Demi biaya pengobatan sang ibu membuat seorang gadis bernama Eliana Bowie mengambil jalan nekad menjadi wanita bayaran yang mengharuskan dirinya melahirkan pewaris untuk seorang pria yang berkuasa.
Morgan Barnes, seorang mafia kejam di Prancis, tidak pernah menginginkan pernikahan namun dia menginginkan seorang pewaris sehingga dia mencari seorang gadis yang masih suci untuk melahirkan anaknya.
Tanpa pikir panjang Eliana menyetujui tawaran yang dia dapat, setiap malam dia harus melayani seorang pria yang tidak boleh dia tahu nama dan juga rupanya sampai akhirnya dia mengandung dua anak kembar namun siapa yang menduga, setelah dia melahirkan, kedua bayinya hilang dan Eliana ditinggal sendirian di rumah sakit dengan selembar cek. Kematian ibunya membuat Eliana pergi untuk menepati janjinya pada sang ibu lalu kembali lagi setelah tiga tahun untuk mencari anak kembar yang dia lahirkan. Apakah Eliana akan menemukan kedua anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Kita Tidak Memiliki Mommy?
Edwin dan Elvin duduk tenang di dalam mobil karena saat itu mereka sedang di perjalanan menuju sekolah. Mereka duduk diam karena sedang mendengarkan ceramah ayah mereka namun ketenangan mereka tidak lama karena tangan nakal Elvin mulai menepuk kaki kakaknya. Dia yang paling cengeng tapi dia yang paling iseng.
"Jangan pukul!" Edwin mulai membalas.
"Aku tidak memukul!" Elvin kembali memukul.
"Aku bilang jangan pukul!" Edwin pun kembali memukul.
"Aku tidak!" teriak Elvin.
Edwin dan Elvin mulai saling memukulkan kedua tangan mereka. Mereka pun saling menuduh seperti yang mereka lakukan tadi. Morgan benar-benar kehabisan kata-kata, dia belum selesai berbicara tapi kedua putranya sudah adu argumen bahkan mereka belum berhenti saling memukul.
"Boys, Daddy belum selesai berbicara tapi kenapa kalian sudah saling memukul?"
"Elvin yang mulai duluan, Dad," ucap Edwin.
"Aku tidak melakukan apa pun," si cengeng memasang wajah sedih agar ayahnya membela dirinya.
"Oke, stop! Daddy tidak mau mendengar adu argumen seperti ini. Daddy hanya ingin kalian menjadi anak baik tanpa membuat keributan di sekolah. Apa kalian paham?"
Edwin dan Elvin mengangguk, mereka kemudian saling menyenggol tapi lagi-lagi mereka tidak terima sehingga mereka mulai saling menyenggol.
"Astaga!" Morgan menghembuskan napas berat, apa mereka tidak bisa berdamai?
"Dad, apa kau akan menjemput kami nanti?" tanya Edwin.
"Daddy sibuk," jawab ayahnya.
"Jika Daddy tidak menjemput maka aku akan menangis," ancam putra bungsunya.
"Tidak perlu mengancam Daddy!"
Elvin mulai memperlihatkan wajah sedihnya, dia akan menangis dengan keras jika ayahnya tidak mau menjemput mereka pulang sekolah.
"Oke, tidak perlu menangis!" dia benar-benar kalah oleh anaknya sendiri.
Edwin dan Elvin saling mengadukan telapak tangan, tawa mereka juga terdengar. Mereka kembali akur dan bermain bersama, setidaknya suasana kembali damai. Sekolah mereka sudah terlihat, kini kedamaian itu sirna diganti dengan suara teriakan mereka.
"Sekolah... Sekolah... Sekolah!" Edwin dan Elvin mengucapkannya secara bersamaan.
Kepala Morgan terasa sakit, dia seperti di demo oleh anak sendiri. Edwin dan Elvin masih juga berteriak, mereka bahkan melompat-lompat dalam posisi masih duduk. Mobil jadi berguncang, Morgan hanya bisa menghela napas beratnya.
"Sudah sampai, kita sudah sampai!" teriak si kembar.
Tas diambil dan dikenakan, kini mereka berdiri dan meminta sang supir untuk menghentikan mobil karena mereka sudah tidak sabar untuk turun.
"Boys, dengar!" Morgan menepuk kedua tangannya untuk menarik simpati kedua putranya.
Edwin dan Elvin berbalik, menghadap ke arah ayah mereka. Morgan memegangi tangan kedua putranya, berharap mereka tidak membuat keributan di sekolah apalagi ini hari pertama mereka bersekolah.
"Berjanjilah pada Daddy untuk tidak nakal nantinya. Jangan membuat masalah sehingga Daddy harus dipanggil oleh guru kalian. Kalian paham?"
"Paham, Dad," jawab mereka berdua.
"Bagus!" Morgan harap kedua putranya benar-benar paham.
Morgan turun dari mobil, disusul kedua putranya beserta dua babysitter yang akan menjaga mereka.
"Ingat pesan Daddy," ucap Morgan.
"Baik, Dad," jawab si kembar secara bersamaan.
Morgan memeluk kedua putranya sebelum melepaskan mereka. Edwin dan Elvin melambai dan setelah itu mereka melangkah menuju gerbang sekolah dan terlihat senang namun keceriaan mereka sirna ketika melihat anak-anak seusia mereka diantar oleh ibu mereka.
Edwin dan Elvin menunduk dan terlihat sedih, selama ini mereka tidak punya ibu. Mereka sudah bertanya tapi ayah mereka tidak pernah mau menjawab. Jika menjawab pun ayah mereka selalu berkata jika mereka tidak memiliki ibu. Oleh sebab itu mereka terlihat sedih apalagi semua yang baru bersekolah di sana diantar oleh ibu mereka.
Langkah Edwin dan Elvin terhenti ketika melihat seorang gadis dipeluk dan dicium oleh ibunya. Mereka menatap gadis itu dengan tatapan iri lalu mereka kembali melangkah dan terlihat semakin sedih.
"Kakak, kenapa kita tidak memiliki Mommy?" pertanyaan itu dilontarkan oleh Elvin.
"Aku tidak tahu, kita akan bertanya pada Daddy lagi setelah pulang," jawab kakaknya.
"Tapi Daddy selalu berkata kita tidak memiliki Mommy, apa kita benar-benar tidak memiliki Mommy?"
"Kalian pasti memiliki Mommy karena setiap anak memiliki seorang ibu," ucap salah satu babysitter mereka.
"Benarkah?" Edwin dan Elvin berpaling, melihat ke arah babysitter mereka.
"Tentu saja, aku tidak mungkin berbohong. Kalian juga memiliki seorang ibu seperti mereka."
"Kau dengar itu, Kak. Kita punya Mommy," teriak Elvin.
"Benar, Daddy pasti berbohong pada kita," ucap Edwin pula.
"Setelah pulang kita harus mencari tahu!" mereka kembali melangkah sambil berpegangan tangan dan terlihat ceria.
Babysitter mereka berkata mereka memiliki ibu, jika ayah mereka tidak mau memberi tahu maka mereka akan mencari sendiri ibu mereka dan mereka yakin mereka pasti akan menemukan keberadaan ibu yang sangat mereka rindukan.
.
.
.
Sementara itu , di sisi dermaga yang ada di Australia. Ibu yang mereka rindukan sedang berdiri di sisi dermaga tersebut. Bukan untuk berlibur, tapi Eliana berada di sana untuk berbicara dengan ibunya di mana abu ibunya dia arungkan di sekitar dermaga itu.
Tatapan mata Eliana tertuju pada air yang tenang. Tiga tahun, sudah tiga tahun dia berada di Australia. Selama tiga tahun itu pula dia berusaha merelakan kepergian ibunya dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali.
Dia sengaja menunggu tiga tahun dan tidak langsung kembali setelah menepati sumpahnya pada ibunya karena bukanlah hal mudah mencari bayi yang tidak pernah dia lihat rupanya. Dia juga tahu Ray tidak mungkin membiarkan dirinya dapat menemukan kedua bayinya dengan mudah oleh sebab itu dia menunggu, menunggu kedua bayi yang dia lahirkan sedikit dewasa dengan demikian akan lebih mempermudah dirinya menemukan mereka.
Setelah tiga tahun tinggal di Australia, akhirnya Eliana memutuskan untuk kembali. Dia juga memilih tidak langsung kembali karena dia tahu, untuk orang yang tidak memiliki apa pun seperti dirinya tidak akan bisa melawan Tuan Muda yang berkuasa untuk merebut kedua anaknya. Selama tiga tahun itu pula, Eliana membuka usaha kecil dari uang terakhir yang dia dapat tapi sekarang, dia harus meninggalkan usaha itu untuk sementara waktu.
"Aku harus pergi, Mom," ucap Eliana, tatapan mata masih tidak lepas dari air laut yang tenang.
"Aku harus mencari kedua bayi yang telah diambil dariku tapi aku akan kembali lagi setelah aku menemukan mereka. Aku akan membawa mereka ke kota ini, aku tidak akan tinggal di sana lagi," Eliana tersenyum, namun kesedihan tersirat dari raut wajahnya.
"Aku selalu meminta maaf padamu, Mom. Maafkan aku yang telah menipu dirimu. Waktu itu aku tidak punya pilihan, sungguh. Aku terpaksa melakukannya untuk dirimu jadi aku harap kau memaafkan aku walau aku tahu kau pasti kecewa," air mata menetas, rasa sakit yang dia rasakan waktu itu kembali teringat.
"Tapi sekarang, aku akan memperjuangkan apa yang seharusnya aku miliki. Aku akan mencari mereka dan membawa mereka. Aku berjanji padamu, aku akan memperbaiki kesalahan yang telah aku lakukan," dia pasti dapat menemukan keberadaan kedua putranya dan membawa mereka pergi dari tangan si Tuan Muda yang telah membayarnya dulu.
Dia harap dia bisa bertemu dengan Ray atau Grace sehingga dia bisa bertemu dengan kedua putranya tapi sayangnya, Ray sudah meninggal dan Grace sudah pindah ke kota lain.
Setelah berbicara dengan ibunya, Eliana meninggalkan dermaga itu sambil menarik sebuah koper karena hari ini juga dia akan kembali ke Perancis, untuk mencari keberadaan kedua putranya.