NovelToon NovelToon
Aku Bukan Pelacur

Aku Bukan Pelacur

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Romansa
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.

Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.

Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.

Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 24

Pagi itu, di rumah sakit, Alea duduk di tepi ranjang dengan tubuh lemas tapi tatapannya kosong. Perawat sudah membantu membereskan barang-barangnya. Dokter pun sempat memberi pesan singkat tentang obat dan pantangan.

“Bu Alea, sudah bisa pulang ya,” kata perawat ramah, “Nanti ada keluarga yang jemput?”

Alea mengangguk pelan. “Ibu saya… sebentar lagi datang.” Suaranya nyaris tak terdengar.

Di tangannya masih ada bekas jarum infus, dan di dadanya ada ruang kosong yang terasa makin menganga. Anak yang baru sebentar singgah sudah pergi, suami yang seharusnya ada malah hilang entah ke mana. Hatinya seperti rumah yang ditinggalkan pemiliknya—sunyi dan berdebu.

Sementara itu, ratusan kilometer dari sana, di Surabaya, Faizan duduk di kursi rapat panjang dengan wajah serius. Di hadapannya ada proyektor menampilkan grafik penjualan, beberapa direktur dan manajer berbicara dengan nada tegang.

“Pak Faiz, target kuartal depan perlu penyesuaian,” ujar salah satu manajer.

Faizan mengangguk tipis, jarinya mengetuk meja, matanya fokus pada angka-angka di layar. Seolah dunia pribadinya semalam tak pernah ada.

Teleponnya bergetar beberapa kali di meja—nama “My Mom." Namun Faizan hanya melirik sebentar, sebelum kembali menatap grafik tanpa mengubah ekspresi.

Bagi Faizan, rapat ini nyata. Ambisi dan pekerjaannya nyata.

Tapi kabar dari rumah sakit itu… seolah hanya sebuah gangguan di pinggir jalannya.

Di rumah sakit, langkah Ibu Maisaroh tergesa memasuki lobi. Wajahnya pucat karena kurang tidur. Begitu melihat Alea duduk di tepi ranjang dengan tubuh lemah dan mata sembab, hatinya langsung terenyuh.

“Alea…” suara Ibu Maisaroh pelan tapi penuh kasih. Ia meraih tangan menantunya itu, meremasnya lembut. “Ayo, Nak… kita pulang, ya.”

Alea hanya mengangguk pelan. Tak ada tenaga untuk bicara banyak. Perasaannya masih campur aduk—kosong sekaligus sakit. Ia sempat melirik ponsel yang tak kunjung berdering dengan nama Faizan. Harapan bahwa suaminya akan datang perlahan mati, digantikan pasrah yang getir.

Di dalam mobil, Ibu Maisaroh beberapa kali menatap Alea lewat kaca spion. Wajah putranya, Faizan, terlintas di benaknya—anak yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih, kini begitu dingin bahkan pada istrinya sendiri. Ada kecewa yang menumpuk, tapi ia menahan semuanya.

“Nak, di rumah nanti kamu langsung istirahat. Jangan pikirkan yang lain dulu, ya,” ucap Ibu Maisaroh, berusaha menenangkan.

Alea hanya mengangguk lagi, menatap keluar jendela. Langit mendung, seperti ikut memanggul rasa yang menyesakkan dadanya.

Sementara itu, di Surabaya, Faizan masih duduk tegap di ruang rapat. Layar laptop penuh dengan laporan penjualan, suara rekan kerja memaparkan strategi bisnis mengisi ruangan. Sekali-dua kali ponselnya bergetar di meja—kali ini pesan dari ibunya.

Faizan melihat sekilas notifikasi: “Alea sudah di rumah. Kondisinya lemah. Nak, kamu tidak mau bicara dan menanyakan kabarnya?”

Ia memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas pelan. Tapi bukannya menjawab, ia kembali menatap grafik di layar, ekspresinya tak berubah sedikit pun.

Seolah dunia di rumah sana hanya bayangan jauh yang tidak layak mengganggu langkahnya.

Di rumah Ibu Maisaroh, Alea berjalan pelan memasuki ruang tamu. Tubuhnya masih terasa berat, wajahnya pucat. Ibu Maisaroh menuntunnya masuk, lalu menyuruh Bi Iyem membuatkan teh hangat.

“Di sini saja, Nak. Biar Ibu siapkan teh hangat untukmu.” kata Ibu Maisaroh, menepuk punggung Alea lembut.

Alea hanya tersenyum tipis—senyum yang dipaksakan, lalu duduk di sofa. Matanya menatap kosong ke arah jendela, pikirannya melayang entah ke mana. Ia ingin menangis, tapi rasanya sudah tak ada air mata yang tersisa. Yang tersisa hanya perasaan ditinggalkan, rasa sakit yang tak ada obatnya.

.

Di Surabaya, rapat akhirnya selesai. Faizan merapikan berkas, memasukkan laptop ke tasnya, lalu meninggalkan gedung dengan langkah tergesa. Malam mulai turun, jalanan kota dipenuhi cahaya lampu kendaraan.

Ia masuk ke mobilnya sendiri—sedan hitam yang terparkir di basement—lalu menyalakan mesin tanpa sempat makan atau sekadar beristirahat. Kepalanya penuh dengan target, proyek, angka-angka yang harus dicapai.

Di perempatan yang agak sepi, Faizan melajukan mobilnya sedikit terlalu cepat. Pikirannya melayang—tentang pekerjaan, bukan tentang rumah atau Alea.

Tiba-tiba—

BRAK!

Sebuah tubuh terpelanting di depan mobilnya. Seorang gadis muda, dengan tas punggung besar, jatuh ke aspal.

Faizan terkejut, kakinya spontan menginjak rem sekuat tenaga. Jantungnya berdegup keras, napasnya memburu.

“Ya Tuhan…” Faizan bergegas keluar dari mobil, mendekati gadis itu yang mengerang kesakitan, memegangi kakinya.

Faizan berlari kecil mendekati tubuh gadis itu. Napasnya terengah, tapi wajahnya tetap dingin, menahan kepanikan yang berusaha menyeruak.

“Hey… kamu bisa dengar saya?” tanyanya cepat, suaranya datar tapi tegas.

Gadis itu mengerang pelan, mencoba bangkit namun meringis kesakitan. Kakinya tampak terkilir, mungkin juga memar cukup parah. Melihat keadaan sekitar yang sepi, Faizan segera bertindak.

“Jangan bergerak dulu,” ucapnya singkat. Ia memapah gadis itu dengan hati-hati menuju mobilnya. “Saya akan bawa kamu.”

Dengan susah payah, ia membantu gadis itu masuk ke kursi penumpang. Ia sendiri yang menyetir, wajahnya tegang, keringat mulai membasahi pelipis. Mesin mobil meraung ketika Faizan memacu kendaraan menuju hotel tempat ia menginap di kota itu.

Setibanya di hotel, ia membantu gadis itu masuk ke kamarnya. Baru setelah memastikan gadis itu duduk dengan aman, Faizan mengusap wajahnya kasar. Ia mengeluarkan ponsel dan menekan nomor asistennya.

“Raka, saya butuh kamu di hotel sekarang. Ada urusan penting,” suaranya rendah tapi tegas. “Ada seorang gadis yang saya tabrak. Pastikan semuanya beres, ya?”

Di ujung sana, suara Raka terdengar panik, tapi cepat mengiyakan.

“Baik, Pak. Saya urus sekarang juga.”

Faizan menutup telepon, lalu duduk di sofa. Tatapannya kosong, pikirannya berputar cepat—tentang gadis itu, tentang pekerjaannya, dan tentang bagaimana semua ini tidak boleh mengganggu ritme hidupnya yang selama ini ia jaga rapat-rapat.

Tak sampai setengah jam, suara ketukan terdengar di pintu kamar hotel.

Tok… tok… tok…

“Pak Faiz, ini saya, Raka,” suara dari luar terdengar tegas tapi agak terburu-buru.

Faizan bangkit dan membuka pintu. Wajah Raka terlihat cemas, membawa tas kerja di satu tangan dan ponsel di tangan lain. Begitu melihat gadis yang duduk lemas di sofa, ia langsung mengerti situasinya.

“Pak, saya sudah hubungi dokter. Dalam sepuluh menit lagi dia akan datang,” ujar Raka cepat, lalu menatap gadis itu dengan sopan. “Mbak, tolong tunggu sebentar, ya. Dokter akan segera periksa.”

Gadis itu hanya mengangguk lemah, kedua tangannya memegangi kaki yang tampak bengkak. Napasnya masih sedikit tersengal, mungkin karena rasa sakit yang belum mereda.

Faizan berjalan mondar-mandir di kamar, kedua tangannya terlipat di dada. Ekspresinya tetap tenang, tapi dari cara rahangnya mengeras terlihat jelas ia sedang menahan rasa tidak sabar.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter datang bersama perawat. Pemeriksaan dilakukan di tempat, di kursi panjang dekat jendela kamar hotel.

“Bengkaknya cukup parah, tapi sepertinya hanya keseleo. Saya akan beri perban dan obat untuk mengurangi rasa sakit serta bengkaknya. Besok sebaiknya rontgen untuk memastikan tidak ada cedera tulang,” jelas dokter itu setelah memeriksa dengan teliti.

Faizan hanya mengangguk singkat. “Urus semuanya, Raka. Pastikan dia dapat perawatan terbaik.”

“Siap, Pak,” jawab Raka cepat, sudah mencatat semua instruksi di ponselnya.

Gadis itu menatap Faizan sekilas, ada campuran takut, bingung, dan heran di wajahnya. Ia mungkin ingin bertanya banyak hal, tapi Faizan tetap berdiri di sudut ruangan, wajahnya dingin seperti tembok batu.

...----------------...

Bersambung...

1
Jumi🍉
Tanggung jawab yang gak main-main kata asistennya preet yang adanya,👊kalau tanggung jawab gak mungkin istrinya sampai keguguran dan sekarang lari dari rumah.../Facepalm/🤣
Miss Ra: /Smirk//Joyful//NosePick/
total 1 replies
Jumi🍉
Istri kabur dia santai-santai aja tuh,,,kayak gak ada keinginan sama seklai buat memperbaiki rumah tangganya, lepas dari mantan Nadia datang Nayla.../Sleep/
septiana: ntah kapan dia mau sadarnya
total 4 replies
Helwa Mahara
buatlah faizan menyesal atas kepergian istrinya dan buat dia bucin ka
Jumi🍉
Sama Nayla rada betah ya tinggal di hotel bareng yang notabennya hanya orang lain, padahal bisa aja tuh tanggung jawab gak musti tinggal bareng...🙄keputusan Alea buat menjauh udah tempat tuh gak dibutuhin juga sama Faizan selama ini.😅
septiana
sampai kapan kamu akan bersikap seperti itu Faiz sama istri mu🤔
Miss Ra: /Facepalm//Joyful//Facepalm//Joyful/
total 3 replies
Jumi🍉
Nayla kamu jangan berani-berani ngusik rumah tangga Faizan apalagi ada niatan jadi pelakor, istrinya aja seperti bayangan apalagi kamu mungkin hanya dianggap angin sekelibat langsung hilang, yang ada di otaknya hanya pekerjaan...😅🤣
Miss Ra: /Facepalm//Facepalm//Joyful//Joyful/
total 1 replies
Jumi🍉
Mending Alea kamu pergi jauh dari kehidupan Faizan, kamu dianggapnya bagaikan bayangan yang tak terlihat, tuh Faiz hidupnya cuma tentang pekerjaan. Tapi bila nanti ada perempuan masuk dalam kehidupannya baru kamu balas caci maki balik tuh Faiz...😤
Jumi🍉
Kalau kamu bisa sejahat itu memperlakukan istrimu dan bahkan ibumu, berarti dengan wanita lain harusnya kamu bisa jauh lebih jahat lagi termasuk nanti mantanmu...😆Hidup aja kamu sendirian hingga akhir ajal menjemput...🤣
Miss Ra: /Facepalm//Joyful/
total 1 replies
Anonymous
😍😍
Anonymous
😍😍….
Dhafitha Fitha Fitha
udah Alea hbis ni kamu pergi aja dari sana apa juga yg m di pertahankan biar dia punya penyesalan
septiana
suatu saat kau akan mendapatkan balasan dari apa yg kamu perbuat Faiz.. dan disaat penyesalan itu datang Alea sudah tidak menginginkan mu lagi.
Jumi🍉
Bingung aku tuh mau komen apa lagi buat Faiz saking menyebalkan jadi orang...🤬😤
Milla
lanjut min
Miss Ra: siaaapp
total 1 replies
Milla
next min
Dhafitha Fitha Fitha
Fandi Jdi setan 😈😈😈
Miss Ra: /Grin//Joyful/
total 1 replies
Jumi🍉
Dengan mantan punya banyak waktu untuk bicara berbanding terbalik buat istri diam seribu bahasa,,,/Curse/Alea mending cepat bawa ruqyah tuh suamimu biar jin ditubuhnya pada hilang sampai ulat keket gamon juga ikut terhempas...🤣
Miss Ra: /Joyful//Joyful//Joyful/
total 3 replies
septiana
ego mu setinggi langit Faiz,kau akan menyesal setelah nanti Alea jauh darimu.. teruslah berbuat dingin pada Alea sampai nanti alea lelah dan ga ingin kembali padamu lagi
Jumi🍉
Kepala batu banget si Faiz, kaya orang hidup segan mati tak mau definisi orang gak punya tujuan...😩kompasnya rusak kali makanya tersesat di masa lalu aja...🤭
Jumi🍉: Habisnya bikin sebel banget tuh Faiz...😆
total 2 replies
Jumi🍉
Tahu rasanya dilukai tapi tanpa sadar kamu juga membuat luka untuk Alea selama ini...😪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!