Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lampu Hijau
Getaran dan nada chat di hape yang ia simpan di saku jas, membuat Nico merogohnya. Senyumnya terbit, membaca pesan yang ia terima dari Bunda. Ia menyimpan hape kembali tanpa membalasnya.
Bunda ibarat sponsor utama. Lampu hijau yang diberikannya membuat Nico semangat memperjuangkan cintanya. Cinta yang kedua, setelah cinta pertamanya kandas dan ia buang jauh dari hatinya. Tapi benarkah yang kurasakan ini cinta? Bagaimana cara mengujinya? Perang batin membuat Nico tak sadar meraba dada kirinya.
"Pak Nico, sakit?" tanya Suci yang melihat gestur sang boss yang memegang dadanya. Sopir tampak fokus melihat lalu lalang jalan tak memperhatikan penumpang di belakangnya.
Nico tersentak dari perang batinnya. "Eh, nggak kok. Ci, tadi saat ke mushola aku lihat kamu dan Bunda tertawa-tawa, lagi bahas apa sih?" Nico memilih mengalihkan pembicaraan.
"Oh itu...Pak Nico jangan kepo ya, itu pembahasan soal wanita," Suci tersenyum menaikkan dua alisnya.
"Haduh, jawabanmu bikin aku pengen nyubit," Nico tampak gemas menatap Suci yang langsung mentertawakannya.
Nico menikmati pemandangan di jok sampingnya itu, tawa renyah sang sekretaris membuatnya kembali terpesona.
"Ci, coba deh panggil akunya jangan Pak, ganti Mas!" Suci mengkerutkan kening, tidak memahami maksudnya Nico.
"Mas Nico?!" ucap Suci kaku.
Nico mengacungkan jempolnya. "Aku suka! Panggil seperti itu saja ya, jangan formal. Berasa tua dipanggil 'Pak'."
"Hm baiklah Pak Nico eh mas Nico, tapi kalau di luar kantor saja kan?"
"Di kantor juga, Sucita!" perintah Nico tegas.
"Aduh, gak enak ah sama yang lain." Suci menggelengkan kepalanya merasa tak setuju.
"Itu sudah aturan dari bossmu!" Nico menunjuk dada dengan jempolnya.
"Gini deh, aku panggil mas Nico kalau lagi berdua saja. Kalau lagi ada orang lain panggil Pak. Deal?" Suci mencoba mengajukan penawaran win win solution biar sama-sama nyaman.
"Ok. Deal." Nico mengarahkan jari kelingkingnya, membuat Suci terkekeh geli melihat kelakuan bossnya itu. Tanda kesepakatan pun terjadi demgan balasan tautan jari kelingking Suci.
****
Mobil kembali mengarah ke restoran setelah menurunkan dua orang penumpangnya. Nico dan Suci berjalan menuju lantai divisi marketing, melewati para stafnya yang nampak mencuri-curi pandang melihat kehadiran mereka yang berjalan dengan wajah sumringah.
"Brosis, kalian lihat kan perhatiannya boss kita sama bu secan?" gibah pun dimulai oleh Bayu, dibalas bersahutan rekan-rekannya. Bayu merasa diatas angin, percaya diri akan kemenangan di depan mata.
"Mas Nico, ini proposal iklan yang dibuat Rere sudah jadi, aku sudah memeriksanya dan menurut analisaku ada beberapa anggaran yang bisa dipangkas agar budget iklan tidak banyak membebani kas perusahaan..." Suci menyimpan proposal itu di atas meja.
Nico tertarik untuk segera membacanya, setelah mendengar penjelasan sekretarisnya itu. Ia konsentrasi penuh membaca lembar demi lembar dengan teliti.
"Bisa kamu jelaskan bagian mana saja yang bisa dipangkas?" Nico mengangkat kepalanya menatap Suci dengan serius.
Mereka berpindah ke sofa, duduk bersisian agar leluasa dalam menjabarkan. Suci memegang proposal dengan tangan kirinya, tangan kanannya memegang pulpen untuk melingkari juga mencoret hal yang menurutnya bisa dibuang. Ia begitu percaya diri dengan analisanya, sehingga berani membuat coretan di dalamnya. Toh kalau Nico tak setuju, ia bisa print ulang proposal itu.
"Jadi kalau dikalkulasi, perusahaan bisa menghemat biaya iklan sampai 30% dari total pengajuan Mas...." Suci mengakhiri penjelasannya dengan menunjukkan deretan angka di kalkulator.
Nico manggut-manggut setelah mendengar penjelasan Suci sampai akhir. Perhitungannya realistis, Nico tampak puas.
"Kamu cerdas!" Nico memandang takjub perempuan cantik yang duduk di sisinya itu. "Padahal metode ini sudah dipakai sejak lama, sebelum aku masuk di perusahaan. Rere hanya menyalin dan mengganti angka saja. Hm, selama ini kas sudah terkuras untuk iklan yang tak tepat sasaran." Nico termenung membayangkan besarnya pemborosan anggaran selama ini, ia merasa bersalah, dulu pernah menelantarkan tugasnya sehingga pengawasan ke bawah terabaikan . Pantas saja dulu perusahaan hampir kolap, batinnya.
"Makasih ya, Ci. Aku harap kedepannya kita terus sharing, aku butuh pemikiran cerdas darimu" Nico kembali menatap lembut sang sekretaris dan tersenyum tulus.
"Sama-sama, mas..." Suci pun mengulas senyum manisnya. "Biar aku saja besok yang bikin proposalnya, mungkin Rere akan bingung dan pusing melihat coretan tak beraturan ini."
"Sudah jam pulang mas, aku duluan ya..." Suci membereskan kertas yang berserakan di meja.
"Aku antar pulang ya...?" tawar Nico. Tapi dibalas gelengan kepala oleh Suci.
"Aku pulang dengan bang Candra. Mau mampir belanja ke super market dulu, kulkas sudah kosong melongpong..." ujar Suci sambil terkekeh.
"Yahhhh, padahal aku masih betah dekat denganmu...." Nico tak berani mengucapkannya, hanya ungkapan dalam hati.
"Ok deh. See you tomorrow..." sahut Nico lesu.
"InsyaAllah. Duluan ya Mas, Assalamualaikum...." Suci melenggang ceria meninggalkan ruangan bossnya itu.
Nico menatap punggung Suci sampai menghilang tak terjangkau pandangannya. "Sabar sabar....aku gak boleh terburu-buru mengungkapkan perasaan. Suci baru mengenalku disini, belum lama. Tapi aku sudah mengaguminya sejak dia terapi di klinik ortopedi." Nico hanya bisa menasihati diri dalam hati. Ia mengusap wajahnya kasar, senyum renyah Suci saat di mobil kembali menari di kelopak matanya.
****
Sesampainya di supermarket, Suci meminta Candra menemaninya selama belanja. Dengan malas, Candra mematuhi keinginan sang adik itu. Ia mendorong troli mengikuti kemana arah Suci memilih belanjaan.
"Ck, paling malas nganter cewek belanja. Pegang sama pegang sini tapi disimpannya lagi. "Kalau butuh beli saja, Ci. Ngapain cuma dilihat saja...." ujar Candra. Dirinya mulai merasa bosan mengekori adiknya itu. Apalagi melihat pandangan kaum hawa yang melirik-lirik padanya, cari perhatian.
"Ci, bawa dulu nih! Aku mau ke toilet..." Suci hanya menyahut iya, tanpa menoleh. Ia sedang memilah milih sayuran, mencari yang masih segar.
Huft, Candra bernafas lega. Ke toilet hanyalah alasan saja, setelah ke toilet ia tak akan kembali lagi untuk mendorong troli. Lebih baik menunggu di food court sambil jajan, toh kartunya sudah diberikan ke Suci, batinnya bersorak.
Segelas jus sirsak menyegarkan tenggorokannya. Candra menikmatinya sambil matanya tak lepas memandang tab, melihat berita terkini dan mengecek sosmednya.
"Assalamualaikum Mas Candra...."
Suara lembut itu... Sekian detik Candra terpaku menatap layar tabnya, konsentrasinya seketika buyar. Ia familiar dengan suara itu.
"Rachel...." lirih Candra yang spontan berdiri dari duduknya, menatap gadis cantik yang tengah tersenyum manis kepadanya. Pendar cahaya kerinduan berkilatan dari kedua pasang mata.
"Assalamualaikum Mas Candra..." kembali gadis itu mengulang salam masih diiringi senyum manisnya. Candra tergagap membalas salamnya. Dirinya masih tak percaya dengan pertemuan tak terduga itu.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍