Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 22
“Mas, sudahlah. Jangan bertengkar lagi dengan Stevi. Bukankah selama ini hubungan kalian baik-baik saja,” ucap Naina, berusaha menenangkan suaminya.
Wira masih berdiri di samping jendela, termenung menatap pemandangan gedung-gedung pencakar langit dari tempatnya berpijak.
“Mas, jangan seperti ini. Ada masalah apa denganmu dan Stevi?” tanya Naina. Tiba-tiba sudah memeluk suaminya dari depan. Melingkarkan tangannya, mengunci pinggang Wira.
Laki-laki dengan tangan kanan terselip di saku celana itu menurunkan pandangannya. Naina yang hanya sebatas dagunya, membuat Wira leluasa mengecup pucuk kepala istrinya dengan posisi seperti ini.
“Hubungan Mas dan Stevi baik-baik saja,” ucap Wira tersenyum. Menurunkan pandangannya. Dengan tangan kirinya membelit pinggang Naina supaya tubuh istrinya tetap menempel padanya.
“Lalu kenapa kalian bertengkar, Mas?” tanya Naina, mendongak menatap Wira.
Senyum terpaksa diukir Wira di bibirnya. Laki-laki itu kembali mendekap erat istrinya. “Karena kami sahabat baik, jadi selalu bertengkar setiap saat berbeda pendapat.”
Menghela napas berat, lagi-lagi kecupan dilabuhkan di pucuk kepala Naina. Menyalurkan beban hidup yang begitu berat, yang dipikulnya selama dua tahun ini. Kalau bisa memilih, dia tidak mau menyembunyikan apapun dari Naina. Hidupnya tidak tenang, dikejar ketakutan setiap saat.
Istrinya berbeda dengan istri lainnya. Prinsip hidup Naina, dia tahu jelas seperti apa. Memilih bungkam adalah yang terbaik untuk saat ini, setidaknya dia masih bisa menikmati kebahagiaan semu ini lebih lama bersama Naina. Saat semua terbongkar, dia sudah tidak punya kesempatan apa pun. Palu hakim pasti membentur meja tanpa bisa dicegahnya.
Naina terlalu keras untuk dibujuk. Wanita lembut dengan prinsip kuat, wanita baik hati dengan kepercayaan tanpa batas padanya. Selama ini dia sudah berusaha menjaga kepercayaan itu dengan baik, sampai Tuhan membuat skenario lain di jalan hidupnya. Mau benar atau salah, mau sadar atau tidak sadar saat melakukannya, tidak ada pembenaran. Naina tidak akan memaafkannya, terlebih ada Nola.
“Jangan marah pada Stevi. Kalian teman baik sejak dulu. Nai tahu bagaimana berartinya Stevi dalam hidupmu, Mas. Nai bahkan tahu seberapa besar Mas menyayangi Stevi.”
“Benarkah? Mas begitu menyayangi Stevi di matamu?” tanya Wira tersenyum kecut.
Naina mengangguk.
“Nai memahami seberapa penting hubunganmu dan Stevi. Mas ingat, awal kita pacaran. Nai yakin kalau Stevi tidak mengangguk saat Mas menyodorkan foto Nai, Mas ragu untuk melanjutkan hubungan kita ke tahap yang lebih serius. Bukankah Mas cerita, kalau Stevi orang pertama yang Mas minta pendapatnya tentang Nai,” ucap Naina mengingatkan.
“Bukan meminta pendapat, Sayang. Hanya berbagi kebahagiaan dengannya.” Wira meralat.
“Dan Stevi adalah orang pertama yang Mas kenalkan saat Nai berstatus istri Mas Wira,” ucap Naina.
“Kamu mengingat semuanya, Nai. Bahkan Mas sudah melupakannya.”
Wanita dengan gaun merah muda itu mengangguk. Mengeratkan pelukannya. “Jangan marah lagi dengannya, mungkin dia sedang ada masalah dengan keluarganya. Jadi terbawa ke pekerjaan dan hubungan kalian,” bisik Naina pelan.
Wira mengangguk, menundukan kepalanya mengecup bibir istrinya sekilas. “Kita makan siang? Nai bawakan apa untuk Mas?” tanya Wira.
“Makanan kesukaan Mas,” sahut Naina, menarik suaminya untuk duduk dan menikmati makan siang yang dibawanya.
“Makan sekarang, Mas. Setelah itu, Nai harus kembali ke butik lagi. Masih ada pekerjaan yang harus Nai kerjakan, Mas.” Naina memberi perintah sembari membawa suaminya duduk.
Tangannya dengan lincah menebar kotak bekal memenuhi meja. Senyumnya mekar saat melihat Wira meraih sepotong bakwan udang dan memasukannya ke dalam mulut.
“Bakwan udangmu selalu enak dan tidak ada duanya, Nai,” ucap Wira, menarik kotak bekal yang sudah disiapkan Naina di hadapannya.
“Beberapa hari lagi kita akan terbang, Nai. Bereskan semua pekerjaanmu,” pinta Wira, menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya.
“Ya, Mas.” Wanita itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Membalas pesan masuk dari karyawan butik.
“Nai ....” Wira mulai protes. Seperti biasa, laki-laki itu tidak mau diduakan saat Naina bersamanya.
Naina tersenyum, buru-buru menyimpan ponselnya dan mencurahkan perhatian penuh pada suaminya. “Maaf Mas, karyawaan butik,” jelas Naina.
“Nai, tidak makan?” tanya Wira, mengerutkan dahinya. Heran melihat istrinya hanya menatap makanan yang terhampar di atas meja.
“Sebentar lagi. Nai mau mengobrol dengan Stevi. Boleh?” tanya Naina.
“Apa yang ingin kamu obrolkan dengannya?” tanya Wira mencari tahu.
Naina menggeleng. “Sudah lama tidak berbincang santai dengannya.”
“Sepuluh menit, setelah itu cepat kembali. Mas merindukanmu,” ucap Wira, meraih ponsel di atas meja dan mengetik kalimat ancaman yang dikirimkannya pada Stevi.
“Ya, Nai cuma sebentar,” pamit Naina, bergegas keluar menemui sekretaris suaminya.
Saat Naina keluar dari ruangan terlihat Stevi sedang megecek ponselnya, buru-buru berjalan menuju lift. Wanita itu terlihat cemberut, sisa-sisa pertengkarannya dengan Wira masih terlihat nyata di wajahnya.
“Stev, tunggu. Mau ke mana?” tanya Naina, berusaha mengejar.
“Aku mau ke kantin, Nyonya. Makan siang,” sahut Stevi, berdiri menunggu pintu lift terbuka.
“Aku ikut. Ada yang mau aku bicarakan,” jelas Naina.
Stevi mengangguk pertanda mengerti. Bukan kali ini saja mereka mengobrol. Hubungannya dengan Wira, membuat hubungannya dengan Naina pun berjalan baik. Meskipun terkadang Stevi masih merasa sungkan, mengingat Naina adalah istri atasannya.
***
“Ada apa, Nyonya?” tanya Stevi, begitu sudah duduk berhadapan dengan Naina.
Kantin perusahaan hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Tidak seperti biasanya, penuh dengan riuh rendah karyawan mengobrol untuk menghabiskan waktu makan siangnya.
“Panggil aku, Nai saja. Aku sedang tidak ingin membahas hal serius, Stev.” Naina membuka suara, sembari menyeruput jus jeruk yang dipesannya.
“Ada apa Nai? Ada masalah apa?” tanya Stevi mencoba bersikap biasa.
“Kenapa bertengkar dengan Mas Wira. Kamu tahu Stev, Mas Wira termenung setelah bertengkar denganmu. Aku tahu, dia juga tidak menginginkan pertengkaran ini. Bukankah kalian teman baik selama ini.” Naina berkata.
“Ya, Nai. Aku juga bersalah. Aku sedang ada masalah di rumah. Anakku sakit,” jelas Stevi.
“Oh ya, Nola sakit apa?” tanya Naina, ikut prihatin.
“Kenapa tidak minta izin Mas Wira saja. Kasihan anakmu, Stev.”
Stevi memgangguk.
“Maafkan Mas Wira, mungkin dia sedang banyak masalah di pekerjaannya. Aku mohon kamu mengerti Stev, jangan dimasukan ke dalam hati. Kata-kata Mas Wira tadi, hanya sekedar emosi sesaat. Dia tidak bermaksud menyakitimu.”
“Mas Wira itu sangat menyayangimu. Sebagai sahabat, Mas Wira benar-benar peduli denganmu. Hubungan kalian bukan sebulan dua bulan, kalian bersama sudah sejak lama. Bahkan kita bisa duduk berdua sedekat ini juga karena hubunganmu dan Mas Wira,” ucap Naina.
“Jangan dipikirkan, aku akan membujuk Mas Wira supaya tidak marah-marah lagi. Kamu itu sudah seperti keluarga. Bahkan kedua orang tua Mas Wira pun sudah menganggapmu putri mereka.”
“Ya, Nai.” Stevi tidak banyak bicara. Hanya mengangguk dan mengiyakan sejak tadi.
“Aku ingat sewaktu aku menikah dengan Mas Wira, mama memberitahu banyak hal tentangmu. Mama khawatir aku akan mencurigai hubunganmu dengan Mas Wira.”
Stevi mengangguk kembali, lidahnya keluh. Mengingat seberapa dekat hubungannya dengan Wira dan keluarganya dulu, tetapi semua berubah. Saat statusnya menjadi istri Wira, bukan hanya Wira, keluarga Wira pun mulai menjauh dengannya.
“Baiklah Stev, aku harus kembali. Tidak bisa terlalu lama. Mas Wira hanya memberiku waktu sepuluh menit untuk berbincang denganmu,” pamit Naina.
Tepat saat berdiri dan berbalik, Naina menabrak seseorang. Nampan berisi makanan yang ada di tangan laki-laki yang ditabraknya itu tumpah, berantakan di lantai.
“Angie ....” ucap laki-laki itu saat mengenali Naina.
***
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.