Viviana tidak menyangka jika hubungannya dengan Johan akan terhalang dengan perjodohan. Ia harus menikah dengan Raffi, putra tunggal rekan bisnis Ayah angkatnya.
Johan yang mengetahui perjodohan itu kemudian terpaksa melepaskan Vivi.
Pahit yang Vivi rasakan saat Ayahnya jatuh sakit dan meminta dirinya untuk segera menikah. Mereka terpaksa menikah di rumah sakit karena kondisi Ayah yang kritis.
Malangnya Ayah meninggal dunia. Pernikahan Vivi pun di ambang kehancuran karena Vivi begitu terpukul dan mengabaikan Raffi sebagai suaminya.
Bagaimana nasib pernikahan Vivi dan Raffi selanjutnya?
Selamat membaca! Jangan lupa like dan komennya ya?
Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sity Qhomariah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan dan Tunangannya
“Lo gak ke kampus, Vi? Udah satu minggu lebih lo gak ngurusin skripsi lo.” Kata Angga ketika berada dirumah Vivi.
“Males.”
“Kapan lo lulus kalo lo aja males ngerjainnya, kalo kesulitan minta bantu sama suami lo, lo kan punya suami.”
“Gue gak punya suami.”
“VIVI. Jaga ucapan lo. Gak baik ngomong kayak gitu bagi orang yang sudah menikah.”
“Gue gak pernah menikah.”
“Vi, lo mau ngecewain Papa?”
“Gue gak ngecewain Papa.”
“Papa tau lo nikah, semua orang tau lo nikah, Papa juga berharap lo nikah, tapi sekarang lo malah gak anggap semua itu terjadi, lo bener-bener buat Papa kecewa, Vi.”
“Lo kok malah belain Raffi. Lo kakak gue bukan, sih.”
“Vi, gue nasehatin lo kaya gini karena lo adek gue.”
“Udah, sayang. Jangan diterusin lagi. Mungkin Vivi memang butuh waktu untuk menerima keadaan.” Yuni berusaha menenangkan suaminya. Vivi kesal, ia bergegas masuk kedalam kamarnya dengan membanting pintu.
“Hufft, aku harus bagaimana sama Vivi?” Angga menghela nafas panjang. Ia kehabisan akal. Namun Yuni dengan sabar menenangkan dirinya. Menyemangati dan meyakinkannya.
Sudah satu minggu lebih Vivi selalu mengurung diri di kamar. Ia bahkan melupakan skripsi dan suaminya. Ia benar-benar patah semangat semenjak kepergian Papa yang mendadak. Semua orang kecewa atas tindakan Vivi. Mungkin bagi dirinya itu merupakan hal yang benar.
“Ini, Non. Teh hangat yang Non minta.” Bi Ijah meletakkan secangkir teh hangat di atas meja dekat ranjangnya. Ia melirik ke arah Vivi yang tengah asik membaca novel di atas ranjang. Bi Ijah memberanikan diri untuk bertanya.
“Non, sudah hampir dua minggu suami Non Vivi tidak pulang ke rumah, Non tidak mencarinya?” Mendengar kata-kata itu Vivi menatap Bi Ijah dengan wajah sinis.
“Suami, suami, suami, kenapa semua orang sibuk ngomongin suami? Aku gak punya suami!”
“Astagfirullah, Non. Dosa.”
“Mending Bibi keluar!!” bentaknya. Bi Ijah gemetar. Ia segera keluar dari kamar itu. Vivi menghela nafas panjang. Ia sangat kesal dengan semua orang yang terlalu sibuk dengan urusannya. Ia kembali ingin melanjutkan membaca novel. Namun novelnya terjatuh dan terselip di antara kaki meja dengan kaki ranjang. Ia berusaha menggapai-gapai novel tersebut. Dengan bersusah payah tangannya menyelip ke celah-celah kaki meja itu. Setelah dirasa menyentuh novel, ia segera menarik tangannya. Namun ada sesuatu yang membuatnya tersangkut. Ia menarik paksa tangannya membuat benda tersebut menggores kayu tersebut. Di perhatikannya benda yang menempel di jari-jarinya. Bayang-bayang memori mulai terlihat satu persatu di dalam ingatannya. Tentang seorang laki-laki, tentang rumah sakit, tentang Papa, tentang pernikahan, dan lain-lain. Ia menekan kuat kepalanya, ia merasakan kepalanya berdenyut.
“Aaarghhh! Kenapa gue jadi inget hal-hal kayak gini!” ia terus memegangi kepalanya sambil meringis kesakitan. Mendadak ia teringat pesan Papa. “Vivi, Papa ingin kamu menikah dengan Raffi,” berulang kali kata-kata itu terngiang ditelinganya. Senyuman haru Papa saat semua orang berkata sah di rumah sakit itu muncul dalam bayangan Vivi. Ia mulai menitikkan air mata.
“Papa,” ia merintih.
“Aku harus bagaimana, Papa,” rintihnya dalam tangis. Cincin itu membebaninya, ia kemudian melepaskan cincin itu dan menyimpannya dalam lemari.
Keesokan harinya, Vivi keluar dari kamar dengan pakaian yang rapi dan wangi serta membawa tas yang biasa ia bawa untuk kuliah.
“Wah, Non rapi sekali. Mau pergi kemana, Non?” sapa Bi Ijah.
“Mau ke kampus, Bi.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Nah, begitu dong, Non. Bibi mendukung.”
“Makasih, Bi. Aku berangkat dulu ya.” Vivi bergegas meninggalkan Bi Ijah yang berdecak kagum melihatnya. Bi Ijah merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Ia menelpon seseorang.
“Halo?” sapa suara di seberang sana.
“Halo, Den Angga. Barusan Non Vivi pergi keluar, Den. Katanya mau ke kampus.” Ternyata Bi Ijah menelvon Angga.
“Bagus lah, Bi. Makasih infonya ya, Bi.”
“Iya, Den.” Bi Ijah menutup teleponnya dan kembali melakukan aktivitas seperti biasa.
“Siapa, yang?” tanya Yuni kepada suaminya.
“Bi Ijah, katanya Vivi sudah mulai mau kuliah.”
“Alhamdulillah. Kita harus segera mengabari Raffi.”
“Iya nanti aku kabari Raffi, aku mau ke kantor dulu ya, sayang.” Pamitnya sambil mencium kening isterinya. Kemudian ia keluar sambil membawa tas kerjanya.
Setelah meeting dengan klien, Angga segera menghubungi Raffi lewat telepon karena untuk bertemu sangat sulit dengan jadwal yang sepadat itu.
“Halo”
“Raf, pagi ini Vivi udah mulai kuliah.”
“Syukurlah.”
“Lo masih berjuang, kan?”
“Hhh” Raffi menghela nafas.
“Lo harus tetap berjuang. Gue yakin Vivi itu masih mau terima lo. Dia Cuma lagi terguncang aja atas kepergian Papa.” Setelah berkata begitu Angga menutup teleponnya. sementara Raffi dalam keadaan bingung.
Setelah selesai urusannya dengan dosen pembimbing, Vivi buru-buru masuk ke mobil. Ia hendak pergi ke supermarket untuk membeli sesuatu. Sesampainya di supermarket ia tidak sengaja bertemu dengan Johan.
“Hai.” Sapanya.
“Hai.” Johan menjawab dengan sedikit terkejut.
“Beli apa?”
“Engga. Gue Cuma..” belum selesai berbicara Vivi sudah memotong.
“Masih inget gak, dulu gue paling suka dibeliin es krim ini sama lo, ya kan?” sambil menunjuk es krim di box es krim yang terletak di depan mereka. Johan terdiam dengan ekspresi canggung.
“Sekarang lo masih suka makan es krim kesukaan kita dulu? Gak nyangka gue.” Vivi tersenyum lebar. Johan terlihat gugup dan merasa tidak nyaman. Vivi menyadari hal itu dan bertanya.
“Lo kenapa kayak gelisah gitu?” sebelum Johan menjawab, tiba-tiba seorang wanita muncul dan menggandeng tangan Johan.
“Ayok, yang. Aku udah selesai.” Kata wanita itu sambil bergelayut manja kepada Johan. Vivi mengernyitkan alisnya.
“Eh, ini siapa, yang?” tanya wanita itu.
“Oh, kenalin, ini tunangan gue, namanya Aletta, minggu depan kita akan menikah, dan Alleta ini teman sekolah gue dulu namanya Vivi, dia sudah menikah.” Johan memperkenalkan mereka satu persatu. Vivi tersentak, hatinya sedikit nyeri.
“Oh, hai, gue Aletta?” Aletta mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis.
“I iyah, hai Aletta, gue Vivi.” Vivi gugup kemudian menyambut tangan Aletta.
“Ya udah kita duluan ya, Vi. Minggu depan datang ya ke acara pernikahan kita.” Kata Aletta kemudian melambaikan tangan dan pergi sambil bergelayut manja dilengan Johan. Vivi mendadak kesal melihat adegan itu didepan matanya. Ia segera pergi ke meja kasir untuk membayar belanjaannya dan pergi dengan perasaan kesal.
“Hiy giwi ilitti, diting yih di iciri pirnikihin kiti,” Vivi memonyongkan bibirnya saat meniru ucapan Aletta. Ia begitu kesal terhadap Aletta yang di anggap terlalu pamer kemesraan didepannya. Belum lagi Johan yang tidak mengakui dirinya sebagai mantan.
“Apaan ngaku gue sebagai temen sekolah, orang kita gak satu sekolah, juga gak satu angkatan!” Vivi menyetir mobil sambil marah-marah sendiri.
“Lagian sok tau juga pake bilang gue udah menikah! Gue kan belum menik...”
‘Ciiiiitttttttt!!!!’ belum selesai Vivi berkata, mendadak ia menginjak rem kuat-kuat. Kejadian waktu itu hendak terulang lagi. Jantungnya berdetak kencang, nafasnya memburu, untung kali ini ia tidak cidera seperti kemarin. Ia tidak fokus menyetir dan tidak menyadari ada sebuah mobil dari arah yang berlawanan darinya. Karena saking sibuknya mengomel, Vivi sampai tidak sadar kalau mobilnya berada di jalur tengah sehingga mobil dari arah lain hendak tertabrak olehnya. Vivi membanting setir ke kiri sehingga ia terseret agak jauh dari mobil yang akan tertabrak olehnya.
....IHH JENGKEL KU
Maaf baru bisa mampir
udah aku like dan juga fav
Semangat
jangan lupa mampir dikaryaku
Asiyah Aqila