Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Enam tahun lalu....
Saat itu Clarissa tengah berduka atas kepergian Ayah nya dan kehidupan mulai berubah drastis.
Di sisi lain Benjamin, sudah selesai kuliah dan sampai di rumah keluarga Hilton turun temurun. Ia memarkirkan motor sport miliknya, membuka helm dengan santai.
Suara ponsel di saku berdering, Ben langsung mengangkat panggilan telepon itu. ''Woy kau di mana?'' Suara keras dari balik ponsel terdengar beriringan dengan suara motor yang melaju kencang.
''Ada apa Ricard? Kau ikut balapan?'' Benjamin sudah menduga dari bicara temannya yang kencang itu, dia pasti sedang berada di arena balapan yang biasanya mereka dan grup balapan lain pakai.
''Kau gila! Mana mungkin aku ikut, belum mulai saja aku sudah merasa akan kalah. Aku ingin mengundang mu kemari, kau saja yang ikut. Kau tahu hadiah nya berapa? 300 juta! Fantastis bukan? Walau aku orang kaya tapi langsung tergoda dengan hadiah ini. Tapi aku mundur saat tahu lawannya adalah William. Kau tahu kan William? Si pembalap yang selalu juara di arena!'' Ricard berteriak di telepon, ia begitu girang dengan hadiah dari pertandingan ini namun tak punya bakat maupun nyali dalam bidang ini.
"Nanti kalau kau menang aku minta sedikit, aku tahu kau berhati mulia dan selalu berbagi pada temannya. Jadi kau ikut?" Dia kembali bertanya dengan antusias namun Ben berdecak kesal. Ia sedang kesal karena baru saja pulang dari kuliah yang sangat melelahkan. Ia benci bisnis tapi Ayah nya ingin dirinya mempelajarinya untuk mempersiapkan diri menjadi pemilik perusahaan keluarga nantinya.
"Aku tidak ikut, aku malas. Kalau kau sangat menginginkan uang itu sewa saja pembalap yang ada, bilang kau akan membayar nya seratus juta dan jangan bilang hadiah aslinya. Kau tetap untung kan? Sudah dulu aku ingin beristirahat." Benjamin menurunkan ponsel dari telinganya.
"Tunggu Ben kau yakin in-" Suara Ricard tak terdengar lagi, Benjamin sudah mematikan panggilan telepon itu.
Ia melangkah maju perlahan ke rumah putih yang besar nan mewah itu, satu tangannya menggenggam erat helm yang tadi ia pakai. Helm ini adalah salah satu barang kesukaannya, ia sering menyimpannya di kamar maupun di dalam rumah.
Saat membuka pintu suara teriakan perempuan terdengar begitu keras, Ben tahu sumber suara itu adalah Ibunya.
Plak
Suara tamparan keras di pipi Morgan terdengar sangat jelas namun dia tak juga mengeluarkan suara maupun ekspresi.
"Kau benar-benar membuat dirimu muak, sangat muak. Sedari dulu yang bisa kau andalkan hanyalah keahlian mu di ranjang bersama para investor investor itu, kau bodoh. Pantas saja keluargamu tak mau kau menjadi pemimpin perusahaan, kau pikir dengan cara itu semua masalah perusahaan akan teratasi? Kau punya otak kan! Gunakan otak mu itu. Sudah ke sebelas kalinya dalam satu tahun kau begini, aku sungguh jijik berdekatan dengan mu." Anna bersuara dengan lantang mengejek sekaligus menghina suaminya yang tak pandai dalam bisnis. Ia merasa sakit hati melihat ada bekas lipstik dan wangi parfum wanita lain di kemeja milik suaminya.
Ia berusaha tetap sabar dan menahan semua ini, tetapi sekarang tak bisa lagi. Walaupun yang Morgan lakukan tidak pernah berdasarkan perasaan tetapi ia punya hati, ia bisa merasa sakit hati, kecewa dan murka.
"Mengapa kau diam? Jawab, apa yang akan kau lakukan sekarang? Berjanji tidak akan melakukan ini lagi seperti yang dulu kau katakan itu!"
Morgan menarik nafas panjang. "Anna apa yang kau inginkan? Akan ku kabulkan apapun asal kau tidak akan pernah marah-marah tidak jelas seperti ini lagi, kau tahu aku bodoh seperti yang kau katakan itu makanya aku begini. Kalau perusahaan bangkrut kau tidak akan bisa menikmati kemewahan ini lagi! Kau mau hidup di jalanan, hah? Seperti layaknya hewan? Aku tahu kau tak bisa hidup tanpa uang, aku melakukan ini juga untuk mu." Morgan menatap tajam istrinya namun dari ekspresi wajahnya tak terlihat rasa bersalah sekalipun.
Benjamin duduk di kursi meja makan, tak jauh dari tempat orang tuanya bertengkar. Ia tak mau mendengar perdebatan suami-istri ini namun ia juga takut terjadi sesuatu yang di luar batas dalam pertengkaran ini.
Anna menghempaskan nafas panjang, ia menatap suaminya dengan mata penuh amarah. Suaminya masih belum mengetahui apa yang sebenarnya ia inginkan. Memang benar semua yang ada di dunia tidak ada yang gratis tetapi bila hidup dengan nya harus seperti ini, lebih baik Anna menyerah dan hidup sebagai orang biasa-biasa saja.
"Baiklah kalau begitu aku ingin cerai, bercerai. Kau bilang akan mengabulkan apapun yang ku mau kan? Ayo kita bercerai Morgan!" Anna bernafas lega setelah mengatakannya, selama ini ia hanya bertahan dalam pernikahan ini karena anak dan juga berpikir suaminya akan berubah namun sekarang ia tak bisa lagi bersabar. Ia capek melihat suaminya bermesraan dengan orang lain sementara dirinya hanya bisa bersabar menerima itu semua.
"Kau gila Anna! Bagaimana dengan putra kita? Kau ingin dia kehilangan orang tua nya?" Lagi dan lagi Morgan selalu membawa putranya dalam pertengkaran apapun.
Anna maupun Morgan sudah mengetahui keberadaan Benjamin. Anna melirik ke arah putranya dan bertanya, "sayang apa kamu keberatan dengan keputusan Ibu?"
Benjamin berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tidak, terserah Ibu saja kalau mau bercerai. Aku sudah besar, sudah dua puluh dua tahun. Aku akan menerima perceraian kalian."
"Baiklah kalau memang itu mau mu, kita bercerai. Aku tidak akan menerima mu di sisi ku lagi, kemas barang-barang mu sekarang dan keluar dari rumah ku. Akan ku kirim dokumen perceraian nya besok." Morgan mengatakan itu setelah perkataan putranya terdengar. Ia tak mau mengalah dengan pernikahan ini tetapi semua usaha yang ia lakukan tak ada gunanya. Istrinya hanya ingin bercerai.
Anna tak menjawab Morgan, ia langsung menaiki tangga menuju kamar keduanya. Hendak mengemasi barang-barang miliknya.
"Ayah puas? Ibu akan pergi untuk selama-lamanya dari sisi Ayah dan Ayah tetap tak merasa bersalah? Mau ku beri saran? Lebih baik beri saja perusahaan itu ke keluarga kita yang lain atau Ayah sewa orang untuk mengurusi nya. Itu lebih baik di banding dengan hanya mengandalkan tubuh mu. Ayah memang tidak cocok memimpin perusahaan." Benjamin pergi dari ruangan, ia muak melihat Ayahnya sendiri. Selalu saja arogan tetapi tak punya kemampuan apapun, bukannya belajar dari kesalahan yang dulu tetapi malah mengulanginya lagi.
"Bilang pada Ibu nanti, aku pergi keluar." Benjamin menitip pesan pada Bi Maria, pekerja di rumah itu. "Baik Tuan."
To be continue....