Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
“Apa maksudmu?” tanya Mayor Wiratmaja sambil mengangkat helm baja peninggalan KNIL yang baru saja diterimanya dari Surya.
Surya melirik sekeliling. Mayor Wiratmaja segera paham maksud tatapannya. Ia memberi isyarat pada para perwira lain untuk bubar, bahkan menyuruh penjaga di pojok ruangan meninggalkan tempat itu. Mereka butuh kerahasiaan mutlak satu kata bocor saja, bisa jadi nyawa seluruh pasukan melayang bila ditangkap Belanda.
Kini hanya ada tiga orang yang tinggal di meja kayu reyot itu: Mayor Wiratmaja, Komisaris Zulfan, dan Surya.
Bersama Zulfan, Surya merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu komisaris itu bukan tipe pengkhianat justru dalam banyak kisah gerilya, Zulfan dikenal berani menyamar sebagai rakyat biasa untuk menghindari penangkapan.
“Apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan, Surya?” tanya Mayor Wiratmaja sambil menepuk-nepuk helm baja di tangannya.
“Mayor, lihatlah benda ini…” Surya menunjuk pada helm dan tabung besi kecil yang ikut ia bawa dari gudang. “Dinding logamnya cukup rapat, dan ada kaca bundar di bagian depannya. Kalau kita modifikasi… mungkin bisa dipakai lebih dari sekadar pelindung kepala.”
“Untuk apa?” Wiratmaja mengernyit.
“Untuk menyelam, Mayor!” suara Surya pelan, hampir berbisik. “Kita bisa menggunakannya untuk bernapas di bawah air, menyeberangi sungai tanpa ketahuan.”
Wiratmaja sempat terdiam. Lalu ia menyeringai, menepuk bahu Surya. “Ha! Ide bagus, Surya! Bagus!”
“Apa?” Zulfan masih kebingungan.
“Pikirkanlah,” kata Wiratmaja cepat, mencondongkan tubuhnya ke peta. “Kalau kita bisa menyelam diam-diam, kita bisa kirim pasukan ke seberang sungai Sinar. Menyusup dari belakang posisi Belanda. Itu artinya serangan kejutan!”
Mata Zulfan berbinar mendengar itu. Ia menoleh ke Surya, mengangguk penuh semangat. “Ide bagus! Bisa jadi penyelamat kita!”
“Tapi bagaimana caranya?” tanya Wiratmaja lagi.
Surya menjelaskan dengan tangan bergetar karena tegang: “Helm baja ini bisa kita pasang kaca bundar dari lampu sorot yang pecah. Lalu, tabung besi kecil ini kita sambungkan dengan selang karet ujungnya dipasang pada batang bambu yang dilubangi, agar ujungnya tetap mengapung di atas air. Dengan begitu, kita bisa bernapas di bawah sungai.”
Mayor Wiratmaja mengangguk-angguk. “Lalu agar tubuh tidak mengambang, kita ikatkan bata atau batu di pinggang. Beratnya menahan kita tetap di bawah air. Kita bisa menyusup, berenang di arus tenang, lalu keluar di seberang.”
“Ya, tapi kalau dalam sungai lebih dari dua meter, kita bisa tenggelam,” timpal Zulfan cepat.
“Bagaimana kita tahu kedalamannya?” tanya Surya ragu.
Mayor Wiratmaja melongok ke luar pintu dan berteriak: “Kariman!”
Seorang pejuang muda segera masuk dengan langkah cepat. “Siap, Mayor!”
“Kau kan biasa memancing di sungai Sinar,” kata Wiratmaja. “Coba tandai di peta, bagian mana yang dangkal, mana yang dalam.”
“Siap, Mayor!” Kariman mengambil arang, lalu menandai peta di atas meja. “Di sini dangkal, arusnya deras. Kalau di belakang gereja ini, lebih tenang, kedalaman sekitar dua meter. Di sini lebih berbahaya, dasar sungainya lumpur.”
Tak lama kemudian, peta sederhana tentang aliran sungai muncul di hadapan mereka.
Setelah Kariman keluar, Surya bertanya pelan, “Apakah informasi itu bisa dipercaya?”
“Bisa,” jawab Wiratmaja mantap. “Anak itu setiap sore memancing di sana. Ia hafal lekuk sungai seperti telapak tangannya sendiri.”
Surya menghela napas berat. Ia tahu satu kesalahan kecil saja bisa mengubur rencana ini. Tapi waktu semakin menipis. Fajar tinggal dua jam lagi, sementara blokade Belanda makin rapat di tepi sungai. Mereka tidak punya pilihan.
“Kalau begitu,” ujar Mayor Wiratmaja akhirnya, suaranya mantap, “kita tentukan titik serangan.”
“Sepertinya tidak ada pilihan lain,” kata Wiratmaja. “Belakang gereja. Itu jalur paling singkat.”
Semua mata tertuju pada peta. Keputusan diambil. Sungai Sinar akan jadi saksi upaya gila mereka menembus kepungan.
Jika mereka mencoba menyeberang di titik lain, mereka hanya akan mendarat di daratan kecil yang diapit aliran sungai, semacam pulau lumpur. Itu artinya mereka harus menyeberangi sungai sekali lagi untuk benar-benar keluar dari kepungan Belanda.
Mayor Wiratmaja tampaknya tidak terlalu keberatan dengan hal itu. Namun Surya segera menggeleng pelan.
“Kurasa kita tidak bisa keluar dari sini dengan cara itu, Kamerad Komisaris,” ujar Surya.
“Mengapa begitu?” tanya Komisaris Zulfan.
“Pertama, Belanda menutup seluruh aliran sungai untuk mencegah kita mengambil air,” jelas Surya. “Itu artinya, hanya kelompok kecil yang bisa menyusup diam-diam lewat sungai. Kalau terlalu banyak, mereka pasti sadar sebelum kita sempat masuk ke air.”
Zulfan mengangguk cepat. “Benar. Jumlah pasukan kita sedikit, serangan besar-besaran bukan pilihan. Kalau ketahuan, habis kita sebelum sempat sampai seberang.”
“Ya,” lanjut Surya. “Belanda sudah menurunkan pasukan besar di sekitar sini. Kita cuma segelintir pejuang. Satu-satunya cara adalah diam-diam, dan itu pun dengan resiko besar.”
“Kalau begitu…” Mayor Wiratmaja menunjuk peta, “kita hanya bisa memilih satu dari tiga titik penyeberangan ini.”
Yang pertama, di sebelah utara, segera dikesampingkan. Belanda baru saja merebut daerah itu, dan mereka pasti sedang memperkuat pertahanan di sana. Mustahil bisa lolos.
Tinggal dua pilihan: jalur barat daya dan jalur selatan. Jalur barat daya memiliki jembatan batu yang kokoh, namun Belanda kemungkinan tetap menempatkan senapan mesin di kedua ujungnya. Jalur selatan hanya berupa jembatan gantung dari kabel baja, kecil dan seakan rapuh, tapi mungkin justru karena itu Belanda menyepelekannya.
“Saya rasa kita harus memilih jalur barat,” kata Mayor Wiratmaja akhirnya. “Jembatan batu lebih mudah dipertahankan setelah kita kuasai. Jalur selatan terlalu berbahaya.”
“Tidak, Mayor,” potong Surya cepat. “Saya rasa justru jalur selatan yang harus dipilih!