Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu dan Pertemuan
Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Abyan pamit untuk kembali ke Jakarta, banyak pekerjaan yang menantinya, dengan berat hati dia pun kembali.
Nada lebih banyak tidur di kamar lamanya, ditemani suara hujan yang sering turun sore-sore.
Ayahnya setiap pagi selalu menyeduhkan air jahe hangat, sementara ibunya menyiapkan bubur dan sup ayam. Reza sering mengganggu di sela-sela waktu istirahat, entah dengan meminjam charger ponsel atau sekadar ngajak ngobrol soal gosip di kampung.
Sejak dulu dia memang sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu, makanya begitu Nada merantau ke Jakarta sia menjadi orang yang sangat kehilangan. Sementara adik perempuan Nada saat ini tengah berada di pesantren, baru lulus SD dan sesuai harapan Nada sang adik sekolah di boarding school, seperti cita-citanya dulu.
Namun di balik kehangatan itu, ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun, rindu pada Abyan.
Di Jakarta, Abyan duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang entah sudah berapa kali ia biarkan menyala tanpa fokus.
Pesan terakhir dari Nada hanya berisi ucapan singkat bahwa ia sudah kembali ke rumah dan akan istirahat. Tidak ada emotikon, tidak ada tanda tanya atau basa-basi seperti biasanya.
Rendi masuk tanpa mengetuk, membawa dua cangkir kopi.
“Bos mau sakit juga, ya? Muka bos udah kayak kertas HVS. Nih minum.”
Abyan mengambil kopi itu tapi tidak langsung meneguknya.
“Ren, aku nggak enak banget… Waktu dia sakit parah aku nggak ada. Dia bahkan nggak bilang sama aku mau pulang ke Garut. Aku tahunya dari kamu dan Rosa.” Rendi memilih diam, dia bingung harus menanggapi seperti apa.
Abyan menghentikan ucapannya, dia melirik sang sahabat yang malah anteng bermain ponsel.
"Ren ..." sentak Abyan.
"Eh iya gimana?" Rendi tergagap.
"Ciih ...baru ngerasain lo jatuh cinta?!" sindir Abyan, mode lo gue pun dimulai.
"Eh, apaan sih lo..." Rendi mengelak,
“Lo pikir gue nggak tahu lo udah nelpon Rosa tiap jam?” Rendi menyeringai, lalu duduk di sofa.
“Dia cuma butuh istirahat, Bos. Lo jangan nekan dia.”
Abyan menutup laptopnya, berdiri, lalu berjalan mondar-mandir.
“Gue mau nyusul lagi ke Garut.”
“Sekarang? Lo pikir ni kerjaan baka kelar sendiri?" sindir Rendi. Selama dua hari Abyan berada di Garut Rendi dibuat kerepotan karena menumpuknya pekerjaan.
Abyan terdiam. Ia tahu benar, pekerjaannya sangat banyak. Apalagi sang kakek terus memantaunya. Pembatalan perjodohannya dengan Indira harus ditebus dengan pencapaian perusahaan yang lebih tinggi.
Minggu pertama di Garut membuat Nada mulai merasa lebih segar. Warna di pipinya perlahan kembali, meski tubuhnya masih lemas. Ia duduk di teras rumah sore itu, membiarkan angin membawa aroma tanah basah.
Ponselnya bergetar. Nama “Abyan” muncul di layar.
Nada terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat.
"Assalamu'alaikum…”
Suara di seberang terdengar lega sekaligus rindu.
“Wa'alaikumsalam. Nada… gimana kabarmu? Masih lelah?”
“Alhamdulillah. Udah mendingan. Lagi istirahat di rumah,” jawabnya singkat.
Keheningan sejenak. Hanya suara angin yang masuk ke speaker.
“Nada… aku mau ketemu,” ucap Abyan akhirnya. Nada tersenyum tipis.
“Bukannya Bapak sedang sibuk?."
"Kamu tahu?"
"Rosa yang bercerita."
"Pasti dari Rendi." terka Abyan.
"Iya, apalagi Pak Akbar yang langsung memantau kinerja Bapak."
"Nad..."
"Apa?"
"Bisa gak panggilannya diganti? Aku rindu."
Deg ...
Keheningan seketika menyergap, Nada tak mampu bersuara. Ungkapan rindu dari Abyan membuat pikirannya blank seketika.
"Nad..."
“Aku akan minta izin langsung sama kakek.”
Nada tertawa kecil, meski hatinya berdebar.
“Kalau mau dikeluarkan dari daftar penerima waris, silakan.” canda Nada.
"Nad ... Perjodohan aku sama Indira sudah selesai, kakek bersedia membatalkannya. Aku lega dan ..." Abyan menjeda ucapannya.
"Dan apa?" tanya Nada akhirnya bertanya setelah beberapa detik terdiam menunggu.
"Dan aku harap kamu bersedia menunggu."
Dua hari kemudian, Abyan nekat. Ia berangkat pagi-pagi dari Jakarta, membawa tas kecil berisi pakaian ganti dan sekotak kue lapis legit kesukaan Nada yang ia beli dari toko langganan.
Di depan rumah Nada, Abyan sempat berdiri lama, menarik napas. Dia baru saja turun dari gojek yang membawanya dari stasiun. Untuk menghindari kecurigaan sang kakek, dia memilih pergi ke Garut menggunakan transportasi umum.
"Assalamu'alaikum Bu." Ibu Nada yang tengah menyapu halaman terkejut, pagi masih cukup gelap, tapi tiba-tiba sudah ada tamu dari jauh.
"Wa'alaikumsalam. Loh, ini teh Pak Abyan? Atasannya Nada?" Tanya Ibu memastikan.
Kedua orang tua Nada sudah tahu jika Abyan adalah atasan Nada sekaligus pemilik hotel tempat Nada bekerja.
"Panggil saja saya Abyan Bu."
"Duuh ...jangan atuh." tolak Ibu.
"Silakan masuk, Pak." Ibu menghentikan aktivitasnya, dan membuka pintu utama rumah.
Langkah ringan terdengar dari dalam. Nada muncul dengan cardigan rajut dan wajah yang masih pucat tapi manis. Kerudung salem menambah keayuannya. Matanya membesar begitu melihat Abyan berdiri di depan pagar.
“Abang, datang? Jam berapa dari Jakarta?" todong Nada heran.
Pertemuan itu seperti menutup jarak berhari-hari. Mereka duduk di ruang tamu, membicarakan hal-hal kecil. Kesehatan Nada, pekerjaan di hotel, bahkan lelucon receh yang biasanya tidak penting. Namun di sela-sela obrolan itu, mata mereka sering bertemu, memantulkan kerinduan yang sulit diucapkan.
“Aku minta maaf,” kata Abyan tiba-tiba.
“Aku nggak ada waktu kamu drop. Aku nyesel banget.”
“Nggak usah dibesar-besarin. Aku yang salah, maksa kerja dan kuliah terus,” balas Nada.
“Tapi aku—”
“Abang,” potong Nada lembut.
“Kita ini lagi diuji. Kalau kamu terus nyalahin diri sendiri, kita nggak akan maju.”
Abyan terdiam, lalu tersenyum miring.
“Kamu emang selalu lebih bijak dari aku.”
“Dan Abang selalu lebih keras kepala,” sahut Nada sambil tertawa kecil. Dia tahu kakek Abyan masih belum merestui kedekatan mereka. Walau tidak lagi menekannya secara langsung tapi berdasarkan cerita Rosa, Nada bisa menyimpulkan demikian.
Mereka berbincang lama hingga senja. Saat Abyan pamit, Nada mengantarnya sampai depan rumah. Angin sore membuat jilbab Nada berkibar.
“Aku nggak tahu kapan bisa datang lagi,” kata Abyan.
“Tapi aku janji, aku akan nyari jalan biar kita bisa…” Ia terhenti, lalu mengembuskan napas.
“Biar kita nggak cuma ketemu sembunyi-sembunyi.” Nada hanya menatapnya.
"Insya Allah, dua hari lagi aku juga masuk kerja."
"Jangan memaksakan, Nad. Kamu masih harus istirahat."
"Insya Allah aku sudah lebih baik."
"Aku akan memperpanjang cutimu."
"Jangan begitu, aku hanya karyawan biasa. Tidak layak mendapat keistimewaan seperti itu."
"Tapi ..."
"Abang ..."
"Baiklah baiklah, aku senang kalau kamu kembali ke Jakarta dan bekerja, iru artinya aku tidak akan lagi tersiksa rindu." Nada hanya tersenyum menanggapinya.
Abyan tersenyum, menatapnya sejenak lebih lama, lalu melangkah pergi.
Malamnya, Nada duduk di kamarnya sambil menatap ponsel. Pesan dari Abyan masuk.
"Terima kasih sudah mengizinkan aku ketemu. Rasanya kayak pulang.”
Nada mengetik balasan:
“Jaga diri, Abang. Aku juga rindu."
Namun ia tidak mengirimnya. Pesan itu ia simpan di draft, karena entah kenapa, ia merasa belum siap membiarkan hatinya sepenuhnya lebur.
Bayangan Kakek Akbar seketika melintas di ingatannya.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak