Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
✨ Versi Revisi Lengkap
Pagi itu, di rumah sakit, Alea duduk di tepi ranjang dengan tubuh lemah dan wajah pucat. Tatapannya kosong, menembus dinding kamar yang serba putih. Perawat membantu membereskan barang-barang kecil di meja—bungkus obat, botol air mineral, dan pakaian yang sempat ia kenakan semalam. Dokter pun sempat datang sebentar, memberi beberapa pesan tentang obat dan pantangan makanan.
“Bu Alea, sudah bisa pulang ya,” ujar perawat ramah, mencoba tersenyum. “Nanti ada keluarga yang jemput?”
Alea mengangguk pelan. “Ibu saya… sebentar lagi datang,” jawabnya lirih. Suaranya begitu pelan, nyaris tenggelam di antara dengung mesin infus.
Bekas jarum di tangannya masih membiru, tapi yang lebih menyakitkan justru ruang kosong di dadanya—ruang tempat seharusnya janin kecil itu bertumbuh.
Anak yang baru sempat disapa dalam doa kini telah pergi.
Suami yang seharusnya menggenggam tangannya malah lenyap entah ke mana.
Hatinya seperti rumah tua yang ditinggalkan pemiliknya—sunyi, dingin, berdebu.
---
Sementara itu, ratusan kilometer dari sana, di Surabaya, Faizan duduk tegap di kursi ruang rapat panjang. Wajahnya serius, tak menyisakan sedikit pun kelembutan. Di depannya, proyektor menampilkan grafik penjualan; angka-angka naik turun memenuhi layar, dibacakan oleh manajer dengan nada tegang.
“Pak Faiz, target kuartal depan perlu disesuaikan,” kata salah satu manajer berhati-hati.
Faizan hanya mengangguk tipis, jarinya mengetuk pelan permukaan meja. Tatapannya tajam, fokus pada angka—bukan pada wajah siapa pun di ruangan itu. Dunia pribadinya semalam seolah tidak pernah ada.
Ponselnya bergetar di atas meja. Nama “My Mom” berkedip di layar.
Sekali lirikan singkat, lalu pandangannya kembali ke grafik. Ia bahkan tidak berniat mengangkat.
Bagi Faizan, rapat ini nyata.
Ambisi dan pekerjaannya nyata.
Sedangkan kabar dari rumah sakit itu… hanyalah gangguan yang tak pantas disimpan dalam pikirannya.
---
Di rumah sakit, langkah Ibu Maisaroh terdengar terburu di koridor. Napasnya memburu, matanya sembab karena kurang tidur. Begitu melihat Alea duduk di tepi ranjang—lemah, pucat, dan dengan mata kosong—hatinya langsung meremuk.
“Alea…” panggilnya lembut, suaranya bergetar tapi penuh kasih. Ia mendekat, menggenggam tangan menantunya itu. “Ayo, Nak… kita pulang, ya.”
Alea menatapnya sebentar, lalu mengangguk. Tidak ada kata, hanya anggukan pelan yang terasa lebih berat daripada menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, keheningan menyelimuti mobil. Hanya suara mesin dan desah napas yang terdengar. Ibu Maisaroh sesekali melirik Alea lewat kaca spion—wajah menantunya itu tampak begitu kosong, sementara pikirannya sendiri sibuk menahan kecewa pada putra yang kini terasa asing baginya.
“Nak,” ucapnya pelan, “di rumah nanti kamu langsung istirahat, ya. Jangan pikirkan apa pun dulu.”
Alea hanya menjawab dengan anggukan samar. Pandangannya menatap langit mendung di luar jendela—warna abu-abu yang seolah tahu betapa sunyinya hati seorang wanita yang baru kehilangan segalanya.
---
Sementara itu, di Surabaya, rapat usai. Para direktur satu per satu meninggalkan ruangan, tapi Faizan masih duduk di tempatnya. Ia menatap layar laptop, jemarinya bergerak cepat mengetik catatan.
Ponselnya kembali bergetar.
Pesan dari ibunya:
> “Alea sudah di rumah. Kondisinya lemah.”
Faizan menatap layar itu lama, lalu menarik napas dalam. Matanya menutup sejenak—entah untuk menahan sesuatu, atau justru memastikan tidak ada yang perlu ia rasakan.
Beberapa detik kemudian, layar ponsel mati kembali. Ia melanjutkan pekerjaan seperti biasa.
Bagi Faizan, keluarga hanyalah masa lalu yang tak boleh lagi menahan langkahnya.
---
Di rumah, Alea berjalan pelan memasuki ruang tamu. Ibu Maisaroh menuntunnya, langkah mereka lambat tapi pasti. Aroma teh hangat menyambut dari dapur—Bi Iyem sedang menuangkannya ke cangkir.
“Di sini saja, Nak. Ibu ambilkan teh hangat dulu,” ujar Ibu Maisaroh lembut, menepuk punggung Alea.
Alea tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Sinar matahari menembus tirai tipis, menciptakan bayangan yang lembut di lantai.
Ia ingin menangis, tapi air matanya seolah sudah habis. Yang tersisa hanyalah perasaan kehilangan—tajam, sunyi, tak bisa dijelaskan.
---
Malam mulai turun di Surabaya. Lampu-lampu jalan memantul di kap mobil Faizan yang melaju cepat. Rapat panjang, angka, dan strategi masih berputar di kepalanya. Ia belum makan, belum istirahat, tapi pikirannya penuh target.
Di perempatan yang agak sepi, mobilnya sedikit terlalu cepat. Pikiran Faizan mengembara—tentang proyek, bukan tentang rumah atau Alea.
Tiba-tiba—
BRAK!
Sebuah tubuh terpelanting ke depan mobil. Seorang gadis muda dengan tas punggung besar jatuh menghantam aspal.
Faizan tertegun. Napasnya tersengal. Tangannya refleks menginjak rem keras-keras.
Jantungnya berdegup kencang.
“Ya Tuhan…” desisnya. Ia segera keluar dari mobil, berlari kecil menghampiri gadis itu yang meringis menahan sakit.
“Hey… kamu bisa dengar saya?” suaranya rendah tapi cepat, masih dengan nada tegas khasnya.
Gadis itu mencoba bangkit tapi gagal. Wajahnya pucat, kakinya tampak terkilir. Jalanan sepi, udara malam terasa berat. Tanpa pikir panjang, Faizan berjongkok di depannya.
“Jangan bergerak dulu,” katanya. Ia memapah gadis itu dengan hati-hati menuju mobil. “Saya bawa kamu ke tempat aman.”
Dengan susah payah, gadis itu ia bantu masuk ke kursi penumpang. Faizan menyalakan mesin dan memacu mobil menuju hotel tempat ia menginap. Wajahnya tegang, pelipisnya berembun keringat, tapi nada suaranya tetap terkendali—datar, nyaris seperti robot.
Setibanya di hotel, ia membawa gadis itu masuk ke kamarnya. Gadis itu duduk di sofa, menahan nyeri di pergelangan kakinya. Faizan mengusap wajahnya kasar, lalu mengeluarkan ponsel dan menekan nomor asistennya.
“Raka, datang ke hotel sekarang. Ada urusan darurat,” suaranya dingin. “Saya menabrak seorang gadis. Pastikan semuanya beres.”
Suara Raka di seberang terdengar gugup tapi cepat menjawab, “Siap, Pak. Saya segera ke sana.”
Faizan menutup telepon, lalu berjalan mondar-mandir di kamar. Kepalanya penuh—bukan oleh rasa bersalah, tapi oleh keharusan agar masalah ini tidak mencoreng reputasi atau mengganggu ritme hidupnya yang teratur.
Tak sampai setengah jam, suara ketukan terdengar di pintu.
Tok… tok… tok…
“Pak Faiz, ini saya, Raka!” suara itu datang dari luar, terdengar cemas.
Faizan membuka pintu. Raka berdiri di sana, wajahnya tegang, membawa tas kerja dan ponsel. Begitu melihat gadis di sofa, ia langsung paham situasi.
“Pak, saya sudah hubungi dokter. Sepuluh menit lagi dia akan sampai,” ujarnya cepat. Lalu ia menatap gadis itu dengan sopan, “Mbak, mohon sabar sebentar ya. Dokter sedang di jalan.”
Gadis itu hanya mengangguk pelan. Tangannya menggenggam lututnya, menahan nyeri. Raut wajahnya campuran antara takut dan bingung.
Beberapa menit kemudian, dokter datang bersama perawat. Pemeriksaan dilakukan di kamar hotel.
“Tidak ada tulang yang patah, tapi bengkaknya parah. Ini keseleo. Saya balut dulu, lalu beri obat pengurang nyeri,” jelas dokter setelah memeriksa dengan teliti.
Faizan mengangguk tanpa ekspresi. “Urus semuanya, Raka. Pastikan dia dapat perawatan terbaik.”
“Baik, Pak,” jawab Raka cepat, mencatat di ponselnya.
Gadis itu sempat menatap Faizan. Tatapannya ragu, seperti ingin mengucapkan terima kasih tapi terhalang oleh sesuatu. Dalam sorot matanya ada ketakutan sekaligus rasa ingin tahu—tentang siapa pria dingin ini yang baru saja menabraknya tapi memperlakukannya dengan ketenangan yang aneh.
Faizan menatap balik sesaat, lalu berpaling.
“Pastikan dia aman,” ucapnya pelan.
Suaranya dingin, tapi untuk pertama kalinya—ada sedikit nada goyah yang tak sempat ia sadari sendiri.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/