NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24

Angga menutup pintu mobil dengan gesit, langkahnya mantap meski wajahnya terlihat letih. Ia berjalan menembus halaman rumah, melewati taman kecil yang rapi, sebelum akhirnya mendorong pintu depan dan masuk. Suara kakinya yang berat di lantai marmer terdengar jelas, menandai kehadirannya di rumah yang tenang itu.

Tanpa berhenti, ia melangkah cepat menembus ruang tamu, melewati sofa dan meja kecil yang biasa menjadi saksi bisu keseharian keluarganya. Ia kemudian masuk ke ruang makan, pandangannya langsung tertuju pada Hendra, Hilda, dan ...

"Mas, kamu sudah pulang." Sambut Amira beranjak dari kursi makan, menghampiri Angga.

Hendra menahan napas, mencoba menangkap nada langkah dan ekspresi wajah Angga. Sementara Hilda, dengan sikap lebih tenang tapi penuh waspada, menilai setiap gerak tubuh yang bisa menjadi petunjuk maksud Angga.

Kali ini, Angga tidak marah. Wajahnya tetap serius, namun mata yang biasanya tajam dan penuh teguran kini lembut, hampir sulit dikenali bagi siapa pun, termasuk Amira.

Amira tidak mengharapkan Angga marah, tidak juga berharap pria itu berubah. Tapi dengan sikap malam ini, meski hanya dengan tatapan mata Angga yang lebih tenang, sungguh membuatnya merasa terkejut sekaligus lega, seolah ada ruang kecil di hatinya yang selama ini tertutup rapat kini terbuka sedikit. Perasaan itu membingungkan—antara ragu dan lega, takut dan ingin percaya.

Perlahan, Angga melangkah perlahan ke arah meja, menatap Hendra dan Hilda. Namun, saat pandangannya beralih dan bertemu dengan mata ibunya, sesuatu terjadi tanpa sepengetahuan Hendra dan Amira.

Ibunya menundukkan kepala sebentar, menahan emosi yang mengalir di balik sorot matanya. Ada ketegangan halus yang tak terdengar namun terasa, sebuah pesan yang hanya bisa dipahami oleh Angga.

"Ka-Kamu mau makan apa, Mas?" Kata Amira sambil mengambil satu sendok nasi ke piring Angga.

Namun dengan sigap, Angga menahan jemari Amira dengan lembut, seakan ingin mencegahnya mundur atau melakukan sesuatu yang tak perlu. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Amira terdiam, terpaku antara kaget dan hangat. Di saat itu juga, mata mereka saling bertemu.

"Ma-Mas..."

"Kamu tidak perlu melakukan ini." Ucap Angga dengan nada lembut, berbeda dari biasanya.

Dengan sigap, ia membalik sendok di tangannya dan mulai menaruh nasi ke piringnya sendiri, lalu perlahan ke piring Amira. "Biar aku saja," Tambahnya sambil tersenyum—sebuah senyum yang untuk pertama kalinya berhasil membuat Amira terpesona, tak mampu menahan decak kagum di hatinya.

Hendra, yang duduk tepat di hadapan mereka, menatap dengan mata terbelalak. Terkejut dan sekaligus terkesan, ia menyaksikan Angga menunjukkan sisi lain yang hangat dan manusiawi, jauh dari kerasnya sikap yang selama ini ia kenal.

Ruang makan yang tadinya tegang kini terasa lebih ringan. Setiap gerakan Angga yang lembut dan penuh perhatian seolah meruntuhkan tembok ketegangan yang menyelimuti mereka, memberi sedikit ruang bagi kehangatan untuk masuk.

"Kamu mau makan apa? Biar aku ambilkan." Ucap Angga lagi sembari menuangkan daging ke piring Amira tanpa melepaskan pandangan mereka. "Segini, cukup?"

Amira mengangguk, menahan senyumnya, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—rasa aman, bahkan nyaman, di hadapan Angga.

"Angga," Seru Hendra kemudian, menarik mata anaknya dari Amira. "Tumben kamu bersikap lembut pada Amira. Kamu kerasukan makhluk apa?"

Angga mendesis. "Papa ini apa-apaan, si? Gak boleh kalau anaknya berubah? Ini kan yang Papa mau? Kenapa masih protes?"

Hendra hanya menggeleng, tak membalas dengan kata-kata. Wajahnya datar namun sorot matanya menyiratkan banyak hal yang tak terucap—campuran antara lega, bingung, dan waspada. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan yang bisa merusak suasana yang baru saja mulai hangat.

"Aku sadar kalau selama ini aku memang salah." Lanjut Angga. "Ada saatnya manusia berubah karena satu hal, ia baru menyadari bahwa tidak ada gunanya terus menutup mata. Kadang kita baru bisa mengerti arti ketulusan dari seseorang yang terlalu sering kita lukai."

Amira menunduk, hatinya sedikit bergetar mendengar ucapan itu. Kata-kata Angga seperti menyentuh sesuatu yang lama ia pendam. Apalagi dengan cara Angga yang menatapnya lagi.

Amira bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia hanya diam, matanya menatap piring di depannya tanpa benar-benar melihat. Jantungnya berdegup lebih cepat, seolah menolak tenang di tengah suasana yang perlahan berubah ini.

Ia tidak pernah membayangkan Angga akan berkata seperti itu—lebih-lebih dengan nada yang tenang dan penuh kesadaran. Ada rasa asing yang menggelitik hatinya, antara lega dan ragu, seakan ia sedang berdiri di perbatasan antara masa lalu yang dingin dan kemungkinan yang hangat di depannya.

Tanpa sadar, jemari Amira yang menggenggam ujung sendok sedikit bergetar. Ia menelan ludah, mencoba menahan gejolak yang tiba-tiba muncul di dadanya, sementara tatapannya tetap menunduk agar tidak ketahuan.

Hendra melirik Amira sekilas, menangkap kegugupan itu namun memilih tidak menegur. Sementara Angga hanya duduk dengan tenang, menunggu, seperti memberi ruang bagi Amira untuk mencerna semua yang terjadi malam ini.

****

Malam semakin larut. Lampu kamar hanya menyala redup, menebarkan cahaya kuning yang hangat namun terasa sunyi. Angga duduk di tepi ranjang, kedua sikunya bertumpu pada lutut, jemarinya saling mengait seolah menahan sesuatu yang ingin meledak dari dadanya. Sesuatu yang tertahan sejak tadi. Bahkan, ketika pintu kamar terbuka, dan Amira masuk ke dalam kamar.

Langkah wanita itu perlahan bergerak menghampirinya, lalu duduk di tepi ranjang tepat di sampingnya.

"Mas, aku senang kamu akhirnya berubah." Kata Amira memecah keheningan, suaranya lembut dan tulus. "Aku bahkan gak tahu harus bersikap seperti apa. Aku--"

"Kamu gak perlu menunjukkan apa-apa padaku." Potong Angga dengan suara yang datar. Kali ini, nada itu kembali seperti dulu.

Amira terdiam, bibirnya yang semula hendak melanjutkan kata terkatup perlahan. Ada kilatan kecewa yang singgah di wajahnya, tapi ia buru-buru menunduk untuk menyembunyikannya. Sementara, Angga beranjak dari tepi ranjang, berdiri sambil meraih gelas air di meja kecil. Sorot matanya tidak lagi hangat, kembali menjadi tatapan yang sulit ditebak, seolah sengaja menarik diri setelah sempat membuka hati.

Di saat yang sama, tangannya terulur, meraih lengan Amira dengan lembut. Namun secepat itu pula, gerakan Angga berubah. Ia menarik tubuh Amira untuk bangun, tubuhnya sedikit terhuyung karena tarikan mendadak itu.

"Ma-Mas..."

Detik berikutnya, Angga mendorong tubuh Amira hingga wanita itu terjatuh ke lantai.

"Suruh siapa kamu duduk di tempat tidurku?!" Ungkap Angga dengan nada setengah meninggi.

Amira terkejut, ia terheran dengan perubahan Angga. Senyum yang tadi sempat terlihat di wajah Angga terlintas kembali seperti semula. "Mas Angga..."

"Amira, kamu itu lugu, bodoh, polos, atau hanya pura-pura?!" Angga tersenyum menyeringai saat mengunci wajah Amira. "Aku melakukan ini karena memang aku sadar! Tapi sadar untuk tidak pernah menerima kamu sebagai istri aku, kecuali di depan Ayahku, paham?!"

“Mas Angga…” Suara Amira lirih, getir, seolah tertahan di tenggorokan. Matanya bergetar menahan air yang enggan jatuh, bibirnya bergerak namun sulit mengeluarkan kata.

"Kalau bukan karena perusahaan yang aku pegang saat ini, kamu sudah aku ceraikan!" Lanjut Angga. "Dan, kalau bukan karena Ayahku, aku mungkin tidak akan pernah bertahan sejauh ini bersamamu!"

Kata-kata itu jatuh begitu saja, meninggalkan keheningan yang menyesakkan di antara mereka. Amira hanya berdiri terpaku, menahan napas, seolah tubuhnya kehilangan tenaga untuk sekadar merespons. Bibirnya bergerak, namun hanya suara serak yang keluar. “Mas Angga…” ucapnya pelan, getir, nyaris tak terdengar. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menahan agar air itu tidak jatuh.

"Aku ... melakukannya bukan untuk kamu. Tapi untuk menyelamatkan sisa harapan yang aku punya!" Lanjut Angga sesaat sebelum akhirnya ia beranjak pergi meninggalkan kamar.

Amira tak lagi dapat menahan air matanya. Butiran bening itu jatuh perlahan, membasahi pipi yang sejak tadi sudah berusaha ia jaga agar tetap tegar. Di antara kesunyiannya, hanya isak tangis Amira yang terdengar, memenuhi ruang kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!