Kenyataan pahit yang membuat hidupnya berubah. Tak ada lagi sifat manja dan lemah. Yang ada kini adalah sesosok gadis cantik tak tersentuh meski di bibirnya selalu tersungging senyum.
Keras hatinya membuat setiap orang segan bahkan tak ingin berurusan dengannya.
Namun, bagaimana dengan orang-orang yang menjadi sebuah bara dendam dalam hati nya terus berkobar?
Mampukah mereka selamat dari dendam seorang Arcila Damayanti yang merupakan titisan dari siluman penghuni kebun angker?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serra R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Penolakan
Nana yang melihat wajah Arcila tanpa ekpresi bersorak senang dalam hatinya. Dia berpikir jika hubungan bos dan gadis ingusan yang duduk di balik meja kerja Alan tersebut akan pergi menjauh dari sisi Alan. Dan kesempatan itu akan dia pergunakan sebaik-baiknya.
Baginya Alan yang merupakan pria yang sangat setia dan baik. Selama bekerja bersamanya, tak sekalipun dia melihat Alan menatap lawan jenisnya terlalu lama dan semua sikap itu membuatnya tertantang untuk memilikinya.
"Mas, kok jahat banget sih. Tadi aja diem aja lo pas pangku aku." ucapnya dibuat selembut mungkin.
Arcila menaikkan sudut alisnya, dia tertawa dalam hati. Sementara dirinya tetap menampilkan wajah datarnya.
"Lalu, ada yang mau memberi penjelasan?"
"Sayang,.."
"Seperti yang kamu lihat tadi, aku dan mas Alan saling mencintai dan kami bahkan akan menikah sebentar lagi. Jadi aku harap kamu tahu diri untuk tidak mengganggu hubungan kami ini."
"Jangan omong kosong!!" Sentak Arsen tak suka.
Sementara Leo memilih untuk duduk di sofa menyaksikan perdebatan yang terjadi di hadapannya.
"Mas, kok gitu sih. Apa karena ada gadis ingusan ini jadi sikap mas berubah padaku?" Rengeknya berusaha mencari simpati.
"Kau berpikir apa? hanya segelas kopi yang kau kasih obat itu bisa membuatku hilang ingatan?"
Nana terperanjat, gadis itu tak menyangkah jika apa yang dilakukannya terbongkar bahkan sebelum dirinya berhasil tidur dengan bos tampannya tersebut.
"Obat apa? mas jangan menuduhku sembarangan. Bukannya mas sendiri yang memintaku membuatkan kopi?"
Arsen tersenyum miring. Pemuda tampan tersebut melangkah pelan menuju meja kerjanya dimana Arcila masih duduk tenang disana.
Dengan lincah jemarinya menari indah di atas keyboard laptop yang memang masih menyala disana. Setelahnya dia memutar laptop agar layarnya mengarah ke arah Nana yang masih berdiri disana dengan sandiwara yang masih di perankannya.
Gadis itu masih mempunyai keyakinan penuh bahwa misinya kali ini untuk menaklukkan bos tampannya itu akan berhasil. Namun senyum di bibirnya seketika menghilang ketika dirinya mantap layar laptop yang di tunjukkan oleh Arsen atau yang lebih di kenalnya sebagai Alan.
Nampak disana dirinya sendiri yang tengah berjalan dengan membawa secangkir kopi dalam nampan dan kemudian dia juga melihat bagaimana Alan membawa cangkir tersebut ke dalam toilet dan jangan lupakan kehadiran Leo yang sejak awal berada disana.
Wajah yang tadinya hanya mengeluarkan tangis sendu penuh kepura-puraan itu semakin memucat. Dia tak menyangkah jika semua rencana yang telah disusunnya secara matang itu ternyata gagal juga.
"Jadi?" Suara Alan menggema di keheningan yang tercipta.
"Aku tak pernah meminum kopi buatanmu. Dan yang terpenting, sejak awal adikku berada disini. Dan itu sudah bisa menjadi bukti terkuat jika aku tak pernah mengatakan apapun padamu selain yang aku ucapkan dalam rekaman ini."
"Aku tak pernah melarang orang jatuh cinta padaku, karena semua orang memiliki haknya masing-masing. Namun, tak ada seorangpun yang bisa memaksa untuk siapa cintanya berlabuh."
"Aku menghargai perasaanmu padaku. Tapi maaf, cintaku sudah menjadi miliknya jauh sebelum Aku mengenal orang lain. Jangan berbuat hal bodoh yang akan membuat rugi dirimu sendiri. Lagipula, sesuatu yang dipaksakan pada akhirnya akan tetap kembali ke tempat dimana dia ingin."
Alan melipat tangannya di dada, ditatapnya Nana yang dikini tengah terduduk dilantai dengan isak tangis lirihnya. Sementara Arcila masih diam membisu menatap wanita muda yang seumuran dengan Arsen tersebut dengan seksama.
Leo yang sedari tadi hanya menjadi penonton menggelengkan kepalanya. Tersenyum miring ke arah sang kakak. Dia akui, Arsen memang memiliki daya tarik tersendiri hingga tak heran begitu banyak wanita yang tertarik padanya.
"Sepertinya, Kak Cila harus benar-benar mengikat kakak kali ini. Lebih baik kalian segera menikah agar tak ada lagi kejadian begini dikemudian hari." Celetuknya.
"Menikah cepat atau tidak itu sama saja, tak akan berpengaruh apapun selagi orang yang bersangkutan tetap berpegang teguh pada janji setia dan memiliki hati yang tulus. Jadi, semua itu hanya tergantung pada hatinya." Arcila berujar pelan seraya menoleh ke arah Arsen. Tatapannya yang tajam membuat lelaki yang ditatapnya menjadi salah tingkah.
"Ganti pakaianmu!! aku tak suka ada parfum lain menempel disana." Ketusnya kemudian
"Dan kamu, maaf aku rasa kamu tak lagi di butuhkan di sini. Dan mulai besok jangan pernah datang lagi ke sini kalau kamu tak ingin rekamanmu sampai ke tangan polisi. Untuk kali ini aku memaafkan mu. Dan terimakasih untuk waktumu selama bekerja di perusahaan ku." Gadis dengan softlens biru menghias matanya tersebut berujar sambil menatap Nana yang masih bertahan disana.
Nana melirik ke arah Alan berharap lelaki tersebut mau membelanya dan tetap mempertahankan dirinya disana. Namun harapannya sia sia ketika Alan malah melangkahkan kakinya ke ruang pribadinya disana.
"Perusahaan ini milik tunanganku, jadi apapun keputusannya itulah yang terjadi." Ucapnya sebelum menghilang di balik pintu.
Nana menatap nanar ke arah Arcila yang masih bertahan di tempatnya duduk. Gadis itu mengepalkan tangannya erat semakin membenci Arcila yang hanya menatapnya datar.
Leo berdiri dan membuka pintu ruangan Arsen lebar lebar mempersilahkan Nana untuk keluar. Sekali lagi, Nana menoleh ke arah Arcila dengan tatapannya yang tak bersahabat. Namun bukan Arcila namanya jika dia gentar. Semenjak tahu siapa dirinya, kini Arcila sudah berubah. Rasa percaya dirinya telah tumbuh dan dirinya lebih sering berlatih memusatkan pikirannya hingga lebih tenang dan tak lagi merasa selalu ketakutan berlebih.
"Aku kira kak Cila akan marah besar tadi. Tapi ternyata tidak, kenapa kak?" Leo mendekat dia begitu penasaran dengan sikap tenang yang ditunjukkan oleh calon ipar nya itu.
Padahal sangat jelas terlihat keterkejutan dan amarah di awal gadis cantik tersebut masuk. Namun tak lama semua itu berubah dan Arcila bersikap seolah tak terjadi apapun.
"Kamu lupa jika aku bisa melihatnya? melihat adegan yang terjadi dengan hanya menatap matanya saja. Aku marah tentu saja, mana mungkin aku tak marah ketika disuguhi pemandangan yang membuat mataku panas."
Matanya memicing kala menatap pintu ruang pribadi Arsen terbuka dan menampakkan wajah lelaki tersebut yang terlihat lebih segar dengan pakaian yang juga telah berganti.
Leo mengulum senyum, dirinya tak percaya sang kakak benar-benar menuruti keinginan Cila untuk membersihkan diri dari bau parfum Nada yang mungkin menempel pada tubuhnya.
"Apakah jatuh cinta itu demikian? melakukan apa yang diminta orang yang kita cintai dan tak ingin menyakiti hatinya. Kakak bahkan tersenyum dengan mata yang berbinar. Berbeda dengan tatapannya pada wanita lain yang ku lihat berada disekitarnya. Aku harap kalian berdua akan bahagia meski Aku tahu, ada banyak hal yang menunggu kalian di depan sana." Leo berujar lirih dalam hati, kedua matanya menatap lekat Dua orang yang sedang berinteraksi di hadapannya.