Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Aku Merindukanmu
Keesokan paginya, setelah sarapan, Anya mencoba menghubungi Aiden. Ia ingin meminta izin untuk pergi ke kebun bunga milik ibunya.
Tak butuh waktu lama, Aiden mengangkat teleponnya.
"Hmm." gumamnya.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Anya basa-basi.
"Sudah. Ada apa tiba-tiba telepon?" Aiden balik bertanya. Sejak menikah, Anya hampir tidak pernah meneleponnya. Bisa dihitung jari. Jadi, Aiden tahu pasti Anya sedang butuh sesuatu.
"Aku boleh pergi ke kebun bunga ibu? Sudah lama nggak aku urus, kayaknya udah semak." pinta Anya.
Tentu saja Aiden tahu tentang kebun bunga milik ibu Anya. Saat ia menyelidiki informasi tentang Anya dulu, tanah itu juga termasuk yang ia ketahui. Ia juga tahu kalau Deny sempat meminta tanah itu dari Anya.
"Hmm... Pergilah. Minta Abdi antar, dan bawa beberapa pelayan juga." jawab Aiden.
Anya senang bukan main mendengar jawaban itu. Ia dapat izin!
"Makasih ya!" ucap Anya girang. Suaranya terdengar begitu antusias, sampai-sampai Aiden bisa membayangkan wajah ceria Anya dari seberang telepon.
Senyum tipis terbit di wajah Aiden. Ia bisa membayangkan Anya yang sedang melompat kegirangan, senyumnya lebar, dan lesung pipitnya terlihat jelas.
Dari sisi lain, Nico memperhatikan perubahan ekspresi wajah Aiden. Ia tahu pasti yang menelepon itu adalah istrinya—hanya wanita itu yang bisa membuat pamannya tampak selembut ini.
Ia langsung berdeham keras, mencoba menarik perhatian pamannya, "Om, itu Tante ya yang telepon?"
"Hmm..." Aiden hanya menjawab dengan gumaman tak jelas.
"Pantesan suaranya halus banget. Coba aku yang telepon, pasti sebelum aku selesai ngomong, udah ditutup." protes Nico sambil manyun.
Aiden melirik kesal. Ia tak mengerti kenapa keponakannya bisa begitu cerewet. Sekali bicara, seperti keran air yang rusak, tidak bisa berhenti. Kepribadian mereka berdua benar-benar bertolak belakang.
Melihat pamannya tidak menggubris, Nico langsung mengganti topik.
"Om, aku denger Om punya sebidang tanah buat kebun bunga, ya?"
Aiden menoleh, "Dari mana kamu tahu?"
"Aku punya banyak cara buat cari tahu." jawab Nico sambil menyeringai bangga. Sebagai bagian dari keluarga Atmajaya, ia punya banyak orang yang bisa diperintah untuk mengumpulkan informasi.
Namun ada satu hal yang membuatnya penasaran, "Om... jangan-jangan Om nikahin Tante Anya cuma gara-gara tanah itu, ya? Ini nikah beneran karena cinta, atau karena butuh tanahnya?" tanya Nico dengan penasaran.
"Aku nggak menikahi Anya karena tanah itu. Tanah itu miliknya." jawab Aiden tenang.
Nico mengangguk. Tapi, di dalam hati ia agak sayang juga. Tanah sebagus dan strategis itu cuma dipakai buat kebun bunga. Sayang sekali.
Tapi... istrinya kan istri pamannya. Jadi, tanah itu juga bisa dianggap milik Aiden!
"Sayang banget kalau tanah sebagus itu cuma dipakai buat nanem bunga. Mendingan buat bisnis. Tante nggak mau kasih ke Om sekalian?" gerutu Nico.
"Aku punya rencana sendiri untuk tanah itu." balas Aiden singkat, membuat Nico langsung diam.
Setelah mendapat izin dari Aiden, Anya langsung bersiap. Ia mengenakan pakaian yang biasa ia gunakan saat berkebun dan sepasang sepatu bot hitam. Ia juga tak lupa membawa topi besar untuk melindungi kulitnya dari panas matahari.
Begitu turun dan menuju pintu depan rumah, ia melihat Abdi sudah menunggu di dalam mobil Aiden. Pasti Abdi sudah menerima perintah langsung dari Aiden untuk mengantarkannya.
Selain Abdi, tampak juga Hana dan beberapa pelayan lain yang sudah bersiap di depan rumah. Mereka membawa beberapa peralatan bercocok tanam. Awalnya, Anya berniat pergi sendiri, tapi sepertinya Aiden juga sudah memerintahkan mereka untuk ikut membantu.
Sebenarnya, Hana-lah yang mendapat telepon dari Aiden. Ia diminta menemani Anya dan membawa beberapa pelayan untuk membantu agar Anya tidak kelelahan, mengingat ia baru saja sembuh.
Anya tidak mempermasalahkan itu. Justru semakin banyak yang membantunya, pekerjaan akan lebih cepat selesai.
Sebelum menuju kebun bunga, Anya mampir terlebih dahulu ke toko benih.
Benih bunga mawar, melati, lili, lavender… Ia memilih berbagai macam benih bunga untuk ditanam di kebunnya. Nantinya, semua bunga itu bisa ia manfaatkan untuk membuat parfum dan aromaterapi.
Ia tak sabar menunggu saat bunga-bunga itu tumbuh bermekaran. Ia bisa kembali membuat parfum dan menjualnya. Anya harus mulai mengumpulkan uang untuk membayar utangnya pada Aiden.
Perjalanan ke kebun bunga cukup memakan waktu karena jalanan hari itu cukup padat. Sesampainya di sana, tanahnya tampak dipenuhi rumput liar karena lama tak terurus.
Untungnya, hari itu ia membawa banyak bantuan. Kalau tidak, seharian penuh pun belum tentu cukup untuk menyelesaikannya seorang diri.
Anya, Hana, Abdi, dan para pelayan langsung mulai membersihkan lahan yang penuh rumput. Sesekali mereka bercanda dan mengobrol sambil bekerja, membuat suasana jadi lebih ringan.
Para pelayan juga terlihat senang bisa keluar rumah. Biasanya mereka hanya bekerja di dalam rumah, bersih-bersih atau mencuci. Meski pekerjaan membersihkan lahan cukup berat, mereka menikmati waktunya bersama sang nyonya.
Siang hari, mereka beristirahat di bawah pohon rindang sambil makan siang yang dibawa dari rumah, ditemani hembusan angin sepoi.
Mereka menanam benih bunga, menyiram, dan memberi pupuk. Pekerjaan selesai lebih cepat karena dikerjakan bersama-sama. Sebelum matahari tenggelam, semuanya sudah rapi dan mereka mulai berkemas untuk pulang.
Anya merasa sangat puas melihat kebunnya kembali bersih dan tertata. Sebulan dari sekarang, taman itu akan dipenuhi bunga-bunga indah. Ia akan kembali untuk memetik bunga dan mengolahnya menjadi parfum serta aromaterapi. Ia tak sabar menanti hari itu tiba.
Hari itu cukup melelahkan, jadi Anya kembali ke kamarnya lebih awal. Ia rebah di atas tempat tidur dengan perasaan bahagia. Bahagia karena bisa kembali ke kebun bunganya—tempat yang menyimpan kenangan dirinya dan sang ibu.
Saat sedang bersantai, ponselnya yang ada di meja samping tempat tidur tiba-tiba berdering. Nama Aiden muncul di layar.
“Halo,” sapa Anya.
“Kamu sudah pulang?” tanya Aiden.
“Sudah. Aku sudah di kamar. Terima kasih ya, sudah mengizinkan aku ke kebun,” jawab Anya dengan nada senang. Suasana hatinya sedang sangat baik hari itu, membuat ia jadi lebih cerewet dari biasanya.
“Kamu senang?” Aiden bisa merasakan suasana hati Anya, dan entah kenapa, itu membuat suasana hatinya ikut membaik.
Ternyata, rasa bahagia bisa menular, bahkan tanpa perlu bertatap muka.
“Tentu saja! Aku menanam banyak bunga hari ini. Sebulan lagi kebunnya akan penuh bunga-bunga cantik…” kata Anya penuh semangat, membayangkan taman bunganya bermekaran.
“Nanti tak perlu kamu sendiri yang menyiram setiap hari. Biar pelayan yang mengurusnya. Kamu baru sembuh, jangan sampai sakit lagi,” kata Aiden, khawatir.
“Kalau kamu sendiri gimana? Pekerjaannya lancar?” tanya Anya balik. Ini mungkin pertama kalinya mereka berbicara cukup lama lewat telepon. Sejak menikah, mereka belum pernah berpisah selama ini.
“Hm… sejauh ini lancar,” jawab Aiden.
Seketika, percakapan mereka terhenti. Aiden tidak berkata apa-apa lagi, dan Anya tidak tahu harus mengatakan apa. Ia juga bertanya-tanya, mengapa Aiden tiba-tiba menelepon? Apa hanya ingin memastikan dirinya pulang ke rumah dan tidak kabur dari hutang?
“Aku kangen…” gumam Aiden tiba-tiba.
Suara beratnya terdengar dalam ponsel, agak serak, dan membuat jantung Anya berhenti sejenak.
Anya tercengang. Salah satu tangannya masih memegang ponsel di telinga, tapi lidahnya kelu.
Kenapa pria itu tiba-tiba bilang rindu? Mereka bukan pasangan kekasih. Mereka hanya dua orang asing yang terikat pernikahan karena kebutuhan masing-masing. Bukan karena cinta.
Lagi pula, mereka baru berpisah satu hari!
Namun, mendengar kata-kata itu dari Aiden, dengan suara berat dan dalam, wajah Anya langsung memanas. Ia tahu, pipinya pasti semerah tomat sekarang. Bahkan telinganya ikut terasa panas. Padahal Aiden tidak ada di hadapannya.
Apa jadinya kalau Aiden mengatakannya langsung di depan wajahnya? Anya bahkan tidak bisa membayangkannya.
Haruskah ia menjawab? Haruskah ia bilang ia juga merindukan Aiden?
“Hm… Cepat pulang ya…” Itu saja yang berhasil keluar dari mulutnya.
“Besok malam aku pulang,” jawab Aiden tenang. Ia tidak terdengar kecewa meski Anya tidak membalas ucapannya tadi.
“Aku tunggu di rumah…” kata Anya pelan.
“Hm… Tidurlah. Selamat malam,” ucap Aiden, lalu menutup telepon.
Anya masih terdiam menatap layar ponselnya. Ia tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
Aiden bilang… ia rindu.
Anya berguling-guling di tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup tak karuan. Ia kemudian berguling ke sisi tempat tidur Aiden dan memeluk bantal yang biasa dipakai Aiden.
Udara di tempat tidur itu terasa dingin, sepi, tidak ada kehangatan.
Entah kenapa malam itu, kamar ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Tempat tidur ini terasa terlalu luas.
Apakah… aku juga merindukan Aiden?