"A-aisyah. Ka-kamu? Su-dah ti-dak pe-rawan?” tanya pria itu dengan tergagap. Mencari jawaban yang sebenarnya ia sudah tahu apa jawabannya. Menatap tak percaya pada wanita yang kini ada di bawahnya.
Malam pertama yang seharusnya membahagiakan, malah menjadi awal sebuah kehancuran. Rumah tangga yang baru saja seumur jagung harus kandas hanya karena keperawanan. Hadirnya orang ketiga membuat rumah tangga yang Susah payah di bangun kembali oleh Aisyah harus hancur berantakan.
Akankah Aisyah bertahan dan mendapatkan kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Republik Septy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Happy reading
🌻🌻
Kedua insan yang berbeda jenis kelamin itu terus memperdalam ciuman mereka, gadis itu mengalungkan kedua lengannya ke leher sang pria. Kedua netra terpejam, menikmati sesapan benda kenyal yang memabukkan. Sepasang mata yang menatap mereka dengan perasaan campur aduk dan kecewa tak sanggup lagi melihatnya. Ia pergi ke dapur dengan tubuh gemetar. Bahkan kini ia menangis, tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
"Astaghfirullah, ya Allah. Kenapa mereka bisa sejahat itu?" jeritnya dalam hati.
Sementara kedua orang yang sedang di mabuk gairah itu melepaskan tautan bibirnya ketika mulai kehabisan napas. Keduanya terengah dan saling menempelkan dahi. Berbagi udara yang sama. Setelah mendapatkan kesadaran masing-masing, barulah Arzan protes.
"Dita ... Apa yang kamu lakukan? Jika ada yang melihat bagaimana?" pria itu mendelik. Dan gadis itu pun kembali mendelik.
"Aku tidak peduli. Siapa suruh kakak belain kak Aisyah di depan Mama? Harusnya nggak usah. Aku cemburu, kak." rajuknya seraya bersedekap.
"Hey, Aisyah itu istriku. Sudah seharusnya aku membelanya sebagai seorang suami." jelas Arzan seraya menatap kesal pada gadis yang ada di hadapannya.
"Iya, statusnya aja sebagai istri. Tapi yang menghangatkan ranjang kakak siapa? Aku kan? Yang memenuhi kebutuhan biologis kakak, siapa? Aku 'kan? Aku tuh cemburu kak. Aku nggak suka kakak belain dia di depan Mama. Malah seharusnya kakak talak dia secepatnya biar kakak bisa nikahin aku."
Arzan terkesiap. Menikah? Dengan Dita? Sungguh tak pernah ia bayangkan sebelumnya akan menikahi adik iparnya sendiri. Dan untuk menjatuhkan talak serta berpisah dari Aisyah, ia rasa akan terasa berat.
"Kak, kok malah bengong sih?" kesal Dita. Ia menghentakkan kakinya karena kesal.
"Kakak udah telat. Ayo berangkat sekarang. Lagian kamu ada kuliah pagi, 'kan?" kata Arzan. Ia tidak ingin membicarakan pernikahan dan perpisahan. Apalagi berpisah dengan Aisyah, ah dia belum siap.
"Tapi, kak kita belum selesai." rengek gadis itu dengan wajah cemberut tapi Arzan telah berjalan meninggalkan dirinya. Dengan berlari kecil gadis itu menyusul langkah Arzan yang lebar. Berusaha mensejajarkan langkahnya di samping pria itu tapi tak terkejar. Hingga pria itu sudah memasuki mobil, Gadis itu mempercepat langkahnya. Ia berlari agar sampai di mobil dengan cepat.
"Kakak kok nggak nungguin aku, sih? Malah ninggalin aku gitu aja." ujarnya sambil mengencangkan sabuk pengaman.
"Nanti kalo ada yang lihat kita, gimana?"
"Ya nggak apa-apa. Nggak akan ada yang curiga dengan kita. Kita 'kan saudara."
Saudara apanya? Saudara kok sampai ke ranjang. Gumam Arzan sembari menggelengkan kepalanya.
"Mas nanti pulang jam berapa?" tanya Dita seraya bergelayut manja di lengan pria itu.
"Nggak tahu. Eh aku lagi nyetir, jangan gelayutan kayak si otan."
"Ih kok nyamain aku sama orang sih? Aku tuh cantik, mana pantes di samain sama si otan? Jangan aneh-aneh deh." kata Dita seraya menjauh dari kakak iparnya. Arzan hanya diam dan fokus menyetir. Sebenarnya ia merasa risih jika Dita selalu menempel padanya. Sikapnya yang agresif terkadang membuatnya tidak nyaman, berbeda dengan Aisyah yang kalem. Setelah beberapa menit melaju di keramaian kota, mereka sampai di kampus Dita. Sebelum turun, Dita meraup bibir milik sang kakak ipar. Ia merasa tidak ingin berpisah dari sang kakak ipar yang sudah sejak lama ia inginkan itu.
"Ah, rasanya nggak mau ke kampus. Mending ikut kakak kerja aja." katanya dengan wajah cemberut.
"Kamu harus kuliah. Aku ada meeting hari ini, lagian kalo kamu selalu ke kantor dan lama di ruangan aku, nanti yang lain bisa curiga."
"Tapi aku masih pengen sama kakak. Kalau kakak nggak bolehin aku ke kantor, besok kita ke hotel aja yuk kak. Kita seharian aja di sana. Main sepuasnya," ajak Dita dengan genit. Bahkan ia telah menempelkan dadanya pada lengan sang kakak ipar. Bahkan kini ia menggesekkan perlahan, membuat Arzan menelan ludah dengan kasar.
"Ka-kamu jangan aneh-aneh, Dita. Sebaiknya kamu turun sekarang. Aku udah telat."
"Jawab dulu, kakak mau kan besok ke hotel? Aku masih pengen bareng-bareng sama kakak. Aku masih kangen," ujarnya dengan manja.
"Iya, iya." akhirnya Arzan mengiyakan dengan paksa. Bisa-bisa ia terlambat ke kantor jika gadis ini tidak turun secepatnya.
"Yeay ... Makasih Kakak. Makin sayang deh sama kakak." gadis itu mencium pipi kiri pria itu, lalu mengecup bibir Arzan sekilas.
"Aku ke kampus dulu, ya." ia melambaikan tangan sebelum turun sementara Arzan hanya mengangguk. Setelah gadis itu benar-benar turun dari mobilnya, ia segera melajukan mobil itu menuju kantor. Ia takut terlambat karena hari ini ada meeting dengan klien-nya.
Sementara itu Aisyah bersiap-siap akan pergi ke sebuah cafe, ia telah membuat janji dengan sahabatnya untuk membicarakan tentang tulisan yang akan di buatnya. Sebelum pergi, ia ke dapur untuk berpamitan dengan mbok Sumi. Sesampainya di dapur, ia melihat wanita separuh baya itu sedang menangis. Dengan hati-hati, ia menghampiri wanita itu.
"Mbok," ia memegang bahu si Mbok yang bergetar. Mbok Sumi menoleh, ia segera menghapus air matanya yang tak bisa di bendung.
"Mbok kenapa? Kenapa menangis?" tanya Aisyah dengan sedih.
"Si mbok cuma lagi kangen aja sama anak-anak di kampung," ucapnya berbohong. Ia merasa tak kuat menatap wanita yang ada di hadapannya. Wanita ini begitu baik dan lembut, tapi kenapa kedua orang yang ia sayangi itu tega berbuat jahat padanya. Mengingat apa yang ia lihat tadi membuat air mata itu kembali menetes.
"Mbok, kangen banget ya sama anaknya?" tanya Aisyah dengan sendu. Ia memegang kedua bahu wanita yang sedang terisak itu dengan lembut. Si Mbok hanya mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Melihat Mbok Sumi yang bersedih, Aisyah menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Aisyah sudah menganggap mbok Sumi seperti Ibunya sendiri.
"Mbok yang sabar, ya. kalau mbok kangen banget sama mereka, mbok bisa izin kok buat pulang kampung. Aisyah dan Mas Arzan ngerti kok." ujarnya seraya mengusap punggung wanita itu. Mbok Sumi menggeleng, ia menjatuhkan tubuhnya dari sang majikan.
"Nggak perlu nyonya. Nanti si Mbok bisa telepon ke kampung."
"Beneran, nggak usah?" tanya Aisyah dengan khawatir.
"Beneran, Nyonya. Saya cuma lagi kangen aja, nanti setelah menelpon pasti kangennya hilang." katanya seraya menghapus jejak air mata yang membasahi wajahnya. Ia mencoba tersenyum agar Aisyah tidak lagi merasa khawatir.
"Tapi, Mbk."
"Nggak apa-apa nyonya. Sekarang aja juga udah tenang, setelah ini mbok akan telepon anak yang di kampung. Nyonya jangan khawatir, saya sudah baik-baik saja. Terima kasih ya Nona, nona sudah sangat baik sekali sama saya."
"Mbok sudah saya anggap seperti Ibu saya sendiri. Jadi kalau ada apa-apa, mbok bilang ya sama saya." Aisyah tersenyum.
"Terima kasih, nyonya."
"Ya sudah kalau begitu saya pergi dulu ya, saya mau bertemu dengan sahabat saya." katanya berpamitan.
"Iya nyonya, hati-hati."
Aisyah mengangguk, "Jangan lupa sampaikan salam saya sama anak-anak mbok di kampung."
"Baik nyonya."
Aisyah segera melangkah meninggalkan dapur, sementara mbok Sumi menatap wanita yang berjalan keluar rumah itu dengan perasaan sedih.
"Mbok masih nggak percaya kenapa mereka bisa sejahat itu kepada Nyonya. Padahal Nyonya orangnya sangat baik. Ya Allah, lindungi lah Nyonya Aisyah dan berikanlah ia kebahagiaan." Ia berdo'a dalam hati seraya menatap kepergian Aisyah.
nikung saudara gak ada akhlaq🤣🤣🤣
dia kya gtu jga karna nyokap lo