, buru-buru menjauh dari wanita itu. “Tere! Ini… ini nggak seperti yang kamu lihat!”
Tapi Tere tak ingin mendengar apa-apa lagi. Air matanya mengalir deras. Dengan langkah cepat dia berbalik pergi, berlari meninggalkan apartemen itu. Hatinya remuk, kecewa, hancur tak bersisa.
“Ter… tunggu, Tere!” Rio bergegas mengenakan pakaiannya, hendak mengejar. Namun Tere sudah melaju pergi, membawa luka yang teramat dalam.
Tere menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipinya. Dengan perasaan hancur, ia memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hatinya sesak, kecewa bercampur marah, tapi yang paling kuat kini hanya satu: dia ingin segera melihat Arga. Sosok yang selama ini diam-diam begitu tulus di sisinya.
Sesampainya di rumah sakit, Tere buru-buru turun dari mobil sambil membawa makanan. Langkahnya terburu-buru, nyaris berlari menuju ruang tunggu tempat keluarganya menanti. Di sana sudah ada Papa Adrian, Mama Linda, Jaka, dan Vina. Mereka semua menoleh kaget melihat Tere datang dengan wajah sembab.
“Tere, kenapa, Nak?” tanya Mama Linda penuh khawatir sambil membuka kedua tangannya.
Tere tanpa ragu langsung memeluk ibunya erat. Tangisnya pecah seketika di pelukan hangat itu. Bahunya bergetar menahan sesak yang tak mampu lagi ia bendung.
“Mama… Tere lihat sendiri, Ma… Rio… Rio sama perempuan lain… di apartemennya… mereka…” Tere tak sanggup melanjutkan. Air matanya jatuh semakin deras.
Mama Linda mengusap punggung anaknya dengan lembut. “Sudah, Nak… sudah… biar semua Tuhan yang atur. Kamu kuat, ya…”
Papa Adrian melangkah mendekat. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam penuh arti. “Papa sudah lama tahu, Tere. Papa punya orang yang selalu memantau Rio. Papa nggak mau bilang dulu ke kamu, biar kamu lihat sendiri siapa dia sebenarnya. Supaya kamu nggak lagi hidup dalam harapan kosong, Nak.”
Tere terdiam. Matanya berkaca-kaca menatap ayahnya. “Papa… kenapa Papa nggak kasih tahu dari dulu…”
Papa Adrian tersenyum tipis. “Kalau Papa kasih tahu, kamu nggak akan percaya, Tere. Kamu harus lihat sendiri, biar hatimu yakin.”
Di sampingnya, Vina menghela napas pelan, lalu mendekat. “Tere… aku juga sering lihat Rio bawa perempuan lain waktu aku pulang kerja atau lagi makan. Aku nggak berani cerita. Aku takut kamu sakit hati… aku cuma pengen kamu nggak terluka lagi…”
Sekali lagi Tere diam. Ada sedikit perih di hatinya karena selama ini orang-orang yang menyayanginya menyimpan kenyataan itu. Tapi di balik semua itu, kini dia merasa lega. Semua sudah terbuka. Dan yang paling penting, dia akhirnya sadar… ada satu sosok yang selama ini tulus menemaninya, meski tak pernah ia hargai seutuhnya.
Tere menghela napas dalam. Matanya menatap pintu kamar Arga. “Arga… dia satu-satunya yang benar-benar sayang sama aku… tanpa aku minta…”
Jaka menghampiri tere. “Arga itu tulus banget, mba Tere. Dari awal dia ke kota ini bukan cuma buat kerja… tapi buat buktiin kalau dia layak ada di samping kamu. Dia cinta sama kamu, mba Tere. Dari dulu.”
Air mata Tere kembali jatuh, tapi kali ini bukan karena Rio. Melainkan karena Arga… lelaki yang kini terbaring lemah, yang diam-diam sudah jadi separuh hatinya.