Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25 Omelan Shana
...
....
.......
.......
Sore hari menjelang malam ketika Shana selesai latihan voli.
Shana berbaring di atas lantai depan tv. Tubuhnya lelah. Latihan voli tadi begitu intens. Karena pertandingan hanya tinggal menunggu hari.
"Gimana soal kartu pelajarku ya?" pikiran Shana melayang pada siang tadi. Dimana ia melihat pak Regas meletakkan kartu itu di meja. "Kalau dia sudah tahu aku menipunya, kenapa repot-repot menyimpan dan menunggu aku butuh? Kan bisa aja pertama melihatku, dia langsung menyodorkannya untuk memaksaku mengaku."
Suara deru motor terdengar di luar halaman. Nampaknya bibi Raisa pulang. Shana langsung bangkit dan menunggunya di ambang pintu.
"Wah, tumben banget keponakanku ini menyambut ..." Bibi Raisa merasa istimewa mendapat sambutan. Namun ketika ia mendekat, jarinya langsung menyentuh hidung. "Kamu belum mandi ya?" tanya Raisa ketika merasakan aroma yang tidak nyaman.
Shana acuh.
"Kenapa anak gadis jam segini belom mandi, hah?! Jangan jadi anak yang jorok." Raisa protes.
"Aku capek. Baru pulang latihan voli."
"Benarkah?" Suara Raisa langsung tenang. " ... tapi juga jangan jadi orang yang jorok dong. Bibi enggak mau punya ponakan bau asem. Cepat mandi." Tangan Raisa bergerak mengibas untuk mengusir keponakannya. Dia enggan menyentuh Shana.
Tubuh Shana menyingkir dari ambang pintu. Namun tetap berdiri disana.
"Enggak. Aku mau protes."
"Protes apaan dah?" Raisa melewati Shana dengan menggelengkan kepala. Perempuan itu berusaha mengabaikan keponakannya. Dia tidak mau melihat drama.
"Tadi siang, Pak Regas tahu kalau aku adalah perempuan yang menemuinya di cafe," ungkap Shana dengan cepat karena Raisa mempercepat langkah ingin menjauh dari dirinya.
Mendengar itu, langkah Raisa berhenti.
Karena gadis itu bicara cepat, Raisa yang tadinya abai, tidak mampu mendengar dengan baik. Namun sekilas tadi Raisa mendengar nama Regas dan cafe.
"Ulangi. Katakan dengan pelan dan jelas." Jari Raisa menunjuk ke arah Shana.
"Pak Regas tahu kalau aku adalah perempuan yang dia temui di cafe itu." Shana mengikuti arahan Raisa.
"Bukankah dia memang tahu kalau kamu adalah perempuan yang menemuinya di cafe? Kenapa sekarang heboh?" Otak Raisa masih ingat soal itu.
"Aku kan bilang kalau Pak Regas mengira aku adalah perempuan yang bertemu dengannya di cafe. Dia hanya mengira-ngira, tapi sekarang beda. Pak Regas punya bukti kalau aku memang perempuan yang ada di cafe waktu itu."
"Bukti ..."
"Waktu itu kan aku juga bilang sama bibi kalau Pak Regas bicara soal bukti, tapi bibi abai karena aku belum di keluarkan dari sekolah." Shana ngomel dengan gusar.
Raisa diam sambil berpikir. "Ah, ya bukti." Dia ingat. "Memangnya bukti apa yang meyakinkan dia kalau kamu dan perempuan yang di cafe adalah orang yang sama?"
"Kartu pelajar. Pak Regas menyimpan kartu pelajarku."
"Benarkah?" Jika tadi Raisa masih terlihat santai, kali ini dia terkejut. "Ayo kita bicara sambil duduk. Bibi capek." Meskipun terkejut, Raisa masih sempat mencari tempat yang bagus untuk bicara.
Akhirnya mereka berdua duduk di sofa di depan tv.
"Jadi dia sudah menangkap mu?" tebak Raisa.
"Ya." Dengan wajah cemberut, Shana menjawab.
"Terus gimana, apa kamu harus keluar dari sekolah?"
"Enggak, tapi Pak Regas tetap menahan kartu pelajarku karena aku belum meminta maaf dengan benar."
"Oh begitu. Jadi ... Ya minta maaf sajalah. Kan setelah itu pak guru mu itu bakal memaafkan mu." Bibi Raisa selalu tampak santai. Bahkan ketika beliau menyarankan hal ini, sampai Shana melebarkan matanya karena terkejut dengan saran yang meremehkan itu.
"Bibi! Bibi ini gimana sih? Kok bisa sesantai itu?!" teriak Shana tidak setuju.
Raisa menutup telinganya karena pekikan Shana dan meringis.
Setelah yakin Shana tidak lagi berteriak, Raisa menurunkan tangannya. "Ya terus gimana? Kan memang jalan terbaik kalau kita bikin salah adalah meminta maaf?"
Tidak ada yang salah dengan kalimat Raisa, tapi Shana merasa tidak setuju.
"Seharusnya bibi juga minta maaf dong. Barengin aku kek, buat minta maaf ... Bukan malah sesantai ini." Shana gusar. Tubuhnya bergerak dengan kesal.
"Ya entar malah heboh dong kalau bibi juga ikutan minta maaf."
"Kan yang salah bibi juga. Emang langsung nolak ketika teman bibi minta menemui pak Regas, enggak bisa? Pake minta gantiin kencan segala."
"Ya itu sudah terlanjur terjadi Shan."
"Yang kena jadinya aku. Bibi enak-enakan di kantor tanpa mikirin aku."
"Ehhh ... kata siapa bibi enggak mikirin kamu." Raisa mendekat dan mengusap rambut Shana.
"Enggak usah pakai sok perhatian." Shana mendorong tangan bibi dari atas kepalanya.
"Ihhh, bibi emang perhatian kok." Raisa tidak begitu saja mundur untuk mengusap kepala keponakannya. Dia kembali mengelus puncak kepala Shana. "Maafin bibi, tapi jalan terbaik adalah memang meminta maaf."
"Ceramah ... Giliran waktu bikin salah aja, enggak kepikiran," omel Shana.
"Hahaha. Dengerin ae, ah." Raisa geli. "Pokoknya kalau kamu bisa meminta maaf dengan baik dan di ampuni sama Pak Regas, bibi akan memberi ..."
"Lagi-lagi nyogok ... Tadi ceramah, sekarang mau nyogok," cecar Shana.
Raisa tertawa lagi. "Udah jangan bawel. Merta bilang Regas orang baik, jadi enggak mungkin dia bakal cerita ke banyak orang kalau ditipu kamu. Pokonya kamu meminta maaf dengan tulus."
"Hhh ..." Shana menghela napas berat mendengar nasehat bibinya.
"Sudah, Sono mandi gih. Bau asem." Telunjuk Raisa mendorong keponakannya dengan meringis.
"Bibi ...," erang Shana geram.
***
Ting! Ada pesan masuk. "Shan, bisa ke cafe gak? Ada kerjaan buat kamu." Shana yang membaca pesan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Wah, ada hal baik nih. Tambahan uang saku lagi." Wajah Shana cerah.
"Oke." Ketik Shana lalu menekan tombol kirim. Setelah itu ia segera berganti pakaian.
Pintu kamar terbuka perlahan. Shana melongok dari balik pintu lemari pakaian. Bibinya muncul di ambang pintu.
"Apa?"
"Kamu enggak mau keluar?" tanya Raisa.
"Ya. Aku ada perlu."
"Bagus. sekalian titip belikan buah ya."
"Ya." Shana menarik kepalanya dan kembali fokus ganti pakaian.
"Seperti biasa ya ..."
"Ya." Lalu Shana ingat sesuatu. Kepalanya menyembul lagi dari pintu lemari pakaian yang terbuka. "Emang bibi enggak ada janji? Ini malam minggu lho."
"Aku bukan remaja. Enggak malam mingguan juga enggak apa-apa."
"Paling pacar bibi enggak ngajak kencan ya ...," ledek Shana.
"Bukan. Dia ada janji dengan temannya."
"Bibi terabaikan dong." Shana semangat meledek bibinya.
"Enggak. Temannya kali ini istimewa. Sahabatnya. Jadi bibi bukan terabaikan, tapi tersisih ..."
Shana tertawa mendengar bibinya meledek dirinya sendiri.
"Sudah. Jangan meledek bibi terus. Sana dah keluar. Biar enggak sumpek sama tugas dan latihan voli terus." Bibi Raisa berlalu dari kamarnya.
***
Shana berangkat dengan motor bututnya. Dia enggan memakai motor milik bibinya, karena itu adalah harta bibinya yang berharga. Dia cukup merasa puas dengan motor butut yang di bawa dari kampung.
Suasana cafe terlihat ramai. Mungkin karena ini malam Minggu, jadi banyak pengunjungnya. Shana berjalan masuk, ketika tiba di taman cafe yang letaknya di bagian luar bangunan dia bertemu pekerja cafe yang tengah libur, tampaknya dia sedang berkencan.
"Mau kerja part time, Shan?"
"Belum. Ini masih mau ketemuan sama ketua tim," jawab Shana. Sesaat ia ingat sesuatu. "Kak, hape ku ketinggalan di motor. Aku keluar dulu."
Perempuan itu mengangguk.
Shana berjalan keluar ke area parkir. Lalu mencari handphonenya di lubang dekat setang motor. Ternyata masih rejeki. Handphone-nya masih ada.
.
.
Ig @lady_ve.01
keep fighting 💪