Rio Tyaga hidup dalam kesialan bertubi-tubi. Ayahnya meninggal di penjara dan setelahnya ia hidup serba kekurangan. Ia mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari dari taruhan Drag Race, balap motor liar. Saat itu tiba-tiba motornya hilang, ia kena tipu. Padahal uang jual-beli motor akan ia gunakan untuk hidup sehari-hari dan membeli motor bodong utuk balapan.
Di saat penelusuran mencari motor kesayangannya, Rio terlibat dalam aksi penculikan. Yang diculik oleh kawanan sindikat adalah temannya sendiri, gadis kaya yang populer di sekolah, Anggun Rejoprastowo. Rio berhasil menyelamatkannya dalam keadaan susah payah bertaruh nyawa.
Rio tadinya tidak terlalu kenal Anggun, namun setelah penculikan itu Anggun seakan begitu ketergantungan akan Rio. Tanpa Rio di sisinya ia bersembunyi di sudut kamar, seakan trauma dengan penculikan itu.
Walau benci, akhirnya orang tua Anggun membiarkan Rio si berandal mendampingi Anggun 24 jam 7 hari, termasuk saat Anggun ke sekolah.
Apakah Rio yang dingin akhirnya dapat luluh dengan kedekatan mereka? Bagaimana perasaan Rio sebenarnya? Dan Anggun, apakah memang ada perasaan cinta ke Rio atau hanya memanfaatkannya sebagai bodyguard saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Dimana?
“Jangan pulang ke kontrakan ya Rio, barang-barang kamu sudah ada di rumahku,” Rio menatap layar ponselnya sambil mengernyit.
Saat ini ia dan teman-temannya berada di rumah Arthasewu Connor, bapak Junot, yang garasinya penuh dengan mobil-mobil eksotis. Di sana berjejer segala mobil mewah mulai dari Cayman, Boxers, Bugatti, sampai Koenigsegg. Banyak juga motor-motor besar koleksi bapak Junot mulai dari Royal Enfield, Triumph, sampai BMW. Hal yang di mata mereka sudah biasa.
Yang tidak biasa adalah... di sudut sana, ada Suzuki Satria 120 R/S milik Junot yang tampak dirawat sepenuh hati. Kecil, kalem, tapi mentereng. Karena warnanya pink fanta. Sengaja biar mencolok di kalangan penggemar balap liar.
“8 juta...” gumam Abbas.
“9 juta,” kata Junot.
“Gue ngabisin tabungan gue nih, 8,2 juta lah, gue ambil Satria lo,”
“9 juta, nawar lagi harga gue naikin,” kata Junot tak mau kalah.
‘”Anjay lu. Motor baru lo nangkring di sana, gede, eksotis dan bersahaja. Lu harusnya malah kasih aja itu Staria ke gue gratis, biar gue modif dikit buat jadi raja jalanan,” omel Abbas.
“10 juta,” kata Junot.
“Kenapa jadi naek, Wibuuuu?!”
“Tadi gue bilang, sekali lagi lo nawar, harga gue naikin.” Junot berkacak pinggang.
“Gue pites lu!” seru Abbas kesal.
“Mahal juga ya Satria lu, bisa tembus 10 juta. Tabungan gue cuma ada 5 juta, itu pun akhir bulan baru cair...” Keluh Rio. Tabungan Rio dari hasil bunga deposito dana yang kemarin ditransfer Anggun. Mereka berdua sepakat kalau Pak Banyu menerima 110miliar, Rio 5 miliarnya. Selisihnya untuk biaya pajak. Sementara bunga depositonya jadi untuk hidup sehari-hari kalau Rio dan Anggun berumah tangga kelak.
“Oke, Ambil tuh buat lu Yo! 3 juta aja dah kalo sama lo,” kata Junot langsung.
Abbas melotot.
Sambil melongo tentunya.
“Kenapaaaa!!!!” Ia melepas sepatunya dan melempar Junot.
Junot berhasil berkelit. “Bapak lu kaya. Jajan lu aja mode miskin. Rio kan yatim piatu, motornya dimaling Juhari pulak. Tuh ambil Satria gue, gue yakin bakalan dirawat sama dia,” kata Junot sambil menyerahkan kunci dan BPKB ke Rio. “Bayar kalo ada duit aje,” kata Junot ke Rio.
Rio sambil cengengesan menertawakan tingkah teman-teman Absurdnya.
“Yang kaya kan bapak gue! Bukan gue!” Geruutu Abbas.
“Jajan lu 500ribu sebulan aje lu masih bisa modif motor. Coba kalo jajan lu kayak Ikhsan si Ketos, udah sepabrik motor kali lu beli,”
“Ya kan memang Yudha Mas punya pabrik buat pembuatan beberapa suku cadang,” gerutu Abbas sambi mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan. “Bokap gue aja yang Raja Tega sama anak! Gue beneran anak pungut kayaknya. Si Mecca jajan sebulannya udah kayak Manajer loh! Ada kali dia nerima 15 juta sebulan! Lah gue 500rebuuu!”
“Si Mecca jajan segitu kan emang karena udah perjanjian kalau dia masuk 10 besar dia bakal-“
“Diem Yo! Lu bikin gue Badmood!” Abbas menutup mulut Rio.
Rio hanya tertawa tertahan.
“Nah!!” Meneer datang dan bergabung, “Lu bisa masuk 10 besar seantero kelas 12 gimana caranya Yo? Gue beneran penasaran banget nih!”
“Oh... gue ada mentor baru, jelasinnya enak,”
“Siapa??” tanya Meneer, sepertinya dia terobsesi kemenangan. Pas Herman naik melebihi dirinya saja dia sudah cecar setekanan batin. Sampai Herman muntah-muntah saking gugupnya saat selesai berurusan dengan Meneer.
“Siapa mentor lu yang katanya bagus itu? Jadi dia lebih pinter dong dari lu ya? Guru dari mana? Bersertifikat apa? Lulusan mana!!” Mener maju dan menantang Rio dengan mata berkilat.
Sumpah, tingkah Meneer menyeramkan sekali saat ia menginterogasi seseorang, menurut Rio.
“Neeer, Meneeer, eling Neeer,” Junot mewanti-wanti sambil mengambil obeng ganda. Buat jaga-jaga saja sih.
“Soalnya mencurigakan banget niiiih,” Desis Mener sambil memepet tubuh tinggi besar Rio ke dinding.
Rio hanya cengengesan, Meneernya menatap semakin sinis.
“Waaah, romantis sekali ya kalian berdua ini, sampai himpit-himpitan ke tembok!” sahut Arthasewu Connor, ayah Junot. Ia datang ke Garasi sambil bawa-bawa minuman kaleng buat suguhan.
“Lagi diskusi keras Pah,” kata Junot.
“Ini sepatu siapa di atas Koenigsegg,”
“Buang aja Pah, itu punya anak pungut David Yudha, wekekekekek!” seru Junot sambil menertawakan Abbas.
“Oke,” Pak Artha langusng melemparnya ke tong sampah ujung ruangan.
“Jangan Oooom!” dengan sigap Abbas loncat dan menangkap sepatunya, “Ini sepatu kenangan boleh nawar di Pasar Baru woy!”
“Kalau mama kamu tahu anaknya punya sepatu made in Pasar Baru-“
“Bisa-bisa di sita!” Abbas memotong kalimat Pak Artha, “Mama kan anti kerakyatan!” seru Abbas sambil memeluk sepatunya.
“Kerakyatan itu sila ke -empat itu kan ya?! Gue udah hapal nih sekarang! Nggak tau besok...” kata Agung.
“Kerakyatan apa’an coba gue tanya?!” ucap Meneer lagi-lagi mengetes Agung.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh Tuhan. Ya kan?!” kata Agung dengan pedenya.
“Aliran sesat kayaknya lu.”
**
Rio memainkan game di ponselnya sambil berpikir sementara teman-temannya sambil bersenda gurau mengajari Agung pelajaran untuk remedial hari ke dua.
Cowok itu menghela nafas
Tanpa bilang apa-apa sebelumnya Anggun memindahkan barang-barangnya ke rumah Pak Banyu.
Di sana banyak benda-benda kenangan.
Banyak privasinya.
Banyak dokumen Almarhum ayahnya.
Apakah Rio harus protes? Atau menerima saja semua yang sudah terjadi karena toh Anggun berniat baik terhadapnya.
Rio memang menerima keputusan Pak Banyu untuk menikahi Anggun, mereka tinggal menunggu dispensasi dari Kemendikbudristek mengenai kondisi Anggun yang sebenarnya.
Tapi jujur saja, Rio tidak suka barang-barangnya disentuh tanpa seizinnya, pun itu oleh calon istrinya sendiri.
Jadi, saat Anggun mengiriminya pesan, sekitar satu jam yang lalu, menanyakan kapan Rio pulang, Rio tidak menjawabnya, hanya membacanya saja. Telepon Anggun juga tak dijawab.
Ia sedang agak kesal.
Sampai, Abbas mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal.
“Halo?” sapa Abbas lewat telepon. Sesaat keningnya berkerut mendengarkan suara dari seberang, lalu ia pun menyerahkan ponselnya ke Rio , masih dengan kening berkerut.
“Apa?” tanya Rio.
“Anggun nih, nyari lo,”kata Abbas.
“Eh?” Rio menaikkan alisnya. Tapi ia terima juga ponsel Abbas.
Yang lain juga jadi hening dan menatap Rio seakan ada setan bergelayut di pundak cowok itu. Karena menurut mereka aneh saja kalau Anggun sampai mencari Rio. Secara sepengetahuan mereka, keduanya tidak pernah mengobrol kalau di sekolah. Anggun siswi berprestasi dan bintang sekolah, Rio siswa pemberontak dan penjahat sekolah.
Kalau Anggun lapisan langit ke tujuh, Rio adalah inti bumi.
Jauh lokasinya.
Secara keluarga juga tidak dekat. Bukan satu circle, dan tidak saling mengenal.
Mau tak mau, Rio berdiri dan pamit ke teman-temannya untuk berbicara dengan Anggun di ruangan lain, di luar jangkauan teman-temannya.
“Ada ap-“
“Kamu dimana? Di rumah siapa? Kenapa kamu belum pulang? Apa yang terjadi?” terdenga suara Anggun yang panik.
“Kamu tidak angkat teleponku, WA juga tidak dibalas! Kamu baik-baik saja kan Rio? Kondisi kamu gimana? Terakhir aku melihat kamu di kantin bersama teman-teman kamu, jadi aku hubungi Mecca mencari tahu keberadaan Abbas. Abbas pasti sedang bersama kamu, setidaknya itu yang kutahu!” pertanyaan demi pertanyaan langsung memberondong Rio.
Rio hanya bisa diam.
Baru kali ini ada yang menanyakan tentang kabarnya, selain teman-temannya.
Kedua Almarhum orang tuanya bahkan tidak pernah menanyakan kondisinya. Ibunya memiliki kapasitas ingatan dan kesehatan, bapaknya sibuk bekerja. Rio dilepas begitu saja dengan uang haram bapaknya.
“Rio? Rio jawab dong! Aku harus tahu kamu baik-baik saja!!” seru Anggun. Sepertinya cewek itu kembali terkena panic attack.
“Aku harus jawab yang mana duluan Tuan Putri? Kamu nanya tanpa spasi, dikira aku ngeh kamu ngomong apa’an barusan?!”
“Jawab yang mana saja!” jerit Anggun.
Rio menunduk menatap sepatu bututnya sambil cengengesan, “Aku baik-baik saja dan aku juga sayang kamu.”
Anggun diam.
Hening dari seberang telepon.
Tiga detik tanpa suara Anggun, akhirnya Rio angkat suara. “Barang-barangku jangan disentuh dulu, aku saja yang menata,”
“A-a-aku...” lalu Anggun kembali terdiam.
“Iya, kamu lancang. Tapi kumaafkan karena aku sayang kamu.” Desis Rio sambil bersandar ke tembok.
“Maaf... A-a-anu... kalau kamu mau, sebagai ganti kelancanganku, kamu boleh sentuh barang-barangku tanpa izinku. Mau kamu bakar baju-bajuku juga terserah, ambil itu semua tas brandedku kamu apa in juga terserah!” seru Anggun.
Rio terkekeh geli mendengar reaksi Anggun. “Yang paling ingin kusentuh bukan berupa benda. Tapi sosok.”
“Sosok apa?”
“Sosok Batari dari Firdaus, namanya Anggun Rejoprastowo,”
“Ehm...” terdengar deheman Anggun.
“Aku pulang sekarang.” Desis Rio sambil menutup teleponnya.
Saat ia kembali ke kamar Junot, semua menatapnya masih dalam keheningan. Menuntut penjelasannya.
Meneer yang buka suara duluan, “Kok Anggun nyariin lo?”
Rio menyeringai, “Gue balik duluan. Baik-baik lu pada, jangan cubit-cubitan ye!” dan dia pun langsung kabur dari sana menuju ke garasi untuk sekaligus membawa Satria milik Junot.
mewakili netijen