Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24
Malam itu suasana kamar terasa lengang. Lampu tidur menyala redup, bayangannya jatuh ke dinding. Nisa duduk di tepi ranjang sambil menatap kalender kecil yang baru saja ia ambil dari atas nakas. Jari-jarinya gemetar saat menghitung hari demi hari yang sudah terlewati.
“Tiga bulan aku nggak datang bulan,” gumamnya pelan. Matanya berkedip cepat, seperti tak percaya pada hitungannya sendiri.
Awalnya dia santai, menganggap telat sebentar itu hal biasa. Tapi begitu sadar statusnya kini sudah jadi istri sah seorang mayor TNI, rasa panik bercampur bahagia mendesak dadanya.
“Ya Allah… apa jangan-jangan aku udah hamil? Semoga benar ya Allah, semoga aku sudah mengandung anaknya Mas Azhar,” cicitnya lirih, senyum tipis muncul di wajahnya meski penuh cemas.
Nisa berdiri, melangkah ke ruang depan. Tepat di sana, Dian baru saja masuk rumah sepulang dari kantor. Dengan sopan Nisa mendekat sambil menyunggingkan senyum.
“Ibu Dian, aku boleh izin sebentar ke apotek? Ada yang pengin aku beli,” ucapnya hati-hati. Tatapannya sempat melirik ke ruang tamu, mencari keberadaan suaminya, tapi tak tampak.
Dian menoleh cepat, alisnya terangkat. “Ke apotek? Malam-malam begini? Dari sini jauh loh, bisa sepuluh kilometer, harus naik ojol juga. Kamu mau beli apa sih?” tanyanya ketus.
Nisa menelan ludah. Hatinya sebenarnya sungkan, tapi ia tahu tak ada jalan lain selain jujur. “Aku… aku mau beli tespack, Bu,” jawabnya ragu.
Dian menghela napas panjang lalu mendengus. “Kalau cuma tespack nggak usah repot ke luar. Aku masih punya stok di lemari. Tunggu sini, aku ambilin,” ucapnya sambil berlalu masuk kamar.
Nisa berdiri kaku, mondar-mandir gelisah. Bibir bawahnya digigit, kukunya ia gigit juga. Waktu terasa berjalan lambat. Degup jantungnya tak mau tenang.
Di dalam kamar bernuansa biru-putih, Azhar menatap istrinya yang sedang mengobrak-abrik isi laci.
Keningnya berkerut. “Kamu nyari apa sih? Sampe semua isi lemari dibongkar gitu?” tanyanya kesal.
Dian tak menoleh. Tangannya terus mengeluarkan barang-barang kecil. “Aku cari alat tes kehamilan, Mas. Aku lupa naro di bagian mana,” ujarnya datar.
Azhar sontak kaget. “Hah? Kamu hamil!?” serunya langsung berdiri.
Dian mendelik. “Ya Allah, Mas, biasa aja kali! Lebay amat reaksinya. Aku pakai pil KB kok. Lagian aku juga nggak mau punya anak lagi dari Mas,” ucapnya dingin.
“Lah, terus ngapain nyari tespack?” tanya Azhar tak habis pikir.
Dian menutup laci lalu mengangkat benda kecil yang baru saja ia temukan. “Ini buat si Alfathunisa Husna. Katanya udah tiga bulan nggak haid. Jadi dia pengin ngecek, hamil atau nggak,” jelasnya sambil mendengus.
Azhar tertegun, wajahnya seketika berubah. “Nisa… hamil?” gumamnya nyaris tak terdengar. Dadanya bergetar hebat, antara kaget sekaligus bahagia.
Dian melirik sinis. “Mas kenapa sih kaget mulu kayak orang baru denger berita dunia. Aneh banget reaksinya,” cibirnya sebelum pergi meninggalkan kamar.
Begitu pintu tertutup, Azhar langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Air matanya hampir jatuh.
“Allahu Akbar… semoga benar, ya Allah, semoga istriku hamil anak pertama kami,” ucapnya sambil sujud syukur.
Saking bahagianya, dia hampir berlari menuruni tangga, ingin memeluk Nisa. Namun, langkahnya terhenti.
“Astaghfirullahaladzim… jangan sampai ketahuan Dian. Bisa kacau kalau kebablasan,” batinnya cepat-cepat menahan diri.
Di ruang tamu, Dian menyerahkan tespack ke tangan Nisa. “Nih. Ngomong-ngomong, makanan sore tadi masih ada kan? Aku lapar banget,” ujarnya seenaknya.
Nisa menerima dengan hati-hati, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Azhar berdiri di tangga, menatap dari jauh. Ia buru-buru menunduk.
“Makasih banyak, Nyonya. Alhamdulillah masih ada. Biar aku siapkan dulu,” imbuhnya lalu bergegas ke dapur.
Azhar menggenggam pegangan tangga erat-erat, wajahnya menahan amarah sekaligus sedih.
“Kenapa Nisa rela dijadiin pembantu, ya Allah? Padahal aku mampu membayar orang lain. Dia layak dimuliakan, bukan direndahkan,” batinnya sendu.
Dian duduk di meja makan, menunggu. Sementara Nisa datang membawa nasi dan lauk. “Kamu duduk sini, tungguin aku makan,” perintah Dian ketus.
“Baik, Nyonya,” jawab Nisa lirih, menahan segala rasa.
Sambil menyendok makanan, Dian melanjutkan, “Besok pagi kamu beresin semua kerjaan rumah lebih cepat. Selama Berliana sakit, kamu nggak usah antar Bilqis sekolah. Suamiku yang anter jemput.”
“Iya, aku kerjakan sesuai perintah Nyonya,” balas Nisa dengan nada patuh, meski pikirannya terbang ke alat tes yang ia genggam erat.
Dian masih saja bicara panjang. “Nanti kalau ibu mertua datang nganter uang belanja, kamu aja yang atur. Aku males ribet. Pusing kalau harus ngurusin hal remeh.”
Nisa mengangkat wajah. “Kenapa nggak Bu Nurul aja yang ngatur, Nyonya? Beliau kan lebih ngerti soal rumah ini,” tanyanya hati-hati.
Dian mendengus lalu melirik sinis. “Aku nggak mau kalau uang lebih dinikmatin mamanya. Enak aja. Mending sisanya aku kasih ke ibuku sendiri.”
Nisa terdiam. Di hatinya, doa mengalir lirih. Astaghfirullah… Mbak Dian tega banget ngomongin mertuanya sendiri. Ya Allah, semoga aku diberi kekuatan menghadapi semua ini.
Dian masih asik mengunyah, sendoknya beradu dengan piring. Matanya melirik sekilas ke arah Nisa yang duduk menungguinya.
“Kamu tahu nggak, Nis,” ucapnya tiba-tiba, “ibu mertuaku tuh nyebelin banget. Gayanya kayak paling benar, padahal kalau soal ngatur rumah tangga nol besar.”
Nisa menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. Ia memilih diam.
Dian melanjutkan lagi dengan nada tinggi. “Adik-adik iparku juga sama aja. Cuma numpang hidup, bisanya ngabisin uang Mas Azhar. Kalau bukan karena aku, mungkin mereka udah kelaparan. Eh, masih aja suka bikin aku sakit hati.”
Nisa menatap Dian sebentar lalu menunduk lagi. “Astaghfirullah,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Coba bayangin ya, kalau uang bulanan dikasih ke Bu Nurul, entah habis buat apa. Percaya deh, pasti buat nyenengin anak-anaknya yang males kerja. Aku nggak rela, mending aku kasih ke ibuku sendiri. Setidaknya jelas-jelas dipakai dengan baik,” imbuh Dian sambil mendesah puas.
Hati Nisa mencelos mendengarnya. Ya Allah, tega banget Mbak Dian ngomong kayak gini tentang mertua dan adik iparnya. Padahal mereka nggak seburuk itu.
“Mas Azhar tuh kadang terlalu lembek sama keluarganya,” lanjut Dian tanpa henti. “Nggak tegaan. Uang dikasih melulu, padahal mereka nggak pernah mikirin baliknya. Aku tuh capek, Nis, jadi harus ada yang ngatur bener-bener. Kalau nggak, habis semua gajinya buat orang-orang itu.”
Nisa berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu kata-katanya percuma. “Saya ngerti, Nyonya,” ucapnya lirih, suaranya serak.
Dian mengangkat dagunya, menatap Nisa dengan puas. “Bagus kalau kamu ngerti. Mulai sekarang, kamu aja yang atur belanja. Jangan sampai ada uang lebih yang nyampe ke tangan mamanya Mas, paham?”
“Baik, Nyonya,” jawab Nisa singkat.
Di balik dinding, Azhar yang masih pura-pura menemani anak-anaknya menggertakkan gigi. Dadanya panas mendengar ucapan istrinya.
Astaghfirullah… tega banget Dian ngomongin Mama sama adik-adikku. Ya Allah, sabarkan hatiku. Lindungi Nisa yang harus denger semua hinaan ini. Bagiku itu sudah biasa di tapi bagi Nisa istriku mungkin ini yang pertama kalinya dia mendengar dan mengetahui Dianti menjelekkan Mama dan kedua adikku.
Nisa menunduk lebih dalam, bibirnya bergetar. Dalam hati ia hanya bisa berdoa, semoga anak yang sedang aku kandung jadi penyejuk hati Mas Azhar, jadi penolong di tengah ujian rumah tangga ini.
“Ya Allah… jauhkan aku dari sifat seperti Mbak Dian,” batin Nisa lirih sambil menunduk dalam. Hatinya bergetar, sedih sekaligus nggak percaya mendengar kata-kata kasar itu.
“Padahal ibu mertua kami orangnya baik, nggak pernah rewel apalagi ikut campur urusan rumah tangga. Kedua adik ipar kami, Bella sama Hafsah, juga lembut banget, nggak pernah nyakitin aku malah sering bantuin,” sambungnya dalam hati, matanya mulai berkaca-kaca.
Tangannya mengelus perutnya yang masih datar, seakan ingin menyalurkan kekuatan pada dirinya sendiri.
“Ya Rabb, jangan sampai aku mewarisi sifat iri, dengki, dan rakus kayak gini. Lindungi aku, lindungi anakku nanti dari hati yang penuh kebencian. Aku cuma ingin jadi istri yang taat sama suami, menantu yang hormat pada mertua, dan kakak ipar yang bisa disayang adik-adik.”
Nisa menarik napas panjang, menahan isak. Ia tahu kalau ia bicara atau membantah, suasana bisa makin runyam.
Makanya ia memilih diam, menyimpan luka itu dalam hati, hanya berani curhat sama Allah.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor