Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai Dari Dua Arah
Pagi itu di rumah besar keluarga Mahendra, udara terasa berat. Kakek Akbar duduk di kursi panjang berlapis kulit, tongkat kayunya berdiri di sisi kanan. Ia jarang marah besar, tapi kali ini wajahnya merah padam. Di meja kaca di depannya, ada secangkir kopi yang sudah dingin.
“Jadi benar?” suaranya berat, penuh tekanan.
“Kamu bawa ibumu bertemu gadis itu?” Abyan berdiri di hadapan sang kakek. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh.
“Iya, Kek. Mama ingin lebih mengenal Nada.”
“Tanpa izinku?” Kakek Akbar menatap tajam.
“Apa kamu pikir aku ini boneka yang bisa kamu lewati begitu saja?” Abyan menarik napas panjang.
“Kek, ini bukan soal melewati. Ini soal hidup saya. Saya ingin Kakek tahu, saya serius sama Nada.”
Sang kakek mengetukkan tongkatnya ke lantai.
“Serius? Apa kamu lupa dengan janjimu? Lupa bahwa keluarga kita punya nama yang harus dijaga? Gadis itu… hanya akan mengganggu fokusmu, Abyan!” Abyan menahan diri agar suaranya tetap tenang.
"Kek, dunia yang Kakek maksud itu cuma soal pencapaian bisnis dan nama baik keluarga. Aku bisa meraihnya tanpa kakek membatasi langkahku bersama Nada.”
“Cukup!” bentak kakek, membuat ruangan bergetar.
“Kalau kamu terus melawan dan mengikuti nafsu, kamu akan kehilangan semuanya. Perusahaan dan nama baik keluarga yang aku bangun, akan kamu hancurkan begitu saja?.” Abyan menatap lurus.
“Kakek, jangan membuat kesimpulan dari kekhawatiran tidak mendasar."
"Cihhh ...sejak dulu urusan percintaan hanya mengganggu saja. Apalagi dilakukan sebelum ikatan halal." ketus kakek Akbar, pemikiran yang membuat Abyan tidak habis pikir.
"Kalau begitu aku akan segera menikahi Nada." tegas Abyan.
"Kamu pikir aku akan mengizinkan di saat janjimu belum kau penuhi?"
"Baiklah kalau begitu, aku akan buktikan Kek, kalau cintaku pada Nada tidak akan mengganggu target yang kakek buat untuk aku capai."
Keheningan mendadak jatuh. Kakek Akbar menatap cucunya lama, seperti sedang menilai apakah kata-kata itu serius. Walau perjodohan dengan cucu sahabatnya telah gagal, namun tidak lantas membuat Kakek Akbar luluh. Lalu, dengan suara dingin, ia berkata,
"Baiklah. Kalau begitu, kita lihat seberapa jauh kamu membuktikan.”
Di kontrakannya, Nada duduk di meja makan, memandangi roti bakar yang mulai dingin. Rosa mondar-mandir membereskan perlengkapan jualan.
“Kenapa mukanya resah gitu? Bukannya kemarin baru ketemu camer, harusnya seneng dong ternyata camernya sebaik itu." Rosa akhirnya bersuara, setelah beberapa menit membiarkan Nada larut dalam lamunannya.
"Ah biasa aja. Lagian siapa juga yang ketemu camer, di antara kami itu belum ada apa-apa ya, jangan ngadi-ngadi deh kamu." Nada mengambil roti yang bakar yang sudah dingin itu dan menggigitnya.
"Itu kan menurut kamu, jangan lupa Bos Abyan sudah mengklaim dirinya sebagai calon suamimu. Walau pun saat ini belum ada cincin khitbah melingkar di jarimu tapi kisah KKN yang sembunyi-sembunyi itu masih berlanjut."
Nada terdiam, pikirannya mundur ke beberapa tahun silam. Saat seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya dan jas almamater kampus dipakai Abyan begitu gagahnya. Dua sejoli yang akhirnya saling mengakui jika keduanya ada rasa setelah kebersamaan mereka lewati.
Sepakat untuk saling menyembunyikan hubungan spesial di antara keduanya, hingga di saat kepergian Abyan tak ada kepastian maupun kata putus di antara keduanya.
Nada tidak menyangka jika selepas SMA dia ternyata bekerja di hotel milik keluarga laki-laki yang membuatnya jatuh cinta dan pergi tanpa kabar berita.
Kini keduanya kembali bertemu dalam situasi yang lebih rumit. Nada menghela napas. Takdir yang dihadapinya sungguh di luar prediksi.
Niat awal merantau ke Jakarta untuk bekerja agar bisa membantu keluarga dan menabung untuk dirinya kuliah, kembali ke kampung dan membuka usaha, ternyata kini semuanya tidak sesederhana itu. Ada hati yang tak bisa berbohong, bahwa cinta itu masih ada. Namun logikanya masih jalan, keadaan dirinya dan Abyan tak seperti dulu.
Malamnya, Nada menulis di buku catatannya:
"Jika kali ini aku benar-benar harus kehilangan Bang Byan, semoga itu bukan karena kami berhenti berjuang."
Di rumah besar keluarga Abyan, Mama Mitha memanggil sang putra ke ruang kerja.
“Abyan, Kakek kamu marah besar. Dia bahkan bilang sama Papa untuk mengirim kamu ke luar negeri dan mengurus hotel yang di sana."
Abyan duduk.
“Aku sedang pikirkan itu, Ma. Aku akan berusaha membuktikan pada Kakek kalau aku bisa meraih keduanya di waktu yang bersamaan. Sekarang aku cuma mau Mama mendo'akanku.”
Mama menghela napas.
“Tentu saja Mama selalu mendo'akanmu. Tapi kamu harus tahu, melawan Kakek itu seperti melawan tembok baja. Dia nggak akan berhenti sampai dia menang.”
Mama Mitha teringat bagaimana dirinya dulu mempertahankan keinginannya untuk berkarir di dunia kuliner, kuliah di bidang tata boga, menjadi chef di restorannya sendiri, tapi Kakek Akbar tidak merestui. Pernikahannya dengan Papa Akmal juga karena perjodohan. Untunglah Papa Akmal sangat sabar hingga berhasil meluluhkan hati mama Mitha dan setelah dua tahun menikah akhirnya Mama Mitha dinyatakan hamil dan lahirlah Abyan.
“Aku nggak akan berhenti sampai aku bisa membuktikan pada Kakek,” jawab Abyan mantap.
Dua hari kemudian, Abyan mendapat pesan dari Rendi.
“Ada yang meneror Nada dan Rosa, mereka melempari jendela kontrakan dengan batu yang dibungkus surat.”
Tanpa pikir panjang, Abyan yang tengah berada di Bandung menyetir sendiri sore itu juga menuju Jakarta.
Malam hari Abyan sampai di depan kontrakan Nada. Dia baru saja selesai masak bumbu untuk jualan besok hati.
Abyan menelepon dan meminta bertemu. Pertemuan mereka terjadi di taman kecil dekat kontrakan Nada, tempat yang jarang dilewati orang. Langit malam terlihat gelap tak ada satu pun bintang yang nampak dan udara lembut membawa aroma tanah.
Nada datang dengan cardigan biru dan kerudung instan. Abyan berdiri menunggu, senyumnya tipis tapi matanya penuh rindu.
“Kamu kelihatan capek,” kata Abyan pelan.
“Abang juga,” jawab Nada, duduk di bangku taman.
Mereka terdiam sejenak. Suara hewan malam dan gemerisik daun mengisi keheningan.
“Aku dengar Kakekmarah,” ucap Nada akhirnya. Abyan mengangguk.
“Dia meminta agar aku membuktikan janji untuk mengembangkan perusahaan lebih pesat. Izin pendirian hotel di tiga kota dan dua negara sedang dibuat." jelas Abyan sesuai syarat sang kakek.
Nada menatapnya lekat.
"Jangan bilang semua itu mudah Bang, semuanya tentu penuh tantangan dan pastinya beresiko." Nada tampak khawatir.
Abyan berdiri dan memasukan tangannya ke dalam saku.
“Aku tahu, tapi aku tidak takut. Yang aku takut cuma satu…"
"Apa?" Nada akhirnya bertanya karena Abyan tak kunjung melanjutkan bicaranya.
"Kamu menyerah menungguku." lanjut Abyan. Nada tersenyum getir.
"Abang tahu nggak, hidup di bawah tekanan itu rasanya… seperti dinding yang terus mendekat.”
“Aku janji, kita akan tembusin dinding itu sama-sama.”
"Duuh aku sampai lupa tujuan utamaku ke sini, saking rindunya." kelakar Abyan, Nada hanya mencebikkan bibirnya.
"Kata Rendi ada yang meneror kalian di kontrakan?" tanya Abyan dengan wajah cemasnya.
"Iya, tapi jangan khawatir kami baik-baik saja."
"Aku tidak mau su'udzan tapi feeling ku mengatakan kalau dalangnya pasti orang yang sama." Abyan mengepalkan tangannya, kesal karena gangguan itu.
"Jangan su'udzan, kita tidak punya bukti nanti jadinya fitnah."
"Tapi ini berdasar pengalaman. Lagi pula dia belum puas mengganggu kita."
"Abang ada gangguan juga?"
"Indira pernah menemuiku. Dari gerak geriknya dia belum puas dengan keputusan akhir perjodohan kami."
Mereka duduk lama di taman itu, membicarakan mimpi, rencana, dan ketakutan. Abyan bahkan sempat bercanda,
“Kalau semua gagal, kita buka warung kopi aja di sini.”
Nada tertawa.
"Abang yang bikin kopi, aku yang bikin seblak.”
“Deal,” jawab Abyan sambil tersenyum lebar.
Namun kebahagiaan kecil itu terhenti ketika Abyan menerima telepon. Wajahnya berubah serius.
“Dari Mama,” katanya sebelum mengangkat.
Suara di seberang terdengar cemas.
“Nak, Kakek kamu pergi. Dia bilang mau ketemu Nada sendiri.”
Nada membeku. Abyan menggenggam ponselnya lebih erat.
"Kalau begitu, kita hadapi sama-sama.”
"Tidak usah, yang akan Pak Akbar temui adalah aku, biarkan kami bertemu."
"Tapi ..."
"Abang, aku akan baik-baik saja, In sya Allah."
Keesokan harinya tiga puluh menit sebelum jam kerja dimulai Nada sudah ada di ruangannya. Beberapa menit kemudian asisten pribadi Kakek Akbar datang menemui dan meminta Nada untuk datang ke ruangan presdir.
Kakek Akbar duduk di sofa ruangan megah itu, tongkat kayu berukir yang sudah menemaninya puluhan tahun. Matanya menatap lurus ke depan, pikirannya penuh dengan satu tujuan. memastikan cucunya tidak terseret ke dalam hubungan yang dianggapnya tidak pantas.
🥰🥰🥰
nyesek memang KLO di suruh pilih keluarga atw orang yg di cinta . maju terus yg penting papah sama mamah merestui biarpun kamu akan kehilangan segalanya💪💪💪
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira