Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekosongan di Hati Florencia dan Sang
Florencia membutuhkan perhatian seorang Sang. Ia rindu mampus komunikasi dan interaksi keduanya, bercanda, saling ganggu, atau berbicara mendalam. Ia mau dekat terus dengan laki-laki itu, yang entah mengapa, sepertinya berjalan di jalur medan yang sama dengannya.
Di sisi lain, dimana sisi ini adalah yang paling menyiksanya saat ini, ia merasa rendah dan salah. Ia merasa tak tahu malu dan tak tahu diri.
Dengan alasan apapun ia sadar bahwa perasaan dan tindak tanduknya ini tidak bisa dibenarkan. Tanpa diketahui Sang saja, perasaan komorbidnya tidak bisa diajak kerjasama, selalu melawan, selalu mencoba mengalahkannya.
Ronde satu, ia tumbang.
Di kamarnya, otaknya yang sibut itu tidak bisa berhenti menyiksanya.
OCD-nya mengulang obsesi atas rasa bersalah dan malunya berulang-ulang, sangat melelahkan mental dan fisik. “Aku bukan gadis yang baik. Aku tidak tahu malu,” begitu pikirnya berulang-ulang di dalam sana. Namun, sisi ADHD-nya yang impulsif, memberikan energi besar untuk terus memikirkan tentang Sang. “Apa Pak Sang curiga bahwa absenku dari kantor ini karena urusan tempo hari? Memangnya dia positif melihat foto lukisanku itu adalah lukisan tentang dia? Kalau iya, memangnya Pak Sang peduli? Pak Sang sama sekali tidak ada perasaan denganku, kok. Buktinya, kemarin dia biasa saja datang ke meja kerjaku, tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Atau, hanya aku yang tidak sensitif, tidak peka terhadap perubahan kecil dari cara Pak Sang memandang dan melihatku?”
Ledakan demi ledakan emosi terus menghampiri Sang, hampir tanpa jeda.
Tubuhnya semakin panas. Otot-ototnya semakin tegang dan kepalanya semakin pening.
Esok harinya, kembali melangkah ke tempat kerja. Kerjaan yang harusnya ia selesaikan kemarin, menumpuk hari ini. Untungnya, Dina, dengan pengertian telah menghubunginya dan mengatakan sudah mengerjakan separuh dari pekerjaannya. Perasaan campur aduk kembali bersemayam dengan mapan di hati Florencia. Sesampainya di kantor, tombol rasa bersalah kembali di tekan. Sebisa mungkin Florencia meminta maaf kepada Dina karena telah dibebankan pekerjaan.
Dina sendiri tidak merasa berlebihan. Ia tahu ia harus mengerjakan tugas yang seharusnya bukan tanggung jawabnya, tetapi itu masih di taraf normal, wajar. Lagipula siapa yang mau jatuh sakit?
“Ya ampun, Flo. Cuma sehari, kok. Udah, nggak masalah. Nggak usah mikir yang nggak-nggak, deh. I’m fine, I promise you,” jelas Dina.
Florencia, sudah terlanjur diremas-remas hatinya. Hal yang biasa bagi orang lain, akan bisa sangat luar biasa bagi dirinya. Otaknya tak berhenti untuk memberikan hukuman padanya.
“Kamu udah sehat, Flo?” tanya Sang.
Saat itu siang hari. Walau pagi Sang sudah beradu pandang dengan Florencia, laki-laki itu memutuskan untuk mengampiri Florencia di jeda makan siang.
Florencia tersenyum tipis dan mengangguk. “Udah, Pak.”
“Sakit apa kemarin? Stres?”
Florencia meringis. “Sakit biasa, Pak Sang. Ya, aku kan memang lemah,” Florencia terkekeh.
Sang melihat sekeliling. Kursi Dina kosong. Sang duduk disana.
“Saya pikir stres, apa kolesterol. Kan kamu sendiri bilang kalau kamu itu pemudi jompo. Belum 30 umurnya, tapi udah sakit-sakitan, lemes, encok, kolesterol,” Sang terkikik.
Florencia mengepalkan jari-jarinya, bergaya ingin menonjok Sang.
“Kalau kolesterol, minum air jeruk lemon panas tiap pagi. Kayak saya. Manjur, itu. Kan kita sama-sama udah jompo, beda umur aja.”
Keduanya tertawa.
Perasaan hangat mendadak mengalir di dada Florencia.
Satu dua tema pembicaraan mengalir, acak, santai, melegakan, menggembirakan, dan menenangkan.
Awalnya, Florencia merasa ia dapat mengimbangi percakapan ini, seperti biasa. Namun, perlahan ia sadar bahwa kehangatan yang ditawarkan Sang setiap kali keduanya bersinggungan ini membuat detak jantungnya semakin kencang. Pandangan Sang tenang, tetapi intens, penuh perhatian, tidak menghakimi dan tidak mengintimidasi. Alhasil, insiden lukisan di dalam gawainya itu kembali menekan.
Florencia menghela nafas. Suaranya pelan, nyaris bergetar, “Pak Sang, ehm … soal waktu itu, yang aku nunjukin desain thumbnail, terus ada, ehm … lukisan, gambar wajah…”
Sang menunggu. Pandangannya tetap teduh, seakan tanpa prasangka.
Florencia memalingkan pandangannya (yang memang hampir tidak bisa lama menatap ke satu fokus, ditambah ini berhubungan dengan Sang). Ia cepat-cepat menambahkan kalimatnya, kata-kata saling bertubrukan, “Itu tuh, aku cuma, ehm … aku tuh suka iseng gambar wajah orang. Random aja gitu, Pak. Buat melatih skill juga, latihan. Jadi, maksud aku, Bapak jangan salah paham. Aku nggak ada maksud aneh-aneh,” Florencia tertawa gugup. Tangannya sibuk memainkan ujung cardigan berwarna pastel yang ia kenakan hari ini.
“Oh … itu beneran gambar saya, ya? Jadi gitu. Saya kira …,” kata-katanya terpotong. Sang memutuskan tidak melanjutkan dan mengganti dengan kalimat lain. “Ya, bagus, sih, tapi. Kamu kan kalau menggambar memang detil.”
Florencia buru-buru mengangguk. “Iya, Pak. Terimakasih.” Ia kembali tertawa gugup.
Namun, tanpa Florencia duga, keheningan yang mendadak datang itu terasa berat, kulit wajahnya terasa panas dan membakar. Sayangnya, Sang kembali merespon, ”Saya pikir awalnya lukisan saya itu spesial, khusus gitu. Sayang, ya?” kata Sang akhirnya. Ia pun tertawa gugup. Florencia diyakinkan bahwa Sang sedang bercanda.
Florencia terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yang seperti ingin dihentak keluar. Ia luar biasa malu, tetapi juga merasakan rasa sakit yang aneh. Sejujurnya ia ingin berseru dengan jujur bahwa lukisan itu memang khusus, spesial, hanya satu-satunya wajah laki-laki yang ia lukis dengan sepenuh hati. Hanya saja, sisi lainnya langsung mencegah dengan tegas. Jangan keterlaluan! Kau bisa menghancurkan semuanya! Ujar suara di dalam kepalanya.
Hasilnya Florencia pura-pura tertawa, “Bapak, ih. Geer rupanya,” ujarnya.
Sang tertawa pula. “Iya, iya. Bercanda, Flo. Ya sudah, jangan sering-sering sakit. Jaga kesehatan,” ucap Sang. Ia berdiri dan berjalan menuju ruangannya, meninggalkan Florencia.
Florencia merasa ingin menangis. Ia sudah selamat sebenarnya karena Sang terlihat sama sekali tidak marah, tidak menuduh dan menghakimi, serta tidak memperkarakan insiden tersebut. Tapi, hatinya malah terasa kosong melompong. Seperti ada sesuatu yang tidak pas, yang membuatnya melengos kecewa. Sesuatu hampir saja terbuka, tetapi kembali tertutup rapat. Ia sekarang harus menahan perasaan yang kacau balau antara malu, lega, tetapi juga kecewa karena kebenaran yang telah ia simpan harus kembali ia kubur dalam-dalam.
Hari itu, Sang melirik sekali lagi di saat pulang kerja ke arah Florencia. Jelas-jelas ada bagian dirinya yang merasa kecewa dengan jawaban Florencia, padahal ia smepat terkejut dengan kenyataan bahwa gambar itu sungguh-sungguh lukisan dirinya. Dalam beberapa detik ia merasa bahwa ia sungguh memiliki posisi khusus di hati sang gadis itu.
Kerumitan ini semakin menjadi-jadi. Ia berjibaku dengan pikirannya sendiri, anggapannya sendiri, dan entah beban-beban apalagi yang tak bisa ia jelaskan dan gambarkan.
Sang melihat ke arah meja kerja sang gadis yang kosong, kemudian merasa hatinya kosong pula.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk