Menjadi istri tapi sama sekali tak di anggap? Bahkan dijual untuk mempermudah karir suaminya? Awalnya Aiza berusaha patuh, namun ketidakadilan yang ia dapatkan dari suaminya—Bachtiar membuat Aiza memutuskan kabur dari pernikahannya. Tapi sepertinya hal itu tidak mudah, Bachtiar tak semudah itu melepaskannya. Bachtiar seperti sosok yang berbeda. Perawakan lembut, santun, manis, serta penuh kasih sayang yang dulu terpancar dari wajahnya, mendadak berubah penuh kebencian. Aiza tak mengerti, namun yang pasti sikap Bachtiar membuat Aiza menyerah.
Akankah Aiza bisa lepas dari pernikahannya. Atau malah sebaliknya? Ada rahasia apa sebenarnya sehingga membuat sikap Bachtiar mendadak berubah? Penasaran? Yuk ikuti kisah selengkapnya hanya di NovelToon!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter —3
Aiza mengumpulkan pecahan gelas juga piring hasil perbuatan sang ibu mertua yang mengamuk. Usai membersihkan semuanya, Aiza kemudian mencuci bekas peralatan memasak yang tadi ia tinggalkan pada sink karena buru-buru ingin menyajikan masakannya.
Setelah semua peralatan dapur bersih, Aiza kemudian beralih memegang gagang pel. Tak lupa ia juga mengambil timba yang sudah ia isi air bercampur cairan pembersih lantai, lalu mulai mengepel setiap sudut ruangan.
Pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh asisten rumah tangga yang memang Kamariah pekerjakan di rumahnya. Namun, karena hari ini merupakan hari pertama Aiza menjadi menantu di rumah itu, maka Kamariah mewajibkan Aiza yang melakukan seluruh pekerjaan rumah.
Itung-itung sebagai pelatihan untuk membentuk skill gadis itu agar tidak menjadi istri pemalas. Supaya cepat tanggap dalam menjalani tugas barunya dalam menjadi istri Bachtiar.
Keputusan Kamariah hari ini yang mewajibkan Aiza melakukan semua aktifitas rumah tangga membuat para pembantu yang bekerja di rumah itu menjadi bingung. Biasanya mulai pagi mereka sudah aktif berbenah, mengerjakan tugas masing-masing. Namun, hari ini malah disuruh menonton Aiza yang melakukan pekerjaan mereka.
Cucuran keringat mengalir dari dahi hingga pelipis Aiza. Gadis itu menyekanya. Membuat para pekerja di rumah tersebut merasa iba, tak tega melihat kelelahan Aiza.
Beberapa di antara mereka ingin membantu. Namun, larangan keras Kamariah membuat mereka urung melakukannya. Tidak bisa berbuat banyak, mengingat konsekuensi jika melanggar, pekerjaan mereka yang menjadi taruhan.
“Ma, Aku lapar,” keluh Aiza. Pasalnya sedari pagi ia belum makan apapun. “Aku izin istirahat sebentar ya. Setelahnya baru aku lanjutkan lagi ngepel ke ruangan lain,” sambungnya kemudian.
Lalu Aiza hendak beranjak meletakkan alat pel di tangannya menuju belakang tangga dengan tubuh gemetar. Tapi Kamariah malah membentak, menyuruh Aiza untuk tetap menyelesaikan pekerjaannya. “Dasar menantu pemalas! Baru kerja segitu saja sudah mengeluh. Ini masih jam satu, udah main makan aja. Tuntaskan dulu pekerjaanmu, baru setelah itu kau boleh makan!”
Pekikan Kamariah membuat langkah Aiza terhenti. Ia yang berniat untuk beristirahat sejenak guna mengisi perutnya kembali berbalik melanjutkan pekerjaannya. Meski gemetar karena merasa sangat lapar, Aiza tetap sabar melakukan pekerjaannya. Menuju ruangan lain, melanjutkan mengepel di sana.
‘Nggak apa-apa, Aiza, tinggal dua ruangan lagi. Setelah ini kau bisa langsung istirahat juga makan.’ Aiza berusaha menyemangati diri di tengah kesedihan juga rasa lapar yang melanda.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga siang. Setiap sudut rumah itu sudah selesai Aiza bersihkan. Ketika Aiza hendak membawa alat pel menuju kamar mandi belakang, Aiza mendengar seseorang memanggilnya dari belakang.
“Aiza!”
Aiza berpaling. Terlihat Nurma sedang berjalan menghampirinya. Gadis yang usianya dua tahun lebih tua di atas Aiza itu terlihat membawa sebuah lap bersih di tangannya.
“Boleh aku minta tolong?” Suara Nurma terdengar sangat ramah juga lembut. Aiza mengangguk. “Iya, Nur, mau aku tolongin apa?” Posisi Aiza masih memegangi alat pel di tangannya—yang mana hal tersebut membuat keadaan keduanya sangat kontras bagaikan majikan dengan pembantu.
“Ini... sepatuku terdapat sedikit lumpur. Bisakah kau membantuku membersihkannya?” ucap Nurma dengan penuh permohonan.
Aiza mengernyit. Ia memandang pada sepatu yang dipakai Nurma. Memang benar terdapat sedikit lumpur kering di ujung sepatunya. Tapi, bukankah Nurma bisa membersihkannya sendiri?
“Maaf, Aiza, aku sama sekali nggak bermaksud merendahkanmu. Ini semua karena aku memiliki riwayat alergi terhadap tanah kering. Biasanya Kak Bachtiar yang membantuku membersihkannya. Sementara para asisten rumah tangga hanya bisa merusak sepatuku setiap aku mintai tolong kepada mereka,” tutur Nurma memasang ekspresi penuh penyesalan.
Aiza menghela napas pelan. Ia sama sekali tidak tahu jika Nurma memiliki riwayat alergi terhadap tanah kering. Pantas saja, ia selalu melihat Bachtiar sangat memanjakan adik semata wayangnya. Mungkinkah itu karena Nurma yang alergi terhadap tanah kering, sehingga Bachtiar berjuang keras untuk memberikan kehidupan layak kepada adiknya?
Melihat penampilan Nurma yang sepertinya ingin pergi. Aiza menyetujui untuk membantu Nurma membersihkan sepatunya. Ia meminta lap yang ada di tangan Nurma. Namun, sebelum itu ia hendak meletakkan alat pelnya terlebih dahulu ke lantai.
“Sini, biar aku bantu pegangi alat pelnya. Kau langsung bersihkan sepatuku saja,” ucap Nurma lembut, yang langsung disetujui oleh Aiza.
Aiza tidak keberatan. Apalagi kata Nurma, Bachtiar juga sering melakukannya. Itung-itung sebagai abdinya pada sang suami, yang saat ini sedang tidak ada di rumah.
Saat Aiza selesai membersihkan sepatu Nurma, tiba-tiba saja tubuhnya terguyur oleh air pel yang ada di tangan Nurma. Sang adik ipar gegas menarik diri dari Aiza sembari melempar alat pel ke lantai dengan reaksi penuh keterkejutan.
Byuuurr!
Klaangg!!
“Astaga… maaf Aiza, aku sama sekali nggak bermaksud.” Wajah Nurma terlihat panik juga nada suaranya dipenuhi perasaan bersalah.
Derap langkah terdengar dari sepasang sepatu pantofel yang sedang mendekat. Aiza yang meyakini itu suaminya lantas mendongak, lalu melihat sosok Bachtiar yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Aiza gegas bangkit. Lalu menimpali perkataan Nurma. “Ia, Nur, nggak apa-apa.” Kemudian ia segera menghampiri Bachtiar yang baru saja masuk, menyambut kepulangannya.
“Bang Bachtiar…”
“Jangan sentuh! Bersihkan dulu tubuh kotormu itu baru kau datang menghampiriku!” tegas Bachtiar sembari menepis tangan Aiza yang hendak menyalaminya dengan eskpresi penuh kebencian.
Bersambung.