NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Malam itu, Christopher berdiri di depan jendela kamar utama, ia menatap ke luar dengan sorot mata yang kosong. Gemerlap lampu kota yang berkelap-kelip dari kejauhan seolah tidak mampu mengusir rasa cemas yang merayap diam-diam di dalam dirinya. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka napas dengan panjang.

'Apakah karena aku terlalu banyak minum malam ini? Tetapi pikiranku masih jernih... Mengapa aku merasa ada sesuatu yang ganjil?' gumamnya dalam hati.

Kemudian suara halus terdengar dari balik kamar mandi. Lusy muncul dengan mengenakan gaun tidur satin yang lembut, rambutnya masih basah, dan wajahnya terlihat mengantuk.

"Aku lelah, Chris... Sepertinya aku akan tidur lebih awal malam ini," ujarnya sambil menguap kecil.

Tanpa menunggu jawaban, Lusy naik ke atas ranjang dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Tatapannya mengarah pada Christopher yang masih terpaku di jendela.

Christopher akhirnya berbalik, dan melangkah mendekatinya, lalu mengusap rambut wanita itu perlahan.

"Beristirahatlah lebih dulu. Aku masih harus menyelesaikan beberapa dokumen malam ini," ucapnya lembut.

Lusy menatapnya dengan sorot mata kecewa. "Jadi... kau tidak akan menemaniku tidur malam ini?" tanyanya pelan.

Christopher mengelus pipinya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku ingin, sungguh... Tapi ini sudah larut, dan pekerjaanku belum selesai. Tidurlah lebih dulu, Lusy."

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Christopher berbalik dan duduk di kursi kerja yang ada di sudut kamar, meja yang biasanya dipakai oleh Mia. Ia membuka laptop, dan cahaya layar segera menyinari wajahnya yang kini tampak lebih tegang.

Lusy menarik napas panjang dan menghela napas berat, lalu membaringkan dirinya di kasur. Meski matanya terpejam, pikirannya justru semakin liar.

'Selalu seperti ini... Padahal, aku tahu betul bahwa dia menyukaiku. Tatapannya... caranya menyebut namaku... semuanya begitu penuh dengan perasaan.'

'Lalu mengapa... mengapa dia tidak pernah sekali pun menyentuhku?'

Malam itu seharusnya menjadi malam yang berbeda. Ia sudah merencanakan semuanya. Gaun tidurnya, aroma tubuhnya, bahkan segelas anggur merah yang ia siapkan sebelumnya. Tetapi Christopher tetap saja menjauh.

'Dia bahkan menolak tidur bersamaku, padahal dia yang minum lebih banyak dari siapa pun malam ini. Semua eksekutif mabuk tak karuan. Tapi dia—'

Lusy menghentikan pikirannya. Ia mulai mengatur napas dan berpura-pura tidur. Menanti, dan diam-diam menghitung waktu.

Beberapa menit kemudian, terdengar bunyi kursi yang digeser pelan.

Lalu langkah kaki. Serta suara pintu dibuka dengan hati-hati.

Cklek...

Kemudian pintu ditutup kembali, dengan lembut. Hening kembali merayap memenuhi ruangan.

Lusy sontak bangkit dari posisi tidurnya. Wajahnya memerah karena amarah.

"Dia keluar lagi?!" gerutunya pelan dengan menggertakkan giginya.

Dengan kesal, ia meraih bantal dan melemparkannya ke lantai. Napasnya memburu. Kemudian ia berjalan mondar-mandir, menahan rasa kecewa dan rasa kesal yang semakin menggunung di dalam dadanya.

"Kenapa selalu begini, Chris?! Kalau memang kau menyukaiku, mengapa kau terus menjauh dariku?!" teriaknya pelan pada udara kosong.

Matanya kemudian menangkap sesuatu di sisi lemari. Disana, ditumpukan berkas yang sebagian tertutup jaket kerja Christopher. Dari sela-sela kertas itu, tersembul sebuah amplop cokelat besar.

Dengan penuh rasa ingin tahu, ia meraihnya dengan perlahan. Di permukaan amplop itu tertulis tangan seseorang dengan rapih.

Dengan suara hampir tidak terdengar, Lusy membaca tulisan di bagian depan amplop itu.

"‘Hadiah Ulang Tahun’...?"

Alisnya menyempit. Tangannya menggenggam amplop itu lebih erat, dan jantungnya berdetak lebih cepat.

"Untuk siapa...?" bisiknya, penuh kecurigaan. "Untukku? Atau... untuk orang lain?"

Ia menatap pintu kamar sejenak yang kini telah tertutup dengan rapat, dirasa sudah terlihat aman baginya, ia segera membuka amplop itu.

-🐣-

Di dapur yang masih diselimuti aroma masakan pagi, Mia berdiri di depan wastafel, tangan kecilnya membantu Bibi Im mencuci tumpukan piring-piring. Wajahnya tampak terlihat pucat dan matanya sayu, karena ia tidak tidur semalaman. Bayangan hitam di bawah matanya begitu kontras dengan kulitnya yang terlihat pucat.

“Seharusnya Nona Muda tidur tadi malam,” ucap Bibi Im dengan nada lembut, sesekali melirik gadis muda itu. “Lihatlah wajahmu. Anda tampak sangat lelah.”

Mia menoleh dan berusaha tersenyum, “Aku baik-baik saja, Bi,” sahutnya pelan. “Daripada hanya terdiam di kamar, lebih baik aku membantumu saja.”

Setelah mencuci tangannya, Mia duduk di meja makan. Ia menyendok bubur hangat ke dalam mangkuk kecil, lalu perlahan memasukkannya ke dalam mulut. Tetapi bahkan rasa makanan itu pun terasa hambar di lidahnya.

Dari arah tangga, suara langkah kaki terdengar. Dua sosok perlahan menuruni anak tangga, mereka adalah Christopher, dengan jas hitam rapi dan dasi yang sudah terikat sempurna, serta Lusy, dengan gaun tidur tipis dan rambut yang dibiarkan tergerai berantakan, seolah baru saja bangun tidur.

Christopher sempat menoleh sebentar ke arah Mia. Ia menatapnya sengan singkat, namun menyimpan rasa khawatir yang sulit disembunyikan. Tetapi sebelum sempat lebih lama memandangnya, Lusy meraih tangannya dan menyelipkan jemari mereka dengan manja.

“Chris… Kepalaku pusing sekali pagi ini,” keluh Lusy dengan lembut, suaranya mendayu. “Mungkin karena semalam aku tidur terlalu malam.”

Christopher menoleh, lalu alisnya sedikit berkerut. “Kau baik-baik saja? Mungkin karena pulangnya memang cukup larut tadi malam.”

Lusy tersenyum kecil. “Aku ingin ikut ke kantor hari ini. Mungkin... kalau bisa tidur sebentar di sofa kantormu, aku akan merasa lebih baik. Asalkan kau selalu ada di dekatku.”

Nada suaranya terdengar ringan, namun itu penuh makna tersembunyi yang tidak disadari oleh Christopher. Ia hanya mengangguk tanpa rasa curiga sedikitpun.

“Baiklah. Maaf soal tadi malam, ya. Kau pasti kelelahan.”

Di meja makan, Mia mendengarkan percakapan itu tanpa berkata sepatah kata pun. Sendok yang di tangannya bergetar. Kepalanya menunduk, ia berusaha menyembunyikan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

'Mereka terdengar seperti pasangan yang sempurna di dunia ini... Dan kenapa hatiku terasa sesak seperti ini?'

Ia berusaha menelan makanannya, namun tenggorokannya seolah menolaknya. Bubur hangat itu kini terasa seperti batu yang tersangkut di sana.

Beberapa kemudian Christopher telah menyelesaikan sarapannya terlebih dahulu. Sebelum dirinya bangkit, matanya kembali sempat menoleh ke arah Mia. Tatapan itu, meski hanya sekejap, menyiratkan banyak hal yang tidak terucap.

“Aku tunggu di mobil, Lusy,” katanya kemudian, kemudian dia bangkit dari kursinya dan melangkah keluar.

Lusy menoleh pada Mia dan tersenyum tipis, senyuman yang terasa seperti pisau yang menusuk dengan diam-diam. Ia menyusul Christopher, dan melenggang ringan dengan kepuasan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Begitu suara pintu utama tertutup, Mia meletakkan sendoknya dengan perlahan. Ia tidak menyentuh makanannya lagi. Kemudian matanya kosong menatap bubur yang ada di mangkuknya.

Bibi Im yang sejak tadi menahan diri, akhirnya tidak sanggup diam. “Yang dilakukan wanita itu hanyalah merayu Tuan Christopher,” gumamnya geram. “Dasar tidak tahu malu. Saya benar-benar tidak menyangka Tuan Chris membawanya dan menginap di rumah ini.”

Mia tidak menjawab. Ia hanya diam dan menunduk, seolah segala beban telah menekuk bahunya yang ringkih.

“Dia sudah memperingatkanku, Bi,” bisiknya akhirnya, suaranya lirih. “Bahwa aku… tidak lebih dari seseorang yang bisa ditinggalkan kapan saja.”

Wajah Bibi Im berubah murung. Ia mengusap tangan Mia dengan lembut. “Kalau bukan karena ibunya Tuan Chris yang bersikeras mempertahankanmu di keluarga ini, perceraian itu sudah lama terjadi, Nona…”

Mia menatap keluar jendela. Hujan tipis mulai turun, membasahi kaca dan menyelimuti pagi ini dengan rasa dingin yang menusuk.

“Entah… sampai kapan semua ini harus aku tahan…” gumamnya lirih.

Melihat suasana yang semakin suram, Bibi Im mencoba mengganti topik.

“Ngomong-ngomong… Bagaimana persiapan pesta ulang tahun Tuan Chris?” tanyanya lembut.

Mia menghela napas pendek. “Hampir selesai. Seperti biasa, Ibu mertua yang menanganinya sendiri.”

Bibi Im berdiri, lalu menepuk bahu Mia dengan pelan. “Kalau anda butuh tempat untuk bercerita, saya ada di sini. Jangan pendam semuanya sendiri, ya?”

Mia tersenyum tipis. Tetapi senyum itu tidak mampu untuk menyembunyikan air mata yang mulai memenuhi matanya. Butiran bening itu akhirnya jatuh juga.

***

Pintu ruang kerja milik Christopher itu berderit pelan, membuka jalan bagi seorang pria tinggi dengan setelan jas kelabu arang yang tampak kontras dengan cahaya pagi yang menyusup dari jendela besar. Christopher melangkah masuk dengan langkah yang mantap, namun matanya langsung menyipit saat melihat seseorang duduk santai di kursi kerjanya.

“Jaeha?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. “Apa kau sedang mengajukan diri sebagai Direktur baru? Haruskah aku mulai memanggilmu ‘Direktur Kang’ sekarang?”

Pria yang dipanggil Jaeha itu tidak langsung menjawabnya. Ia hanya melirik dari balik dokumen yang sedang ia telaah, lalu tersenyum tipis.

“Hampir saja,” balasnya santai. “Jika kau terus bertingkah bodoh seperti biasanya, bukan hal yang mustahil jika ibumu akan benar-benar menyerahkan perusahaan ini padaku.”

Christopher menutup pintu dengan satu hentakan pelan namun tegas. Suara kayu yang bertemu kusen seakan menggema di udara yang kini memanas oleh tensi diam-diam di antara mereka.

“Lucu sekali,” gumamnya dengan nada getir. “Bahkan tanpa aku bertingkah bodoh pun, ibuku tetap lebih menyukaimu dibandingkan dengan putranya sendiri.”

Tawa kecil keluar dari mulut Jaeha, meski tidak sepenuhnya terdengar hangat. “Itu karena aku lebih bisa diandalkan. Bahkan sejak kecil pun, aku yang selalu bisa membereskan kekacauanmu, bukan begitu?”

Christopher menghela napas dan mengambil tempat duduk di kursi tamunya sendiri. Ia tahu, perdebatan ini tidak akan membawa hasil, tetapi tetap saja ia menanggapinya, karena Jaeha adalah satu-satunya orang yang mampu menusuk hatinya sekaligus mengingatkan bahwa ia masih memiliki batas.

“Kali ini, berapa lama kau akan tinggal di Seoul?” tanyanya kemudian, berusaha untuk mengalihkan topik.

“Sampai ulang tahunmu selesai,” jawab Jaeha ringan. “Setelah itu, aku harus meninjau ulang beberapa anak perusahaan. Ada beberapa laporan yang mencurigakan. Lalu aku akan kembali ke kantor pusat.”

“Apakah ini perintah dari Ibuku?” tanya Christopher tanpa ragu.

Jaeha mengangguk. “Termasuk mengenai Hybe Group. Itu juga keputusan dari Nyonya Besar.”

Christopher menyipitkan mata, ia tidak menyukai arah pembicaraan itu. “Hybe Group? Bukankah kerja sama kita dengan mereka berjalan dengan lancar? Kenapa tiba-tiba dia memintaku yang turun tangan? Dia tahu aku bukan orang terbaik dalam urusan seperti itu.”

“Karena aku menolaknya,” jawab Jaeha tegas.

Christopher menoleh tajam. “Kau menolaknya? Kenapa?”

Wajah Jaeha berubah menjadi serius. Tatapannya menusuk dan tidak menyisakan kelakar sedikit pun.

“Karena ketua Hybe itu menjijikkan. Cara dia menatapku… seperti menguliti seseorang dari dalam. Aku tidak bisa menjamin tidak akan memukulnya jika kami duduk di satu ruangan lagi.”

Christopher terdiam sejenak, lalu terkekeh kecil. “Kau memang selalu terlalu sensitif pada orang seperti itu.”

“Karena aku mempunyai harga diri,” desis Jaeha. “Dan aku sangat tidak tahan melihat orang sepertinya yang merasa paling berkuasa di dalam ruangan, padahal bau busuk moralnya saja sudah menyebar ke mana-mana.”

Christopher mengangguk pelan. Ia memutar kursi, dan menatap ke luar jendela yang mengarah ke taman belakang, tempat di mana sinar matahari menari-nari di antara dedaunan.

“Bertahanlah. Setidaknya sampai pesta ulang tahunku lewat. Kita bisa bicarakan lagi nanti.”

Jaeha mendengus. “Jika dia hadir di pesta itu… aku mungkin harus berdoa agar tidak meninju wajahnya di depan semua tamu nanti.”

Sebuah senyum pahit terbit di bibir Christopher. “Aku pun tidak yakin bisa menahan diri, jika dia berani bermacam-macam.”

Jaeha menatap Christopher dalam-dalam. Kali ini, nadanya lebih lembut, namun sarat makna.

“Kau sudah cukup bersabar menghadapi banyak hal, Chris. Tetapi itu bukan berarti kau harus membiarkan dirimu terus dipermainkan oleh mereka. Termasuk oleh orang-orang yang kau sayangi.”

Christopher tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, matanya masih terpaku pada jendela yang kini terasa seperti dunia lain yang tidak bisa ia jangkau.

“Termasuk diriku sendiri yang mempermainkan takdirku?” gumamnya pelan.

Jaeha memalingkan wajahnya. Ia tahu, luka di dada Christopher bukan sekadar luka karena bisnis atau tekanan keluarganya.

“Kau masih mencintainya, bukan?” tanyanya pelan.

Christopher tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun keheningan itu berkata lebih dari cukup.

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!