NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Badai di Tengah Badai

Lokasi: Aula Megah Alverio University

Waktu: Pagi Hari, Bulan ke-8 Kehamilan Aluna

Langkah kaki para wisudawan terdengar menggema di aula besar berlangit kaca. Seragam toga hitam beraksen ungu berkilau tertata rapi. Di tengah barisan itu, seorang perempuan muda dengan perut membulat menonjol berjalan anggun meski perlahan.

Aluna Valtieri.

Gaun wisudanya diatur khusus—potongan longgar di bagian depan, tetap anggun, tetap ramping di pundak. Wajahnya bercahaya, tak hanya karena makeup atau kamera yang merekam setiap sudut, tapi karena keberhasilan dan perjuangan yang terasa hidup.

Tapi di antara sorak keluarga lain, tidak ada panggilan nama 'Mama', tidak ada lambaian 'Papa'. Tidak ada adik yang berlari dan menangis bahagia.

Hanya dirinya. Dan gelar lulusan terbaik jurusan Teater Musikal.

Suasana aula hening saat Aluna dipanggil ke podium. Beberapa dosen tampak berdiri memberi tepuk tangan. Cahaya panggung menyorot wajahnya.

“Terima kasih atas kehormatan ini…” Suara Aluna tenang, tapi terdengar rapuh di ujung.

“Banyak orang berkata, perjalanan pendidikan akan dikenang seumur hidup. Tapi bagi saya—perjuangan untuk tetap hidup, justru yang membuat saya bisa lulus.”

Terdengar bisik haru dari beberapa sisi aula.

“Saya berdiri di sini… bukan karena saya kuat. Tapi karena saya tidak punya pilihan selain kuat. Ketika keluarga saya pergi, bersamaan… saya berpikir dunia ikut hancur.”

“Namun, hari ini… saya menyadari: saya bisa membangun keluarga saya sendiri. Dari awal. Dengan tangan saya. Dengan kerja keras. Dan dengan cinta.”

Air mata mengalir di pipinya. Tapi Aluna tidak menyeka. Ia biarkan semuanya melihat. Kehamilannya bukan beban—tapi bukti bahwa ia hidup.

Aula hening. Lalu gemuruh tepuk tangan dan isakan lembut terdengar bersahutan.

Di antara kerumunan tamu, dua orang berdiri. Callindra dan Samudra Alverio I. Maju perlahan, langkah mereka penuh wibawa namun penuh emosi.

Lalu satu pria muda menyusul di belakang, mengenakan setelan jas gelap dengan dasi abu-abu. Alaric Alverio.

Aluna hanya bisa terpaku saat mereka bertiga naik ke atas panggung. 

Callindra memeluknya erat, menggenggam pipinya. “Kamu anak kami sekarang.” 

Lalu disusul tepukan hangat di bahu Aluna dari Samudra. “Kamu keluarga.”

Dan Alaric, berdiri paling terakhir. Menatap istrinya lama, tak berkata sepatah pun. Tapi tangan besar itu menyentuh perutnya yang menonjol. Tepat di atas kehidupan kecil yang tumbuh di sana.

Aluna menggenggam tangan itu, menunduk menangis. Mereka menangis bersama. Tapi tidak sendiri.

Kilatan kamera mulai menggila ketika Aluna turun dari panggung bersama Callindra, Samudra dan Alaric. Mereka tak hanya mencuri perhatian sebagai keluarga Alverio Group, tapi karena cinta yang tampak nyata, bahkan di balik segala rumor dan pencitraan.

Wartawan dari berbagai media hadir.

‘Alaric Alverio Hadir di Wisuda Istrinya’

‘Aluna Resmi Lulusan Terbaik Jurusan Teater Musikal Meski Hamil 8 Bulan’

‘Pasangan Paling Berpengaruh di Asia: Aluna & Alaric’

“Al, ke sini sayang,” panggil Callindra, menggamit tangan Aluna ke bagian back drop alumni.

“Alaric, kamu berdiri di sampingnya,” ujar Samudra sambil berdiri angkuh dengan senyum penuh kebanggaan.

Aluna berdiri di tengah, diapit Callindra dan Alaric. Samudra di sebelah istrinya. Tangan Alaric merengkuh bahu Aluna dan tangan.

‘Cekrek’

Satu foto abadi tercipta. Seorang wanita muda berbaju toga dengan perut besar, dikelilingi kekuatan, cinta, dan kekayaan. Tapi tetap terlihat paling kuat di antara mereka semua.

Komentar Media & Netizen:

@wanitakantoranhalu gila… bukan cuma cantik, tapi kuat dan cerdas. Aluna idola!

@cahayadimal foto keluarga Alverio I bikin air mata netizen meleleh

@auranyadibayarberapa Alaric biasanya dingin banget, tapi liat tuh senyum pas dia pegang perut Aluna

@senja_bercerita liat foto ini beneran kaya liat lukisan hidup. Wisuda, cinta, keluarga… lengkap. Nangis nggak sih 😭😭

@penontonhiduporang bahkan perutnya dipegang penuh sayang, bukan malu-maluin. Ini bukan sekadar foto, ini bukti cinta di depan semua orang

@iri.dikit gue wisuda aja yang dateng cuma angin sama tugas skripsi, dia? Hamil + disayang mertua + difoto bareng. Tuhan, ini cobaan

@laparperhatian Alaric bukan cuma pegang perut istrinya. Dia pegang tanggung jawab, pegang cinta, pegang segalanya. Lah aku? Pegang tisu🤧

@anakpalingwaras mama papanya Alaric juga ikut ya Tuhan. Keluarga utuh banget, penuh restu. Ini bukan cuma viral, ini impian

@bidadarijalanan.official ada yang bisa kasih link ke Tuhan? Aku pengen request hidup kaya Aluna

@janganlupabahagia kapan ya aku bisa wisuda sambil ditemani dua keluarga, perut isi cinta, dan pelukan yang nggak cuma buat foto

Setelah sesi foto formal selesai, Alaric sempat menahan langkah Aluna.

“Boleh selfie buat koleksi pribadi?” gumamnya.

Aluna mengangguk pelan. Keduanya berdiri dekat, lalu Alaric yang mengambil foto. Satu jepretan. Hanya mereka berdua.

Aluna tertawa pelan saat melihat hasilnya. “Ini pertama kalinya kamu minta selfie,” bisik Aluna.

“Karena kamu pantas diabadikan… seperti ini,” jawab Alaric. Suaranya lembut. Nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat Aluna kembali menangis.

Aluna menunduk, memegang perutnya dengan ekspresi aneh.

“Aluna?” Alaric cepat-cepat menoleh saat melihat tubuh istrinya menegang.

Callindra yang tadinya sibuk menjawab sapaan wartawan langsung berbalik. “Aluna?!” Suaranya meninggi, panik.

“Aa… aduh…” Aluna terhuyung, wajahnya memucat. Tangannya mencengkeram erat lengan Alaric.

“Perutku... sak—sakit banget…”

Alaric langsung memeluk tubuh Aluna yang hampir jatuh.

“Hubungi pengawal. SEKARANG!” perintahnya pada Virgo, sekretarisnya.

Callindra sudah memeluk bahu Aluna dari sisi lain, bibirnya gemetar. “Baru delapan bulan... ini belum waktunya …,”gumam Callindra.

Dalam hitungan menit, mobil bodyguard Alverio meluncur cepat ke depan kampus.

Alaric mengangkat tubuh Aluna, masuk ke mobil tanpa membiarkan siapa pun bertanya. Callindra dan Samudra ikut masuk. Sementara mobil lain mengikuti di belakang.

...***...

🏥 Rumah Sakit Milik Keluarga Alverio

Dokter dan tim medis sudah berjaga begitu sinyal darurat dari mobil Alverio diterima rumah sakit.

Aluna dibaringkan di atas tandu. Callindra ikut masuk ke dalam ruang persiapan, wajahnya tak kalah pucat.

“Prematur... kemungkinan besar bayi harus masuk inkubator,” ujar Dokter Anna, cepat.

Alaric mengangguk dengan mata tajam, tapi tangannya gemetar. “Jangan biarkan satu luka pun ada di tubuh mereka berdua …,”katanya pelan.

Waktu seolah membeku.

Callindra berdiri mematung di lorong. Samudra berusaha menenangkan. Dan Alaric berdiri diam di depan ruang operasi.

Tangan mengepal. Dada naik turun. Keringat dingin bercampur amarah, cemas, dan rasa bersalah.

“Tuhan… dia baru saja lulus dengan perut besar itu. Kenapa harus menanggung semuanya sendirian… bahkan anak itu belum lahir,” batin Alaric dalam diam.

...***...

Ruang itu sepi. Hanya suara mesin dan detak monitor.

Di balik kaca pelindung, tubuh mungil berbalut selimut putih tipis, lengkap dengan selang kecil di hidung dan kabel-kabel sensor.

Alaric berdiri membatu, mengenakan setelan steril rumah sakit. Matanya terpaku pada bayi itu—bayi mungil yang tak disangka darah dagingnya sendiri.

“Kecil banget…” gumamnya lirih.

Tangannya bergerak perlahan menempel ke kaca, menciptakan bayangan telapak yang jauh lebih besar dari tangan si bayi.

Dada Alaric sesak. Bukan karena trauma, bukan karena takut. Tapi campuran haru, tanggung jawab, dan rasa yang belum bisa ia beri nama.

Smartphone Alaric bergetar. Renzo. Ia menghela napas, menjawab.

“Divisi pemasaran kacau,” ujar Renzo dari seberang, terdengar khawatir. “Ada penarikan dana mendadak dari investor. Tim butuh lo sekarang.”

Alaric menoleh lagi ke inkubator. Anaknya masih di sana, bernapas pelan. Tapi realita—dunia bisnis yang kejam—tidak menunggu siapa pun.

“Kirim semua data ke gue. Gue berangkat sebentar lagi.”

Ia menutup telepon, lalu menatap dalam-dalam wajah anaknya.

...***...

Aluna membuka mata pelan. Masih lemas, masih linglung. Tapi hal pertama yang ia lakukan mencari Alaric.

“Al? Alaric... di mana?”

Callindra yang duduk di sofa mendekat. Ia mengusap lembut kening Aluna. “Sayang… Alaric ada urusan mendadak di kantor,” ucapnya lembut tapi tegas.

“Baru saja bayi kalian lahir, tapi... dia tetap Alaric. Terikat dunia yang tidak mengenal jeda.”

Aluna menunduk, pelan. Tak menangis. Tapi senyum tipis yang ia berikan penuh luka. “Dia… tetap memilih dunia yang sama sekali tidak akan memilihku.”

...***...

Langkah kaki Alaric menggema di koridor. Pintu kaca terbuka otomatis dan kantor terlihat seperti habis terkena badai.

Kertas berserakan. Beberapa barang pecah. Meja terbalik sebagian. Satu pot tanaman jatuh miring. Bahkan ada bekas cangkir kopi pecah di lantai.

Suasana mencekam.

Para pegawai langsung berdiri dari kursi mereka, tegang. Beberapa menunduk. Sebagian pura-pura sibuk.

Alaric tidak bicara apa-apa. Ia hanya melangkah perlahan masuk lebih dalam. Tatapannya menyapu. Dingin. Menghujam.

Salah satu pegawai paling senior—Bima—mendekat cepat, membungkuk sopan. “Maaf, Pak Alaric… suasana sedikit berantakan.”

Alaric mengangkat alis satu. "Sedikit?"

Bima menelan ludah. “Renzo sempat... meledak, Pak. Ada kesalahan laporan dari bagian bawah. Investor menarik dana lebih dari tiga ratus juta karena kekeliruan dalam campaign report. Renzo... nggak bisa nahan emosi.”

Alaric menoleh cepat. Matanya menatap tajam seperti pisau. “Dan kalian membiarkan kantor jadi begini?”

Bima makin gugup. “Orang yang salah sudah ajukan resign, Pak. Tapi... sebagian tim juga mulai goyah. Mereka takut. Bahkan ada yang nggak mau masuk kerja besok.”

Alaric mengepalkan tangan. Lalu menghembuskan napas perlahan. Ia menatap kaca luar gedung sejenak, menahan emosi.

Ia mendekat ke meja tempat laporan rusak ditemukan. Menyentuh berkas yang terlipat kusut. Tangannya bergerak cepat merapikan, menyusun tumpukan dokumen.

“Siapkan ruang meeting. Semua kepala bagian kumpul sepuluh menit lagi. Saya yang urus laporan ke investor.”

Lalu dengan nada rendah tapi penuh ancaman, “Dan jika ada satu lagi yang mengacau, saya pastikan divisi ini nggak akan kalian kenali lagi setelah saya bereskan.”

Semua pegawai menunduk.

...***...

Renzo sudah duduk di ujung meja panjang. Wajahnya tegang. Jemari mengetuk-ngetuk meja—gelisah. Pintu terbuka, langkah Alaric masuk perlahan tapi pasti.

Mereka berdua saling menatap. Sunyi.

Renzo bangkit berdiri. Hidungnya mengembang pelan karena menahan emosi.

“Maaf.” Suaranya parau. Mata Renzo tampak merah, seperti kurang tidur.

Alaric meletakkan berkas di meja. Tidak langsung menjawab. Langkahnya mendekat perlahan ke sisi Renzo, berdiri sangat dekat.

“Lo buat kantor seperti kapal karam,” ucapnya dingin. “Tapi lo pikir gue akan biarin lo karam sendirian?”

Renzo terdiam. Kepalanya sedikit tertunduk. Napasnya memburu, suara nyaris berbisik. “Gue takut... gue pikir lo bakal menyerah sama gue, Bang.”

Alaric menyentuh bahu Renzo perlahan. Sentuhan yang ambigu—terlalu pribadi untuk ruang kerja.

“Stupid,” bisik Alaric. “Gue cuman nggak suka ngeliat lo kalah.”

Mereka berdiri sangat dekat. Renzo menggertakkan gigi pelan, lalu memejamkan mata sejenak—menahan emosi yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Kepala mereka nyaris bersandar satu sama lain.

“Kalau lo nggak datang tadi...” Suara Renzo tercekat. “Mungkin gue bakal benar-benar ngancurin semuanya.”

Alaric bergumam pelan, hampir tak terdengar. “Gue datang bukan untuk menyelamatkan kantor, tapi nyelamatin lo.”

Pintu terbuka. Beberapa kepala divisi masuk dengan raut gugup.

Lalu tangan Alaric naik ke puncak kepala Renzo dan mengacak rambut adik sepupunya itu.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!