Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akar Yang terkubur
“Kamu bukan orang sini,” gumam seorang lelaki tua menatap Aryo dari balik kerutan mata yang dalam
“Saya putra dari Prayitno atau cucu dari Ningsih. Dulu Nenek dan ayah saya tinggal di sini sebelum merantau ke kota. Saya ingin tahu tentang masa lalunya.”
Kakek itu mengangguk pelan. “Kalau begitu, kamu harus berbicara dengan Mbah Tarmi. Dia adalah satu-satunya orang yang masih hidup dari generasi sebelum ibumu.” jawab pria tua itu
Aryo pun mengikuti petunjuknya, menuruni jalan setapak menuju rumah panggung tua yang hampir runtuh. Di sanalah Mbah Tarmi tinggal.
Seorang wanita tua renta, tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang, tapi matanya masih menyala penuh api.
“Ningsih, ya?" katanya setelah Aryo menjelaskan maksud kedatangannya.
“Anak itu memang beda sejak lahir. Ningsih, Nenek mu itu, ya... Dia punya garis darah dari dukun perempuan terakhir di desa ini.”
Aryo menegakkan punggung.
“Dukun?” ucapnya kaget
“Betul. Dan dia bukan sembarang dukun, Le. Tapi sedulur papat limo pancer yang benar-benar bisa memisahkan jiwa dari raga. Leluhurmu melakukan perjanjian dengan Sing Ndoro Alas, penjaga hutan keramat di bukit sebelah utara.” terang wanita itu
Aryo terdiam. Nama itu terasa asing, tapi auranya menggetarkan.
“Dulu, setiap tujuh windu, harus ada satu anak yang dikembalikan ke hutan. Bukan dibunuh, tapi diserahkan untuk menjadi pelayan dunia bawah. Dan itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun, sampai nenek mu menolak.”
“Menolak?” Aryo mengerutkan kening.
“Nenek mu adalah satu-satunya orang yang kabur dari perjanjian itu. Tapi seperti yang kamu tahu, tidak ada yang benar-benar bisa lepas. Ia lari ke kota, lalu...mungkin kau sudah tahu sisanya.”
Aryo teringat akan rumah angker Nyonya Suryati. Tentang bagaimana ibunya hilang dan akhirnya diketahui menjadi salah satu tumbal. Jadi ini bukan soal rumah semata. Ini tentang garis darah.
“Aku harus ke bukit itu,” ujar Aryo dengan mantap.
Mbah Tarmi menatapnya dalam.
“Jika kamu ke sana, jangan pernah mengucapkan nama aslimu. Dan... bawa ini.” Ia merogoh saku kainnya dan menyerahkan sebilah belati kecil berukir aksara kuno.
“Ini dari leluhurmu. Hanya keturunannya yang bisa menyentuh tanpa luka.”
Aryo menggenggamnya. Ada hawa panas mengalir dari logam tua itu ke kulitnya. Tapi ia tak merasa sakit. Justru seperti... disambut.
Aryo mendatangi Alas Wengi untuk mengetahui lebih dalam tentang silsilah keluarganya.
Perjalanan menuju ke Bukit Alas wengi tak mudah. Medan terjal, jalanan tertutup ilalang, dan udara semakin berat makin mendekati puncak. Namun Aryo tak berhenti. Tekadnya sudah bulat. Ia tahu, ini bukan sekadar pencarian. Ini adalah sebuah misi penyelamatan jiwa-jiwa yang masih terikat pada dosa masa lalu.
Di tengah hutan, ia menemukan sebuah gapura batu tertutup lumut. Lambang seperti ular melingkar tergurat di tengahnya, bersama tulisan dalam aksara Jawa.
Wong kang mlebu tanpa donga, bakal ilang tanpa warta.
( Orang yang masik tanpa doa, akan hilang tanpa berita )
Langkahnya perlahan memasuki wilayah itu. Hening mencekam menyelimuti sekeliling. Tidak ada suara burung, tidak ada suara serangga hutan, ataupun semilir angin. Hanya suara langkahnya sendiri di atas daun-daun kering.
Di tengah area lapang, ia melihat sebuah altar batu, di atasnya, nampan sesaji penuh bunga, kepala ayam, dan minyak hitam. Seperti ada yang sengaja menyiapkannya.
Tiba-tiba, sosok hitam muncul dari balik pepohonan. Tinggi, berjubah kabut, wajahnya samar, seperti selalu berubah bentuk.
“Keturunan Ningsih....” gumamnya dalam suara yang seperti suara seribu orang.
Aryo menggenggam belati.
“Aku datang untuk mengakhiri ini. Tidak akan ada lagi anak-anak yang akan dikorbankan. Tidak akan ada lagi perjanjian antara manusia dengan setan.” jawabnya
Sosok itu tertawa. Suaranya menggema, membuat daun-daun berguguran. Awan hitam bergerak cepat mengubah langit yang cerah menjadi gelap.
“Perjanjian itu dibuat oleh darah keluarga mu. Kamu tak bisa menghapusnya begitu saja. Jiwa-jiwa itu... Semuanya milik ku.”
“Tidak!” Teriak Aryo
Ia menikamkan belati ke tanah di depan altar. Sebuah cahaya merah menyala dari tanah, membentuk lingkaran api di sekelilingnya.
Ia mulai melafalkan mantra yang diberikan Mbah Tarmi. Kata demi kata dari bahasa kuno, yang mengguncang udara.
Angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan kering.
Sosok itu meraung. Wajahnya merah menyala. Ia begitu murka lalu melesat ke arahnya. Tapi lingkaran api menghalau makhluk itu. Ia terhempas ke tanah. Ia begitu geram karena tak bisa menyentuh Aryo.
Aryo terus membaca mantra, meski darah mulai menetes dari hidungnya, dan matanya mulai berkunang-kunang.
Ia merasakan tubuhnya begitu sakit, seperti di tusuk ribuan jarum. Ia harus kuat meskipun Aryo tahu jika kekuatan yang dihadapinya begitu besar yang bisa saja merenggut nyawanya.
Dengan satu jeritan terakhir, sosok hitam itu terhempas dan membubung ke udara, berubah menjadi abu dan menghilang bersama angin.
Sunyi. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Bahkan daun pun enggan jatuh dari batangnya.
Kemudian, sebuah cahaya lembut menyelimuti altar. Sosok-sosok samar mulai bermunculan. Wajah-wajah dari masa lalu. Satu persatu dari mereka muncul dari altar itu. Di antaranya, Ningsih. Aryo melihat wanita itu. Ningsih,
“Nenek?” bisiknya.
Sosok itu tersenyum, lalu menghilang perlahan.
Aryo merasa aneh, kenapa ia tidak melihat ayahnya.
Dari sekian banyak jiwa yang ia bebaskan tak ada sosok ayahnya itu.
"Kenapa aku tidak bertemu dengamu, sebenarnya dimana kamu berada ayah??"
Aryo jatuh terduduk. Tubuhnya lelah, tapi jiwanya harus kuat agar ia bisa tetap hidup. Untuk pertama kalinya terasa ringan, hingga semuanya berubah gelap.
Keesokan harinya, desa Karangjati diguyur hujan lebat. Tapi tidak seperti sebelumnya, kali ini hujan itu membawa rasa damai. Penduduk merasa ada sesuatu yang terangkat dari tanah itu. Sebuah beban lama yang akhirnya terlepas. Jiwa-jiwa yang terbebas dari kutukan.
Sementara itu Aryo berdiri di pinggir pemakaman tua desa. Ia menaburkan bunga di atas pusara tanpa nama.
Meskipun ia tidak tahu siapa mereka. Namun ia yakin mereka adalah orang-orang di jadikan sebagai tumbal.
“Untuk semua yang tak sempat dikenang. Aku akan menjaga agar tidak ada lagi yang menjadi tumbal.” ucapnya
Ia menatap langit. Hujan mulai reda. Cahaya mentari perlahan muncul dari balik awan.
Dan untuk pertama kalinya Aryo tersenyum.
Langit sore menggantung kelabu ketika Prayitno kembali menapaki tanah tempat rumah kutukan itu dulu berdiri. Sekarang, rumah tersebut telah menjadi taman kota. Pepohonan rindang, bangku-bangku kayu, dan pancuran air berdiri di atas lahan yang dulu menjadi saksi penderitaan keluarga Prayitno. Namun, meski mata kasat memandang taman yang asri, di balik itu ada aroma anyir yang tak hilang. Seperti bau tanah basah yang bercampur darah. Seperti bisikan jiwa-jiwa yang belum tenang.
“Di sinilah semuanya bermula,” gumam Prayitno,
jd ngeri