Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Percaya?
Udara pagi di rumah Mama Yuris terasa lebih tenang dibanding semalam. Matahari baru saja menyelinap dari balik tirai tipis jendela kamar tamu, menyinari dengan lembut ruangan yang masih diliputi aroma jeruk dari pengharum di pojok ruangan. Hening. Hanya suara burung yang berkicau di luar dan deru pelan teko air panas di dapur.
Lania duduk di ujung sofa, masih mengenakan pakaian yang sama sejak malam tadi. Rambutnya sedikit kusut, pipinya tampak pucat, dan matanya sembab. Selimut hangat yang diberikan Mama Yuris tersampir di pangkuannya, rasa dingin di tubuhnya seolah bukan berasal dari suhu ruangan. Dia masih memeluk dirinya sendiri, seakan-akan tak percaya dengan apa yang baru dialami—penyusupan itu, ketakutan itu, kenyataan bahwa rumah yang seharusnya tempat paling aman, kini berubah menjadi mimpi buruk.
Mama Yuris duduk di sampingnya, tangan tuanya menggenggam jemari Lania dengan lembut. Tak banyak kata yang diucapkan, hanya keheningan yang penuh pengertian. Sesekali Mama Yuris menyelipkan helaan napas panjang, mencoba mengalihkan kecemasan yang masih menggantung di udara.
“Minum dulu, Lan,” ujarnya lembut sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Teh melati dengan sedikit madu, kesukaan Lania sejak kecil.
Tangannya sedikit gemetar saat menerima cangkir itu, Lania mengangguk pelan—berusaha kuat. Seruputan pertama menyisakan hangat di tenggorokan, meski pikirannya masih berkecamuk. Dia belum sanggup bicara panjang, belum siap menjelaskan apa yang dirasakan—karena bahkan dirinya pun belum tahu harus mulai dari mana.
“Kalau butuh apa-apa, panggil Mama, ya.” Suaranya menenangkan, seperti selimut kedua yang membungkus tubuh Lania hari itu.Mama Yuris tahu menepuk pelan bahu Lania, lalu bangkit berdiri.
Ketika pintu kamar kembali tertutup, Lania menatap ke luar jendela. Mentari sudah naik sedikit lebih tinggi, kejadian semalam masih membayangi. Dia tahu, pagi ini mungkin lebih damai dari semalam. Namun, di dalam hati, badai belum sepenuhnya reda.
Lania masih memandangi jendela, tatapannya kosong menembus cahaya pagi yang menguning di sela-sela dedaunan. Sekilas, dia melihat bayangan samar dirinya di kaca—sosok perempuan dengan mata lelah, bahu yang merunduk, dan hati yang masih tersesat di tengah kekacauan. Nafasnya pelan, seolah takut mengganggu keheningan.
Lalu, suara ponsel di meja kecil di samping sofa memecah lamunannya. Layar menyala
Nama yang tertera membuat hatinya tentram.
“Sagara.”
Sejenak Lania hanya memandangi layar itu tanpa bergerak. Ada gelombang emosi yang langsung menyeruak—leganya karena dihubungi, tetapi juga getir, cemas, dan sedikit takut. Apakah Sagara tahu?
Tangannya terulur ragu. Lania mengusap sisa air mata kering di pipi dengan punggung tangan, menarik napas panjang, lalu akhirnya menggeser layar.
“Hallo…” suaranya lirih, nyaris berbisik.
Di seberang, suara Sagara terdengar cepat, berat, dan terdorong oleh kepanikan yang belum sempat reda.
“Lania… Kamu di mana sekarang? Aku dapat kabar dari Mama—kamu baik-baik saja?”
Pertanyaan itu seperti benteng terakhir yang runtuh. Lania menutup matanya sejenak, suara Sagara begitu dia butuhkan saat ini.
“Aku di rumah Mama… aku…” suaranya tercekat, “Aku tidak apa-apa, cuma… masih agak takut.”
“Kenapa kamu nggak langsung hubungi aku?” tanya Sagara, lebih pelan, ada nada khawatir yang tak disembunyikan.
Lania menunduk. “Aku takut ganggu kerjaan kamu, Ga. Semalam rasanya seperti mimpi buruk… aku belum bisa berpikir jernih.”
Sunyi sebentar. Lalu terdengar desahan berat dari Sagara.
“Aku akan selesaikan kerjaan secepat mungkin. Tunggu aku, ya.”
Lania membuka mata, menatap ke luar jendela lagi, ada setitik hangat di balik matanya yang masih lembap.
“Ya… aku tunggu.”
Lania masih menggenggam ponsel di tangan, suaranya dan Sagara baru saja saling menyentuh dalam ketegangan yang mulai melunak, ketika tiba-tiba dari seberang terdengar suara perempuan lain—lantang, jelas, dan familiar.
“Ga, rapat dengan kuasa hukum mulai lima menit lagi! Mereka sudah masuk ke ruang meeting,” seru Adisty dari kejauhan, suaranya cukup keras untuk masuk ke dalam percakapan mereka.
Lania sontak terdiam. Jantungnya seperti dicekik dari dalam. Meski Adisty tak menyebut nama Lania, nada kepemilikan dan kedekatan dalam panggilannya cukup untuk menciptakan riak dingin dalam benaknya. Untuk sepersekian detik, semua luka semalam terasa lebih menyengat. Suasana rumah yang tadinya hangat mendadak berubah hampa.
Di seberang, Sagara tampak menarik napas dalam-dalam. Dia buru-buru menjauhkan ponsel dari mulutnya, suara gesekan seperti kain terdengar, seolah-olah sedang menutupi bagian bawah ponsel. Tapi suara Adisty tetap terlalu dekat, terlalu nyata untuk diabaikan.
Lania menggigit bibirnya. Dia tahu Adisty bukan hanya rekan kerja, bukan hanya wanita biasa dalam hidup Sagara. Wanita itu selalu tahu bagaimana dan kapan harus muncul—bahkan saat Lania sedang terjatuh.
Beberapa detik kemudian, Sagara kembali.
“Lania… aku harus ikut rapat sebentar. Setelah ini aku akan langsung ke sana, aku janji.”
Lania berusaha keras menjaga suaranya tetap tenang. “Ya, aku mengharapkan kamu datang lebih cepat.”
“Ya, pasti.”
“Ya.”
Satu kata itu saja yang sanggup ia ucapkan.
Kemudian sambungan terputus.
Lania menatap layar ponsel yang meredup. Tangan yang tadi menggenggam erat kini perlahan melemas di pangkuan. Di luar, burung-burung masih berkicau, sedangkan di dalam dirinya, keheningan kembali melanda. Bukan karena syok… ini murni perasaan yang lebih halus dan lebih menyakitkan—keraguan.
Sesaat berikutnya, Mama Yuris mengajak Lania sarapan, setelah itu berusaha mengalihkan perhatian atas kejadian semalam. Dua wanita beda generasi itu duduk santai di ruang tamu.
Suara bel mendadak berbunyi, nyaring dan mengejutkan.
Lania terlonjak sedikit, tubuhnya refleks menegang. Dia menoleh ke arah pintu depan. Dia bergerak lebih dulu untuk membuka pintu, menoleh sekali ke arah Mama Yuris, seperti meminta dan mengantongi anggukan sang mertua.
Dengan langkah pelan dan penuh kehati-hatian, Lania mendekat ke pintu. Dia mengintip dari celah tirai jendela kecil di samping pintu. Seketika napasnya tertahan.
“Ma, Pandu,” kata Lania, tidak berani langsung membuka pintu.
Alis Mama Yuris mengerut, dia akhirnya memberi izin. “Persilakan masuk.”
Pria itu berdiri tegap di depan pintu, mengenakan kemeja abu-abu yang digulung hingga siku dan celana kain gelap. Wajahnya serius—menatap lurus ke arah pintu, seperti tahu Lania sedang mengintip dari balik tirai.
Lania membuka pintu perlahan, masih setengah tak percaya. “Pandu?”
Pandu mengangguk singkat, suaranya tenang tapi tegas. “Maaf aku datang tanpa kabar. Aku dengar apa yang terjadi semalam… Kamu tidak apa-apa?”
“Masuklah.” Lania menghela napas, membiarkan pintu terbuka sedikit lebih lebar.
“Tante,” sapa Pandu, “maaf bertamu pagi-pagi.”
“Tidak apa, ayo silakan duduk.” Ramah, orang tua Sagara menyambut kedatangan teman Lania.
Pandu melangkah masuk, aroma pagi yang segar ikut terbawa dari luar. Dia tidak langsung duduk, melainkan menatap Lania sejenak, seperti sedang menilai seberapa kuat gadis itu berdiri pagi ini.
“Aku baik-baik saja… secara fisik,” ucap Lania lebih dulu, mencoba tersenyum meski tak sampai ke matanya. Pikiran tak berhenti memutar ulang percakapan singkat dengan Sagara, lengkap dengan bayangan suara Adisty yang menyusup seperti sosok gelap di antara cahaya pagi.
“Mama tinggal sebentar ya.” Mama Yuris bermaksud mengambil kudapan dan minuman. Menantu dan tamunya tersenyum sambil mengangguk perlahan.
Pandu duduk di seberang sofa, posturnya tetap siaga, penuh perhatian. “Aku dengar rumahmu dimasukin orang. Jelas ada yang gak beres. Aku yakin… ini bukan kejadian acak.”
“Kalau aku bilang ini ada hubungannya sama Adisty, kamu percaya?” Lania menatapnya dalam-dalam, meminta dukungan.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran