Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Kakek Badra memimpin mereka keluar dari aula kuil melalui lorong rahasia yang sama mereka gunakan untuk masuk. Ia tampak khawatir dengan waktu yang tersisa. "Kita harus segera pergi dari gunung ini," katanya dengan nada mendesak. "Kaldor pasti akan merasakan kepergian kitab emas itu. Kita tidak punya banyak waktu sebelum ia mengirim bala bantuan yang lebih kuat."
Mereka bertiga mengikuti Kakek Badra menyusuri lorong gelap itu, kali ini dengan langkah yang lebih cepat. Mereka berhasil keluar dari pintu rahasia di tebing batu dan kembali menuruni gunung melalui jalur yang berbeda dari yang mereka gunakan sebelumnya, jalur yang hanya diketahui oleh Kakek Badra.
Setelah berjalan cukup jauh dan menjauhi wilayah kuil, Kakek Badra membawa mereka ke sebuah tempat persembunyian yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah gua kecil yang tertutup oleh rimbunnya tanaman merambat. Gua itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk memberikan mereka tempat berlindung sementara.
Di dalam gua, setelah memastikan tidak ada bahaya di sekitar, mereka akhirnya bisa beristirahat sejenak. Raka meletakkan kedua Kitab Dewa Naga di hadapannya. Kitab emas yang besar tampak bersinar redup, memancarkan aura kekuatan yang tenang namun sangat besar. Kitab yang lebih kecil tampak seperti kembarannya, meskipun energinya terasa lebih fokus dan terkendali.
"Kita harus mempelajari kitab-kitab ini," kata Raka, menatap kedua artefak suci itu dengan tekad di matanya. "Kita harus memahami kekuatan yang kita miliki jika ingin mengalahkan Kaldor."
Kakek Badra mengangguk setuju. "Aku akan memberitahumu apa yang aku ketahui tentang kitab-kitab ini, Nak. Tapi ingatlah, pengetahuan sejati hanya akan datang melalui pemahaman dan pengalamanmu sendiri."
Kakek Badra menjelaskan bahwa Kitab Dewa Naga yang lebih besar adalah sumber utama dari segala pengetahuan dan kekuatan para dewa naga purba. Di dalamnya tertulis sejarah penciptaan dunia, rahasia sihir kuno, dan kisah tentang para naga dan dewa yang pernah ada. Sementara kitab yang lebih kecil berfungsi sebagai kunci, sebuah artefak yang akan membantu Raka mengakses dan memahami isi dari kitab yang lebih besar.
Raka membuka Kitab Dewa Naga yang lebih besar dengan hati-hati. Halaman-halamannya dipenuhi dengan aksara-aksara kuno yang rumit dan ilustrasi-ilustrasi yang menakjubkan tentang naga, dewa-dewi, dan berbagai makhluk mitologis. Ia mencoba membacanya, tetapi aksara itu masih terasa asing dan sulit dipahami.
"Jangan berkecil hati, Nak," kata Kakek Badra melihat raut wajah Raka yang frustrasi. "Memahami kitab ini membutuhkan waktu dan ketekunan. Cobalah untuk fokus pada gambar-gambar dan simbol-simbol. Kadang-kadang, pemahaman yang sejati datang bukan dari membaca kata-kata, tetapi dari merasakan esensi dari apa yang digambarkan."
Raka mengikuti saran Kakek Badra. Ia mulai mengamati gambar-gambar di dalam kitab dengan lebih seksama. Ia mengenali beberapa simbol yang pernah ia lihat sebelumnya, di kitab yang lebih kecil dan di ukiran-ukiran di kuil. Ia mencoba menghubungkan gambar-gambar itu dengan penglihatan-penglihatan yang pernah ia alami.
Maya dan Sinta duduk di samping Raka, ikut mengamati gambar-gambar di dalam kitab. Meskipun mereka tidak bisa membaca aksaranya, mereka sesekali memberikan komentar atau mengajukan pertanyaan berdasarkan apa yang mereka lihat.
"Lihat, Raka," kata Maya sambil menunjuk ke sebuah gambar yang menggambarkan seekor naga emas terbang di langit yang dipenuhi bintang. "Gambar ini sama persis dengan yang ada di halaman kitabmu yang terbuka sendiri."
Raka mengangguk. "Ya, dan di bawahnya tertulis 'Ketika hati yang murni bersatu, kebenaran akan menuntun'." Ia menatap Maya dengan penuh arti. "Mungkin ini adalah petunjuk tentang bagaimana cara kita memahami kitab ini."
Mereka bertiga terus mempelajari isi kitab itu bersama-sama, mencoba mencari pola, hubungan, dan makna tersembunyi di balik gambar-gambar dan simbol-simbol kuno itu. Malam itu, di dalam gua yang sunyi, di bawah cahaya rembulan yang menyelinap masuk melalui celah-celah bebatuan, Raka memulai perjalanannya untuk memahami rahasia Kitab Dewa Naga, dibimbing oleh cinta dan persahabatan Maya dan Sinta, dan didampingi oleh kebijaksanaan Kakek Badra.
Malam berlalu, dan pagi menyingsing di dalam gua. Raka dan teman-temannya bergantian beristirahat, sementara rasa penasaran akan isi Kitab Dewa Naga terus menggelayuti pikiran mereka. Setelah sarapan sederhana dengan bekal yang tersisa, mereka kembali berkumpul di sekitar kedua kitab itu.
Raka merasa ada tarikan yang lebih kuat dari sebelumnya terhadap kitab emas yang besar. Ia meletakkan tangannya di atas sampulnya, dan seketika benaknya dipenuhi dengan gambaran yang lebih jelas dan terstruktur. Ia melihat peta dunia yang luas dengan gunung-gunung menjulang, hutan-hutan lebat, dan lautan yang membentang. Di peta itu, ditandai beberapa lokasi dengan simbol-simbol yang sama dengan yang ada di kitab yang lebih kecil.
"Aku melihat peta!" seru Raka tiba-tiba, membuat Maya, Sinta, dan Kakek Badra tersentak. "Peta dunia! Dan ada beberapa tempat yang ditandai dengan simbol-simbol yang sama di kedua kitab ini."
Kakek Badra mendekat dan melihat peta yang tergambar di benak Raka. "Itu adalah peta tempat-tempat suci yang memiliki hubungan dengan para Dewa Naga," katanya dengan nada kagum. "Beberapa di antaranya menyimpan artefak-artefak kuno yang lain, yang kekuatannya bisa membantu kita melawan Kaldor."
"Jadi, kita tidak hanya membutuhkan kitab ini?" tanya Maya.
"Tidak, Nak," jawab Kakek Badra. "Kitab ini adalah kunci, tapi artefak-artefak lain akan memberikan kita kekuatan dan pengetahuan tambahan yang kita butuhkan."
Raka kembali memfokuskan pikirannya pada peta itu. Ia melihat salah satu lokasi yang ditandai tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada, di sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Agung. Simbol yang tertera di sana adalah gambar pedang yang menyala.
"Ada sebuah tempat yang ditandai di Gunung Agung," kata Raka. "Simbolnya adalah pedang yang menyala."
Kakek Badra mengangguk. "Pedang Sinar Naga. Konon, pedang itu dulunya milik salah satu dewa naga yang gagah berani. Pedang itu memiliki kekuatan untuk menghancurkan kegelapan."
"Itulah tujuan kita selanjutnya," kata Raka dengan tekad. "Kita harus mencari Pedang Sinar Naga di Gunung Agung."
Mereka bertiga setuju dengan rencana itu. Dengan peta dan informasi baru yang mereka dapatkan dari Kitab Dewa Naga, mereka merasa lebih memiliki tujuan yang jelas. Mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, meninggalkan gua persembunyian mereka di hutan.
Namun, saat mereka hendak keluar, tiba-tiba mereka mendengar suara pekikan yang sangat nyaring dari luar gua. Suara itu terdengar sangat menakutkan dan penuh dengan kesakitan.
"Suara apa itu?" bisik Sinta dengan nada khawatir.
Kakek Badra memasang wajah serius. "Itu adalah suara burung gagak hitam… tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada kegelapan di dalamnya."
Tiba-tiba, seekor burung gagak hitam dengan ukuran yang luar biasa besar muncul di mulut gua. Matanya merah menyala, dan dari paruhnya menetes cairan hitam pekat yang tampak menjijikkan. Aura kegelapan yang kuat mengelilingi burung itu.
"Itu pasti utusan Kaldor!" seru Kakek Badra. "Dia pasti sudah mengetahui keberadaan kita!"
Burung gagak hitam itu mengeluarkan pekikan yang lebih nyaring lagi, lalu dengan gerakan cepat ia melesat masuk ke dalam gua, menerjang ke arah Raka dengan cakar-cakarnya yang tajam.