Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Devan, dengan mobil mewahnya, menjemput Nara pulang dari kantor. Ia bahkan rela turun dari mobil dan menghampiri gadis itu, senyumnya merekah menunjukkan kebahagiaan yang tulus. “Kamu menunggu lama?” tanyanya dengan suara lembut.
“Nggak kok, aku juga baru keluar,” jawab Nara sambil berjalan menghampiri lelaki jangkung itu. “Harusnya aku pulang naik bis aja kalau kamu sibuk.”
“Aku mau sekalian ketemu kamu,” balas Devan senyum yang terus mengembang, tanpa peduli ada banyak orang yang memperhatikannya.
Di halte bis, teman-teman Nara tampak berisik di belakang. Maklum, ini pertama kalinya setelah sekian lama Nara terlihat dekat dengan seorang lelaki.
Ada yang berceletuk, “Pacar barumu, Nara?” dan “Ganteng juga! Kerja di mana? Kenalin sama kita-kita dong!”. Ada juga yang bilang, “Mobilnya bagus. Lumayan banget, Nara.”
Devan, tanpa ragu-ragu, menjawab dengan suara yang jelas dan percaya diri, “Aku Devan, calon suaminya Nara!” Ia juga merangkul pinggang Nara dengan mesra, seolah memamerkan kemesraan mereka di depan teman-teman Nara.
Gerakan Devan itu membuat Nara menunduk lebih dalam, jari-jarinya bermain-main dengan ujung roknya. Pipinya semakin merah padam. Meskipun malu, senyum kecil tersungging di bibir, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya tidak senang dengan pernyataan Devan barusan.
Nara merasa lega. Meskipun hubungan mereka masih baru dan terasa asing, Devan memiliki penampilan yang sangat menarik secara fisik dan sangat sempurna menjadi pasangannya.
Gadis itu mencubit lembut lengan Devan sebagai ekspresi rasa malu dan bahagia yang bercampur aduk. Senyumnya semakin melebar, seolah ingin menunjukkan pada teman-temannya bahwa ia benar-benar bahagia. Seakan, ingin menunjukkan bahwa ia telah move on sepenuhnya dari masa lalu yang pahit.
“Aku duluan ya!” pamit Nara, sedikit terburu-buru.
Devan merangkulnya dengan mesra dan menuntunnya sampai ke mobil. Teman-teman Nara bersorak kegirangan. Mereka jelas bersyukur Nara telah menemukan pasangan baru setelah hubungannya dengan Endra yang lama kandas karena pengkhianatan.
Tanpa Nara dan Devan sadari, di kejauhan, tersembunyi di dalam mobilnya, Endra tanpa sengaja menyaksikan semua itu. Tatapannya tajam dan tidak bisa dibaca.
Di benaknya, sebuah pertanyaan muncul dengan kuat, “Siapa sebenarnya yang sedang dekat dengan Nara? Dan … apa yang sebenarnya terjadi?”
**
Mobil melaju, meninggalkan hiruk-pikuk halte bus. Di dalam mobil, Devan berkata pada Nara, "Apa kamu merasa senang sekarang? Kelihatannya, teman-temanmu menyukai hubungan kita. Aku merasa kita menjadi pasangan ideal yang didukung banyak orang."
Nara memperhatikan Devan yang tengah menyetir, matanya mengamati setiap gerak-gerik laki-laki itu. Dia lalu menjawab, "Benarkah? Kita akan menjadi pasangan ideal?" Suaranya terdengar ragu, tidak seantusias Devan.
Dalam hati, Nara tidak yakin dengan pemikiran itu. Dia tidak tahu masa depan akan seperti apa, tetapi yang jelas kata-kata ayahnya terus berkeliaran di kepala: “Jangan sampai kamu terburu-buru memilih pasangan, Nara. Jangan sampai kamu terjebak dalam pelampiasan.”
Mungkin saja, Devan hanya sebatas pelampiasan atas kekecewaannya pada Endra, terlepas dari tanggung jawab yang harus mereka penuhi karena kejadian malam itu.
Devan, dengan senyum percaya diri menatap Nara yang tampak ragu. “Bukankah pria tampan dan wanita cantik itu pasangan ideal? Mereka tidak perlu tahu apa yang terjadi dengan kita, yang penting kita harus selalu menunjukkan kebahagiaan kita di depan mereka.” Nada bicaranya terdengar sedikit memaksa, mencoba meyakinkan Nara dan juga dirinya sendiri.
Namun, kata-kata Devan seperti memantul di telinga Nara, tidak sampai ke hatinya. Ia diam sejenak, tatapannya kosong menatap jalanan kota yang berlalu di luar jendela. Bukannya terbuai oleh pujian Devan, ia justru merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya.
Mobil Devan melaju kencang, sampai akhirnya berhenti di depan rumah Nara. Pria itu turun dan mengeluarkan sesuatu dari bagasi mobilnya.
“Ini hadiah untuk adik dan keponakanmu,” kata Devan sembari menyerahkan bingkisan pada Nara. “Dan yang ini untukmu. Maaf, aku tidak bisa mampir karena ada pekerjaan penting.”
Nara mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Devan hendak membuka pintu mobil, tetapi di saat yang sama dia melihat ibunya Nara di luar rumah, berdiri di dekat pintu utama. Ia buru-buru kembali pada Nara, memberikan ciuman singkat di pipi dan mengusap rambutnya dengan lembut.
“Dah, sampai ketemu di acara makan malam,” ucapnya dengan lembut.
Nara tersenyum dan mengangguk, menatap Devan yang melangkah meninggalkannya. Gadis itu melambaikan tangan sampai akhirnya mobil Devan bergerak meninggalkan rumahnya.
Di saat itulah, mobil Endra muncul di ujung jalan, lampu mobilnya menyinari rumah Nara. Ia juga baru pulang ke rumah itu karena Renata dan bayinya tinggal di sana untuk sementara.
Mobil Endra berpapasan dengan mobil Devan yang baru saja meninggalkan halaman rumah Nara. Melihat mobil mewah itu, rasa penasaran Endra terhadap lelaki yang tengah dekat dengan kakak iparnya semakin membuncah. Ia mempercepat laju mobilnya, menginginkan jawaban atas segala pertanyaan yang menghiasi benaknya.
Endra dengan cepat memasuki halaman rumah mertuanya itu. Ia buru-buru masuk mengejar Nara yang hampir mencapai pintu rumahnya, lalu mencekal tangan Nara dengan kuat.
Secara refleks, Nara menepis tangan Endra dengan kuat. Ujung paperbag berisi hadiah dari Devan yang dipegangnya mengenai pipi Endra. Gerakan itu menunjukkan ketidaksukaan dan ketidaknyamanan Nara yang tampak jelas.
“Ada apa?” seru Nara dengan setengah jengkel, suaranya menunjukkan ketidaksenangan dan kebingungannya atas tindakan tiba-tiba Endra.
“Kamu … kamu diantar siapa tadi?” tanya Endra, berusaha terlihat bersikap biasa.
Namun, getaran dalam suaranya mengungkapkan kecemasannya dan rasa penasarannya yang terpendam. Ia mencoba menjaga suara dan ekspresinya agar terlihat santai.
“Bukan urusan kamu!” jawab Nara dengan tajam, suaranya menunjukkan ketidaksukaan yang jelas.
Nara kemudian berlalu meninggalkan Endra, memasuki rumah dengan langkah cepat dan tegas. Gerakannya menunjukkan bahwa ia tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Endra.
Mamanya, yang juga baru saja masuk setelah melihat mobil Devan pergi, kini tampak berada di ruang tengah, bersama cucu barunya yang sedang tidur nyenyak di dalam kereta bayi.
Nara mengabaikan ibunya dan mendekati Renata yang sedang duduk di sofa. “Ini untukmu!” kata Nara, menyerahkan paperbag yang masih sedikit kusut akibat peristiwa tadi kepada adiknya.
Renata melihat Endra muncul tak lama setelah Nara masuk. Ia menatap kakaknya dengan tatapan yang tajam dan penuh pertanyaan. Lalu, dengan tatapan yang penuh curiga, Renata bertanya, “Apa ini? Kenapa kamu pulang dengan Kak Endra?”
Suasana mendadak menjadi tegang. Renata menunggu penjelasan Nara.
Sementara itu, Nara melirik Endra di belakang dengan tatapan kesal, lalu berbalik menatap Renata. “Ini sedikit hadiah dari calon suamiku. Dan kenapa aku bisa sama Endra … kamu tanya sendiri aja sama suamimu!”
***
Endra nyari agar-agar, takutnya istrimu baby blues ntar 😒
kasih sesajen dulu biar aman, kembang sama kopi 😘