Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keberanian Baru Sumi
Martin melirik sekilas ke arah Sumi yang berdiri sedikit di belakang suaminya, wajahnya tegang menanti jawaban apa yang akan ia berikan.
"Saya sedang membahas rencana pembangunan kolam ikan dengan Raden Ayu," jawab Martin dengan lancar. "Area di sekitar Kedung Wulan sangat potensial untuk itu. Dan Raden Ayu telah setuju untuk bekerja sama dengan saya." Ia menatap lurus ke arah Sumi, ada ancaman tersirat dalam tatapannya. "Bukankah begitu, Raden Ayu?"
Sumi memaksakan senyum, menyadari mata biru Martin jelas menekankan ancaman jika ia tidak mengiyakan.
"Benar, Kangmas. Tuan Martin tadi membahas peluang usaha itu. Terdengar cukup menjanjikan, dan saya setuju."
Soedarsono menatap Martin yang tersenyum tipis, lalu beralih pada istrinya yang tatapannya menunduk, tidak berani menatap langsung matanya.
"Mengapa tidak menunggu Kangmas pulang dulu, Diajeng?" tanya Soedarsono dengan nada lembut namun terdengar tegas. "Urusan bisnis seperti ini seharusnya dibicarakan bersama-sama."
Sumi mengangkat wajahnya sedikit. "Saya mengira Kangmas tidak akan pulang cepat," jawabnya hati-hati. "Mengingat semalam Kangmas tampak begitu ... bersemangat dengan perjodohan yang dilakukan Ibu."
Kata-kata itu membuat Soedarsono terdiam. Ada ketegangan yang tiba-tiba di antara pasangan itu.
Martin yang memahami keretakan di antara keduanya, bergerak cepat dengan komentarnya.
"Ah, ya. Selamat, Raden!" ucapnya dengan nada bersemangat yang dibuat-buat. "Semalam saya mendengar bahwa Anda akan segera memiliki istri baru. Kabar yang menggembirakan."
Ia tersenyum, tapi mata birunya menatap Sumi, seakan memberi dukungan pada perempuan itu untuk tegas berpisah dengan sang suami.
Soedarsono mengangguk kaku, menerima ucapan selamat itu dengan raut wajah yang sulit dibaca. "Terima kasih, Tuan Van der Spoel."
Suasana semakin tidak nyaman, dan Soedarsono, sebagai tuan rumah yang baik, mencoba menetralisir dengan mengalihkan pembicaraan.
"Mari, silakan duduk dulu, Tuan. Sepertinya kita perlu membicarakan ulang kesepakatan antara Anda dan istri saya."
"Terima kasih, tapi saya rasa hari sudah sangat sore," tolak Martin dengan sopan. "Lebih baik saya pulang sekarang. Besok pagi saya akan kembali dengan membawa denah area Kedung Wulan, untuk membahas pembangunan kolam ikan lebih detail."
Soedarsono mengangguk, tampak sedikit kecewa dengan keputusan tamunya untuk segera undur diri. "Baik, Tuan Van der Spoel. Kami akan menunggu kedatangan Anda besok."
Martin mengambil topinya, membungkuk sedikit kepada pasangan itu—lebih dalam kepada Soedarsono, lebih singkat pada Sumi. "Selamat sore, Raden. Selamat sore, Raden Ayu."
Raden Mas Soedarsono mengantarkan tamunya, lalu berdiri di kuncung, tangannya terlipat di belakang punggung sementara matanya mengikuti mobil Ford hitam yang perlahan meninggalkan halaman Dalem Prawirataman.
Sebelum mobilnya menghilang di balik gerbang berukir megah, Martin sempat menoleh ke arah Sumi yang berdiri di samping suaminya.
Tatapan mata biru pemuda Belanda itu begitu intens, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang hanya dimengerti oleh istrinya dan Soedarsono tidak melewatkan hal itu.
Pria itu menoleh ke arah Sumi yang masih memandang ke arah gerbang meski mobil itu telah menghilang.
"Diajeng, bukankah semalam Kangmas telah memperingatkan Diajeng untuk menjauhi pemuda itu dan menolak tawarannya?" tanya Soedarsono dengan nada lembut namun tegas. "Apa Diajeng lupa?"
Sumi mengalihkan pandangannya dari gerbang, menatap suaminya dengan tatapan yang ia usahakan tenang.
"Saya tidak lupa, Kangmas," jawabnya hati-hati. "Tapi tawaran Tuan Martin sangat menarik. Lagipula …," Ia terdiam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. "Saya mulai memikirkan cara untuk mengembangkan usaha sendiri, mengingat sebentar lagi saya akan diceraikan."
Soedarsono tersenyum tipis, ada kelembutan di matanya. "Kangmas tidak akan menceraikan Diajeng," ucapnya dengan berbisik, matanya menyapu halaman yang sepi sebelum mengecup lembut pipi istrinya. "Itu sebabnya Kangmas semalam sampai menginap di kadipaten. Kangmas membicarakan ini dengan Romo juga."
Mata Sumi melebar. "Apa Kangmas tidak jadi menikahi Raden Ayu Retnosari?"
"Jadi," ucap Soedarsono sambil merangkul pinggang istrinya dengan lembut, mengarahkannya untuk duduk di kursi berukir yang terletak di tengah pendopo.
Soedarsono duduk di samping istrinya, jemarinya menyentuh lembut jemari Sumi. Ia memandang wajah cantik yang telah menemaninya selama lima belas tahun itu.
"Kangmas tidak ingin berpisah dengan Diajeng," lanjutnya. "Jadi nanti Retno akan menjadi istri utama dan Diajeng menjadi garwo ampil."
Sumi terdiam, mata yang biasanya teduh kini menatap suaminya dengan tatapan terluka. Bayangan tentang statusnya yang akan turun dari garwo padmi (istri utama) menjadi garwo ampil (istri selir) membuat dadanya terasa sesak.
"Apa Ibu setuju?" tanyanya lirih.
Soedarsono mengangguk pelan. "Ya, karena itu syarat Kangmas mau menikahi Jeng Retno. Kangmas tidak mau kehilangan Diajeng."
Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Tapi Ibu memberi permintaan lain. Beliau ingin istri-istri lain diceraikan. Diajeng tahu sendiri, Ibu tidak pernah suka dengan Pariyem dan juga Lastri." Jeda sejenak, Soedarsono mengecup lembut punggung tangan istrinya. "Tapi sebelumnya, Pariyem akan diperiksa dokter lebih dulu, apakah benar hamil atau tidak. Jika tidak, nanti akan diceraikan."
Sumi menatap suaminya dalam-dalam. Entah mengapa, kata-kata Martin beberapa saat lalu berkelebat dalam benaknya.
Tentang harga diri, tentang pilihan, tentang hidup yang lebih dari sekadar menjadi bayangan seorang laki-laki.
"Kangmas," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tegas dari biasanya. "Saya tidak bersedia menjadi garwo ampil. Bagaimanapun, keluarga saya dan keluarga Retno setingkat, bahkan derajat keluarga saya lebih tinggi. Pilihan saya adalah menjadi Raden Ayu atau tidak sama sekali."
Raden Mas Soedarsono agak terkejut dengan keberanian dalam nada suara istrinya. Selama lima belas tahun pernikahan mereka, Sumi selalu menjadi istri yang patuh, yang tidak pernah membantah, yang selalu menerima segala keputusannya dengan kepatuhan sempurna.
"Bukankah itu lebih baik daripada menjadi seorang janda?" tanyanya heran. "Diajeng tetap menjadi istri Kangmas. Kangmas sudah memperjuangkan Diajeng sejauh ini. Kangmas sampai bersitegang dengan Ibu."
Sumi menggeleng pelan, perlahan menarik jemarinya yang ada dalam genggaman tangan sang suami.
"Apanya yang sama, Kangmas? Hak garwo padmi dan garwo ampil tentu saja berbeda jauh." Suaranya tetap lembut namun tegas. "Terima kasih, Kangmas … tapi maaf, saya tidak bersedia."
Pendopo yang luas itu terasa sunyi. Soedarsono menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit pendopo yang tinggi.
"Diajeng," ucapnya pelan. "Maafkan Kangmas jika harus menyinggung masalah ini, tapi Kangmas harus mengingatkan bahwa Diajeng tidak bisa memberi keturunan. Tidak bisakah Diajeng legowo (ikhlas) dengan keadaan itu?"
Entah mendapatkan keberanian dari mana—mungkin dari pertemuannya dengan Martin tadi, atau mungkin dari kemarahan yang selama ini terpendam—Sumi menatap suaminya dengan tatapan yang lebih berani. Kata-kata Martin tadi terus berkelebat dalam benaknya.
"Saya lebih memilih diceraikan daripada menjadi garwo ampil," ucapnya, tetap dengan nada dan gaya bicara yang lembut dan terkendali. Namun ada ketegasan yang belum pernah Soedarsono lihat sebelumnya.
"Jika Kangmas benar-benar mencintai saya," tantang Sumi, "seharusnya tidak masalah tidak mempunyai keturunan."
Soedarsono terdiam, tatapannya menyelidik wajah istrinya yang cantik. Ada sesuatu yang berbeda dari Sumi sore ini.
Setelah bertemu Martin, rasanya sang istri berubah. Ada keberanian baru, ada ketegasan yang tidak ia kenal sebelumnya.
"Diajeng," ucapnya perlahan, suaranya melembut. "Apakah pemuda Belanda itu mengatakan sesuatu yang membuat Diajeng berani berbicara seperti ini kepada Kangmas?"
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
gapai kebahagiaanmu, jangan terus berkorban
dia kan istri ya pasti bgg lah mau gmg apa secara kan udh bersuami mana mgkin dia mau memanfaakan kmu itu oengaru dr sirep mbah dukun kali martin