Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Bebas Dari Penjara Istri Jahat
"Pergi kamu dari sini! Aku pecat kamu! Jangan pernah muncul di hadapan ku ataupun suamiku lagi, Ku ingatkan kamu! Mulai sekarang jauhi suamiku, kalau kamu masih berani mendekati Rambo---Aku tidak akan tarik kata-kataku untuk membocorkan perselingkuhan kalian ke publik."
Dan lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, Marwah kembali teringat pada instruksi Rambo untuknya.
----turuti lah alur, jangan pernah melawan, memberontak, atau banyak berpikir.
Marwah tak menjawab apa pun, mulutnya dibiarkan terkatup rapat tanpa suara. Namun, ia mulai mengambil ancang-ancang untuk berdiri, dan merangkak untuk melangkah dari tempat.
"Kamu perempuan paling jahat," ujar Erin dengan tangisan singkat. "Kamu perempuan paling tak punya hati yang pernah aku temui. Kamu tega merusak rumah tangga sesama wanita, di antara banyak lelaki kenapa harus suamiku yang kamu dekati? Kenapa hanya suamiku yang kamu inginkan? Aku tidak mau jadi janda... "
"Ibu benar," jawab Marwah. Kini ia telah berdiri dengan sempurna, meski di tiap inci kulitnya sudah penuh bekas merah lebam. "Aku memang perempuan paling jahat untuk rumah tangga kalian. Tapi, andai bisa ku sampaikan, sejak tinggal di sini, kerja di sini, aku memahami bahwa Om Rambo sudah banyak mengalami penderitaan bersamamu. Ibu selalu merasa tersakiti, tanpa sekalipun memikirkan saat kalian bersama selama ini, Om---dia selalu menopang peran ibu di rumah ini. Dia mencuci, menyapu, bereskan kamar, bahkan tiap sarapan selalu minum susu kaleng dingin. Saat pulang, ibu tak pernah menyambutnya, tak pernah layani dia. Di saat lelahnya, bahkan ibu selalu melawan, membangkang, tak pernah bersikap lembut. Apakah menurut ibu, itu masih bisa dipertahankan? Jika bisa ku katakan; mungkin Om Rambo lah yang paling menderita, jika ibu terus memaksa begini, sama saja menyakitinya secara terus menerus seumur hidup."
Tapi hal itu tidak membantu, meski Marwah telah bersuara untuk Rambo. Itu tak cukup untuk menyadarkan Erin? melainkan membuatnya semakin marah. Sensasi panas yang ia bawa sejak datang ke sini semakin kuat dan lebih terasa dari sebelumnya. Dan hawa panas yang dipicu karena perebutan pria itu, bukan sesuatu yang bisa membawa kedamaian bagi Erin.
Di samping Erin, air mengalir dan berdesir, perciknya melesat lewat pantulan piring di wastafel. Kesejukan menyentuh Erin, tapi tak mampu menghilangkan rasa panas dan marah di dalam dirinya. Tak ada satu pun yang bisa mendinginkan hatinya, kecuali jika Rambo menarik keinginannya untuk batal bercerai.
"Jangan banyak bicara. Tingkahmu cukup berani dengan mengomentari aku begitu, semua kehancuran antara aku dan Rambo itu bermula dari kamu. Dulu, dari awal kami menikah, aku selalu mengatakan kekurangan itu, dan suamiku tak pernah sekalipun protes. Dia selalu sabar, tidak pernah marah, saat dia meminta sesuatu dan aku tak tahu, dia selalu memaklumi. Tapi, semua berubah sejak dia kenal kamu, sejak kamu merayunya dan menjadikan dia kekasihmu. Dia jadi tempramental, selalu marah, selalu menganggap ku salah." Ucap Erin, sembari menarik napas sejenak.
Marwah mengernyit saat majikannya itu memutar badan dan kembali berjalan ke arahnya. Wadah plastik yang dipakai tadi masih ada dalam tangan Erin.
"Aku kehilangan sosok suamiku, karena kamu." Erin mengangkat wadah tadi ke atas, seakan hendak memukul Marwah lagi. Namun, itu salah. Saat Marwah mendengar plastik itu menghantam ubin.
Begitu Marwah memandang sorot mata itu, ada sesuatu yang dengan senang hati ingin dilepasnya. Harus sanggup;
"Bukan karena aku. Tapi karena sikap ibu yang tak bisa menopangnya. Om itu---dia orang yang suka bersembunyi, dia terlalu lemah untuk melawan segala hal dalam hidupnya. Sebagai istri ada peran penting untuk membantunya tegak, ibu sendiri juga sadar kalian menikah tanpa cinta. Tapi, cinta itu bisa tumbuh seiring waktu, sayangnya ibu terlalu acuh padanya. Om yang sudah layu, semakin mati karena tak ada yang menopangnya untuk hidup, dia selalu sendiri."
Tanpa diduga, jantung Erin berpacu cepat selagi menyadari kesepian yang dirasakan Rambo, suaminya. Dan sebagian dalam dasar hatinya merespons hal itu. Bukankah ia juga kerap merasakan sendirian hampir sepanjang waktu? Bagaimanapun juga, Kesendirian dan rasa acuh yang dirasakan Rambo tidak serta merta adalah kesalahan dari Erin. Bagi Erin, kehadiran Marwah lah penyebab paling fatal atas apa yang terjadi pada pernikahan mereka.
"Apa yang kamu katakan, semua hanyalah bualan. Pembelaan apa pun yang keluar dari mulutmu itu, tidak akan mempengaruhi apa yang sudah ada dalam pikiran ku. Sekali perebut suami orang, selamanya tetap perebut." Erin meninggikan nada bicaranya untuk kesekian kali, jari telunjuk sudah mengacung di depan wajah Marwah.
"Bagaimana, sudah melakukan sejauh apa dengan dia? Ciuman? Oh mana main cuma segitu kan! mungkin lebih jauh, Sudah berapa kali berhubungan intim? Suamiku kan belum pernah dapat jatah dariku, sudah pasti dia tiupkan hasratnya di badanmu. Benarkan, Marwah?"
Marwah mengenyahkan penglihatan pada Erin, "Aku tidak menyalahkan jika Om Rambo tetap bersikeras untuk bercerai. Melihat sikap ibu yang begini, aku paham betul seperti apa kegilaan yang dia alami."
Erin menarik tangannya dan membiarkan jemari yang berani mengacung tadi turun ke bawah. Ia lalu menghadap Marwah lebih dekat dan berkata, "Kamu terlalu banyak bicara. Selingkuhan tidak perlu bertingkah seakan paling mengenal suamiku. Dan ku beritahu, kamu terlalu berani denganku. Kamu lupa bahwa aku bisa menghancurkan kalian berdua sekaligus, terutama lelaki yang kamu rebut."
Sebelah alis gelap Marwah terangkat.
"Karena rahasia yang kumiliki tentang kalian."
"Kami tidak punya rahasia." Jawab Marwah.
Erin mendengus, dan tertawa. Seandainya itu wajah orang lain, ia benar-benar nampak seperti petarung yang meremehkan lawan. Ekspresi menjatuhkan itu mungkin akan membuat Marwah tertekan.
"Ha-ha-ha, sungguh tak tahu malu. Pergilah! Sampai bertemu di kehancuran." Ucap Erin.
Marwah hanya memandangnya dingin, ia tidak merasakan ancaman apa pun dari majikannya itu, atau lebih tepatnya mantan majikan. Ia tentu akan merasakannya jika tidak jujur pada Rambo sebelumnya. Memang, berbohong hanya akan membuatnya tambah susah.
"Baik bu, saya pamit." Jawabnya singkat. Kemudian pergi, sesekali mencuri pandang di arah kamera pengawas yang dipasang Rambo.
Pada saat ia keluar dari rumah itu, Marwah seakan menghirup udara kebebasan yang dirasakan Rambo baru-baru ini. Langkahnya pelan menyusuri aspal yang basah. Ia menengadah ke langit, memandang pada cakrawala yang mulai legam. Indah.... Dan gelap, segelap pandangannya setelah dua telapak tangan hadir menutup kelopak matanya yang jelita.
"Om?"
Jelas Marwah mengetahui pemilik tangan itu, cukup dengan meraba nya saja. Siapa lagi pemilik tangan besar, dengan rambut halus yang dikenalinya selain Rambo.
"Maaf," Rambo berbisik dengan suara penuh sesal. "Maaf sudah mengorbankan kamu, untuk rencana ini. Kamu pasti kesakitan... "