"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kunjungan ke Bukit
Hari-hari meluncur menjadi minggu, dan Seung Jo—oh, bagaimana dia merasakan setiap detik itu—perlahan mulai membersihkan dirinya. Bukan karena dia telah memaafkan diri sendiri, tidak... lebih karena tubuhnya yang dulu perkasa kini mulai menyerah, terpuruk oleh pengabaian dan alkohol.
Suatu pagi, dia terbangun—batuknya mengeluarkan darah, merah pekat yang mengotori tangannya. Dia tidak terkejut, justru ada semacam ketenangan yang menyelimuti. Mengusap darah itu, dia bersiap pergi ke rumah sakit, langkah yang dulu takkan pernah dia ambil.
Dokter—sebuah kata yang kini terasa berat—memberinya diagnosis: kerusakan hati dan paru-paru yang parah. Beberapa bulan, mungkin setahun, untuk hidup. Berita itu, anehnya, tidak mengejutkan. Malah, terasa seperti sebuah kepastian yang akhirnya datang, seolah-olah dia sudah menunggu.
"akhirnya..." bisik hatinya, dan untuk pertama kalinya, sebuah senyum tipis muncul.
Dengan waktu yang tersisa, dia melakukan hal yang aneh—membersihkan mansion. Tanpa bantuan siapa pun, dia menyapu, mengepel, dan menghapus debu. Seolah, dengan membersihkan rumah ini, dia bisa menghapus sedikit noda di jiwanya.
Di suatu pagi yang cerah, dia melangkah ke toko bunga, membeli dua karangan bunga sederhana—satu putih, satu merah muda kecil. Lalu, dia menyetir ke bukit itu untuk terakhir kalinya.
Pohon ceri—oh, betapa gundulnya sekarang—dahan-dahannya menjulur ke langit biru musim dingin, seolah cakar yang menggapai. Dua gundukan tanah itu masih ada, tertutup embun beku.
Dia meletakkan karangan bunga putih di atas makam Hayeon, dan yang merah muda kecil di atas makam anaknya. Makam Hayeon kini dihiasi bunga-bunga yang ditanam oleh nyonya Lee, rumput liar memenuhi gundukan tanah.
Dia duduk di antara kedua makam itu, terdiam lama. Angin musim dingin berhembus, membelai wajahnya yang kini kurus dan pucat—sebuah sentuhan dingin yang mengingatkannya akan kenyataan.
"Aku sakit," ujarnya, menatap langit cerah, suaranya tenang, namun ada gemuruh di dalam hati.
"Aku tidak akan bertahan lama lagi."
Dia membayangkan, jika ada kehidupan setelah kematian—mungkin dia akan bertemu mereka. Tapi pengampunan? Itu terlalu muluk, terlalu jauh.
"Aku tidak akan meminta maaf lagi," lanjutnya, suara bergetar.
"Kata-kata itu tidak ada artinya. Tapi aku ingin kalian tahu... bahwa karena kalian, aku akhirnya mengerti."
Dia menatap kota di kejauhan. "Aku mengerti betapa rapuhnya kehidupan. Betapa berharganya sebuah senyuman tulus. Dan betapa hancurnya hati ketika menyadari bahwa kita telah menghancurkan sesuatu yang murni."
Dia menarik napas dalam-dalam, meski dadanya terasa nyeri. "Aku menghabiskan hidupku membangun kerajaan dengan kekuatan dan ketakutan. Namun, kerajaanku runtuh dalam semalam. Yang tersisa hanyalah... ini."
"Dua makam. Dan kenangan."
Dia berdiri, tubuhnya terasa lemah, seolah gravitasi menariknya kembali. "Aku akan segera menyusul kalian. Mungkin aku akan dihukum. Mungkin tidak. Tapi setidaknya... penderitaan ini akan berakhir."
Dia menoleh untuk pergi, berhenti sejenak. "Selamat tinggal, Hayeon. Selamat tinggal, anakku."
Kali ini, tidak ada air mata. Hatinya sudah kering. Yang tersisa hanyalah ketenangan muram, penerimaan akan takdir yang dia jalin dengan tangannya sendiri.
Dia menuruni bukit itu, meninggalkan dua karangan bunga yang akan layu ditelan musim dingin. Tapi kali ini, dia tidak merasa sendirian. Dia membawa serta bayangan mereka dalam hatinya—sebuah pengingat abadi tentang cinta yang datang terlambat, dan penyesalan yang akan mengikutinya hingga ke liang kubur.