"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Hana melangkah dengan mantap, kaki jenjangnya bergerak anggun menyusuri lorong-lorong klub yang remang. Setiap langkahnya diiringi bunyi hak sepatu yang beradu dengan lantai keras memecah keramaian. Aura dingin tapi memikat yang terpancar dari gadis itu membuat setiap pasang mata menoleh, mengikuti sosoknya yang kini tampak begitu berbeda dari biasanya.
Pandangan para pria di sekitar seolah terpaku pada kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang kini disorot oleh gemerlap lampu remang-remang. Beberapa bisikan samar terdengar dari sudut-sudut ruangan, sebagian memuji, sebagian lagi memandang dengan rasa kagumnya.
Namun, Hana tidak peduli. Fokusnya hanya satu: pintu VVIP di ujung ruangan, tempat sang pemimpin Red Dragon biasa menghabiskan waktunya.
Saat ia melewati kerumunan, seseorang mencoba menghentikannya. Seorang pria berperawakan besar dengan senyum miring yang menjengkelkan.
"Hei, cantik. Baru di sini? Mau temenin gue malam ini?" Pria itu mencoba meraih tangan Hana, senyum menyebalkan tersungging dari sudut bibirnya yang tebal.
Hana berhenti sejenak, menatap pria itu dengan dingin, lalu mengangkat alisnya dengan angkuh. "Maaf, gue nggak main di level bawah," balasnya sinis, lalu melepas cekalan tangan pria itu dengan gerakan cepat.
Pria itu terkekeh, tapi tak berani berbuat lebih jauh. Ia hanya menatap punggung gadis cantik itu yang kembali melangkah, menghilang ke lorong yang mengarah ke area VVIP.
Di depan pintu, dua penjaga bertubuh besar berdiri dengan wajah dingin. Mereka memeriksa Hana dari ujung kepala hingga ujung kaki, mencoba menilai gadis dihadapannya kini.
"Ada urusan apa?" salah satu dari mereka bertanya dengan nada datar namun penuh kewaspadaan.
Hana tersenyum tipis, dari balik badannya bartender yang tadi menerima uang pemberian Hana muncul, memberikan isyarat singkat kepada para penjaga. Tanpa banyak bicara, mereka membuka pintu dengan gerakan yang penuh otoritas, dan membiarkan Hana melangkah masuk.
Di dalam ruangan, aroma tajam nikotin bercampur alkohol menyengat, seolah menjadi udara wajib yang dihirup setiap orang di sana. Cahaya lampu gantung yang temaram, sofa-sofa mewah berjajar membentuk lingkaran di tengah, mengelilingi meja kaca yang penuh dengan botol minuman mahal, asbak penuh puntung rokok, dan gelas-gelas kristal yang masih berisi setengah.
Semua mata tertuju pada sosok Hana yang melangkah mendekati meja di tengah ruangan. Dimana seorang pria dengan jaket kebesaran Red Dragon duduk, dikelilingi oleh dua wanita bergaun sexy yang menonjolkan dada montoknya yang menggoda. Pria itu—Aaron Wijaya, pemimpin geng motor Red Dragon—dikenal bukan hanya karena kekuasaannya, tetapi juga karisma yang menawannya.
Begitu mata Aaron menemukan sosok Hana, sebuah kilatan minat melintas di wajahnya. Aaron menyipitkan mata, memindai Hana dari ujung kepala hingga kaki, seperti seorang seniman menilai karya seni yang baru saja ditemuinya. Dress hitam bertali spaghetti yang membalut tubuh sintalnya memperlihatkan kesan elegan namun tetap sensual, sementara riasan minimalis yang ia kenakan justru mempertegas kecantikannya yang alami.
Senyum tipis mulai terukir di bibir Aaron. "Kemarilah," titahnya, sambil melambaikan tangan, menyingkirkan kedua wanita di sampingnya. Seolah-olah mereka hanyalah aksesori yang kini tak lagi relevan.
Hana tidak menjawab, namun kakinya bergerak melangkah dengan anggun, mencapai meja Aaron. Sejenak dia berhenti, menatap langsung ke mata pria itu dengan berani, lalu dengan gerakan penuh percaya diri, Hana duduk di pangkuan Aaron tanpa ragu sedikit pun.
Ruangan itu seketika menjadi lebih sunyi. Beberapa pria menahan napas, sementara Aaron hanya menyeringai lebar, terhibur oleh keberanian Hana. "Wow," dia terkekeh, tangannya otomatis melingkar di pinggang gadis itu. "Gue suka keberanian lo."
Hana tidak menunjukkan rasa gentar. Sebaliknya, dia mengangkat satu alis, menantang. "Dan gue suka orang yang tahu kapan berhenti bermain dengan para wanita murahan."
Aaron terdiam sejenak, seringai di wajahnya melebar. Lalu tangannya bergerak menyentuh dagu Hana dengan lembut dan penuh kekuasaan. "Menarik. Siapa nama lo, cantik?"
Hana mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekatkan wajahnya pada Aaron hingga dia bisa mencium aroma alkohol dan nikotin yang pekat dari napas pria itu. "Esther." jawabnya dengan lembut, hampir seperti mantra yang mengaitkan keduanya dalam permainan yang berbahaya.
"Esther?" ulangnya perlahan, seperti mencicipi setiap huruf. "Nama yang indah."
Tangan Aaron terangkat, menyentuh pipi Hana dengan gerakan lembut namun penuh kuasa. Jari-jarinya yang kasar menelusuri kulitnya, bergerak turun hingga menyentuh bibir ranum yang menggoda.
Aaron mendekatkan wajahnya, tatapannya terkunci pada bibir Hana yang memikat. Namun, saat bibir Aaron hampir menyentuh miliknya, gadis itu dengan cepat mengangkat tangannya, meletakkan jarinya di bibir pria itu, menghentikan gerakannya.
"Loh?" gumam Aaron, menarik diri sedikit. Senyum di wajahnya memudar untuk sesaat. "Berani banget lo nolak gue?"
"Gue ke sini bukan untuk jadi mainan," kata Hana tegas.
Aaron mengamati gadis itu beberapa saat, ekspresinya sulit ditebak. Lalu, dia tertawa kecil. "Lo emang beda, dan gue suka itu."
Tanpa peringatan, Aaron meraih pinggang Hana, menarik tubuh rampingnya ke dalam pelukannya dengan gerakan penuh kuasa. Genggamannya erat, seolah menegaskan dominasinya, membuat Hana sadar bahwa pria ini bukan tipe yang terbiasa mendengar kata “tidak.”
"Mulai malam ini, lo milik gue, Esther!"
Sudut bibir Hana berkedut tipis, pengakuan itu artinya satu langkah penting dalam rencananya telah berhasil dia capai.
Perlahan, jemari ramping Hana menyentuh dada Aaron dengan lembut, lalu telunjuknya bergerak melingkar, membuat garis-garis kecil di atas jaket kulit pria itu. Senyumnya tipis, penuh arti, sementara pandangannya terkunci pada mata Aaron yang mulai menyiratkan minat bercampur rasa penasaran.
"Lo cepat banget ngambil kesimpulan? Gue belum bilang mau jadi milik lo.”
"Lo yakin mau nolak gue?" Aaron menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan santai, tapi kedua tangannya tetap mencengkeram pinggang Hana seolah memastikan gadis itu tidak akan lari.
"Gue bukan tipe cewek yang gampang dimiliki." Bisik Hana, tangannya masih bermain di dada Aaron, perlahan naik ke arah lehernya sebelum ia menariknya kembali, membuat pria itu semakin tertarik.
"Semua orang tahu siapa gue, dan semua orang tahu apa yang gue mau, gue pasti dapetin."
Hana menyandarkan tubuhnya sedikit lebih dekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Kita lihat aja," bisiknya pelan, hampir seperti tantangan.
Seringai Aaron berubah menjadi tawa kecil, satu tangannya, menyentuh dagu Hana dengan jari-jarinya yang kasar, lalu mengangkatnya perlahan sehingga mata mereka sejajar. "Gue suka keberanian lo, Esther. Lo beda dari wanita-wanita disini," katanya pelan, sambil mengeluarkan black card dari saku jaketnya. "Tapi gue ingetin lo satu hal—di dunia Aaron Wijaya, nggak ada yang bisa nolak gue begitu saja."
Hana mengambil kartu hitam itu dan menyisipkan di belahan dadanya. "Gue nggak nolak. Gue cuma nggak mau jadi sesuatu yang lo anggap gampang dimiliki. Kalau lo pengen miliki gue, buktikan."
Aaron melepaskan tawa lagi—tawa yang dalam, penuh kepercayaan diri. "Gue suka gaya dan tantangan lo, Esther. Tapi gue ingetin juga, bahwa gue selalu menang."
"Kalau gitu, kita lihat aja siapa yang menang di akhir," balas Hana, sambil mengerling manja.
"Siapa takut," gumam Aaron, sambil melepas pinggang Hana dengan gerakan yang santai namun tetap penuh arti.
Hana bangkit dari pangkuannya dengan gerakan anggun, memancarkan kepercayaan diri yang sulit diabaikan. Matanya yang tajam menyapu ruangan sejenak, memastikan semuanya sesuai rencananya. Aaron, yang duduk santai beberapa detik sebelumnya, dengan sigap berdiri mengikuti langkahnya. Tangan kekarnya melingkar di pinggang ramping Hana, menariknya mendekat.
"Kita selesai di sini?"
Aaron menyeringai, mendekatkan bibirnya ke telinga Hana. "Belum. Malam ini baru dimulai. Gue akan bikin lo klimaks berkali-kali, Baby," bisiknya, nyaris seperti janji yang terukir dalam udara di antara mereka.
***
Sementara itu, di apartemen bernuansa abu-abu, Ares duduk di sofa kulit. Asap rokok mengepul dari tangannya, melayang perlahan ke langit-langit yang dipenuhi bayangan gelap. Matanya kosong, menatap entah ke mana.
Dia menghela napas panjang, menarik napas dalam-dalam dari rokoknya seolah berharap nikotin bisa mengusir rasa sesak di dadanya. Namun, yang ada hanya rasa hampa, lebih dalam dari sebelumnya.
"Lo bisa mati, kalau terus-terusan kayak gini, sat!" suara lantang menginterupsi pikirannya. Temannya, Rendy, berdiri di depan meja yang penuh dengan botol alkohol kosong dan gelas-gelas yang tak tersentuh sempurna. Tanpa menunggu persetujuan Ares, Rendy mulai membereskan kekacauan itu. Dia mengambil salah satu botol yang masih setengah penuh dan tanpa basa-basi menuangkan isinya ke wastafel.
Ares hanya melirik sekilas, bibirnya melengkung tipis dalam senyum pahit. "Santai aja, Ren. Gue nggak bakal mati cuma gara-gara ini."
"Lo pikir gue bercanda?" Rendy mendengus kesal, memutar tubuh untuk menghadapi Ares. "Besok lo piket pagi, kan? Mau kena tegur lagi gara-gara bau alkohol kayak gini, bangsat?"
"Siapa peduli?"
Rendy menghentikan aktivitasnya, menatap Ares dengan frustrasi. "Lo emang tolol, ya? Gara-gara cewek aja lo jadi kayak gini. Inget lo itu udah tunangan, bangsat!"
Ares tertawa kecil, nada yang sarat dengan ironi. "Entahlah, kepala gue penuh sama gadis itu."
Rendy menggelengkan kepala dengan putus asa. "Jangan main api, buang jauh-jauh perasaan lo yang salah itu. Lo bakalan nikah dengan Zahra, jangan karena hanya demi gadis yang baru lo kenal beberapa bulan yang lalu, menghancurkan segalanya. Karier lo akan cepet naik jika lo jadi menantu keluarga Dewantara."
Ares terdiam, menghisap rokoknya sekali lagi sebelum akhirnya mematikannya di asbak. Pandangannya kosong, tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang perlahan tumbuh—entah rasa penyesalan, kemarahan, atau justru tekad baru. "Mungkin lo benar," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Rendy.
Bersambung...